tirto.id - Dalam riwayat sejarah Kerajaan Majapahit, pernah terjadi sejumlah perlawanan atau pemberontakan dari unsur internal istana sendiri. Salah satu yang paling terkenal adalah pemberontakan Ranggalawe.
Ranggalawe merupakan salah satu pengikut setia Raden Wijaya yang turut merintis pendirian Kerajaan Majapahit pada 1293 Masehi, selain beberapa tokoh penting lainnya seperti Arya Wiraraja, Nambi, Kebo (Mahisa) Anabrang, juga Lembu Sora.
Perlawanan Ranggalawe yang merupakan pemberontakan pertama di Kerajaan Majapahit diperkirakan terjadi pada 1295 atau ketika Raden Wijaya alias Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309) masih bertakhta sebagai Raja Majapahit.
Ada kemungkinan pula, peristiwa tersebut terjadi saat Raden Wijaya menetapkan anaknya, Kalagemet, menjadi putra mahkota. Nantinya, Kalagemet meneruskan singgasana ayahnya sebagai Raja Majapahit ke-2 dengan gelar Sri Jayanagara (1309-1328).
Latar Belakang Pemberontakan
Dikisahkan, Ranggalawe adalah putra dari Arya Wiraraja, Bupati Songeneb atau Sumenep di Pulau Madura.
Ranggalawe dan ayahnya datang membantu Raden Wijaya yang sedang membuka hutan di dekat Sungai Brantas pada 1292. Hutan inilah yang nantinya menjadi lokasi berdirinya Kerajaan Majapahit.
Raden Wijaya merupakan menantu dari Kertanegara, Raja Singasari terakhir yang terbunuh lantaran pemberontakan Jayakatwang. Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dari insiden tersebut.
Raden Wijaya akhirnya mengalahkan Jayakatwang berkat persekutuan dengan pasukan dari Kekaisaran Mongol yang saat itu tiba di Jawa. Kaisar Mongol, Khubilai Khan, mengirim pasukan ke Jawa untuk menyerang Singasari yang ternyata telah dikuasai oleh Jayakatwang.
Setelah mengalahkan Jayakatwang, Raden Wijaya menyerang balik pasukan Mongol dan menghancurkan mereka. Usai itu, ia mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Majapahit pada 1293. Raden Wijaya menjadi raja pertamanya dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.
Dalam penelitian Tikadiyah Wulan Yulianti bertajuk "Kidung Ranggalawe: Pemberontakan Kekuasaan Kidung Ranggalawe" (2017), disebutkan bahwa andil Ranggalawe, Lembu Sora, dan Arya Wiraraja sangat besar dalam rangkaian perjuangan itu.
Oleh Raden Wijaya, Ranggalawe kemudian ditunjuk sebagai Adipati Tuban yang merupakan salah satu wilayah taklukan Majapahit. Namun, Ranggalawe tidak puas karena merasa ia seharusnya mendapatkan posisi yang lebih tinggi.
Ranggalawe semakin kesal setelah Nambi diangkat sebagai rakryan patih, jabatan paling tinggi dalam struktur pemerintahan kerajaan di bawah raja.
Menurutnya, posisi rakryan patih seharusnya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih berjasa daripada Nambi. Lembu Sora, yang merupakan paman Ranggalawe, ternyata tidak sepakat demi mematuhi perintah raja.
Lembu Sora kemudian menasihati Ranggalawe agar memohon maaf kepada raja. Namun, Ranggalawe enggan dan memilih pulang ke Tuban.
Jalannya Pemberontakan
Slamet Mulyana dalam Tafsir Sejarah Nagarakartagama (2006), mengutip Kidung Ranggalawe, menuliskan bahwa peperangan dalam pemberontakan Ranggalawe terjadi di sekitar Sungai Tambak Beras, Jombang.
Atas perintah Raden Wijaya, Nambi ditemani Kebo Anabrang dan Lembu Sora memimpin pasukan Majapahit menuju Tuban untuk menghukum Ranggalawe.
Di Tuban, Ranggalawe yang mengetahui bahwa ada pasukan yang dikirim untuk menyerangnya segera mempersiapkan diri. Ia kemudian membawa pasukannya untuk menghadang rombongan Nambi di Sungai Tambak Beras.
Terjadilah peperangan sengit. Dalam suatu adegan diceritakan, Ranggalawe berhasil menikam kuda yang ditunggangi Nambi, namun Nambi masih selamat.
Kebo Anabrang mengambil-alih pimpinan perang pasukan Majapahit. Ia memerintahkan pasukannya untuk mengepung pasukan Ranggalawe dari tiga penjuru arah mata angin: timur, barat, dan utara.
Taktik tersebut belum mampu mengungguli pasukan Ranggalawe. Perlu diketahui bahwa Ranggalawe adalah sosok yang sangat ulung dalam menyusun taktik perang.
Berakhirnya Pemberontakan
Masih dari Kidung Ranggalawe yang dikisahkan kembali oleh Slamet Muljana, Pasukan Majapahit terpaksa mundur. Kebo Anabrang memacu kudanya namun dikejar oleh Ranggalawe.
Namun, dalam pengejaran itu, kuda Ranggalawe terjatuh dan tercebur ke Sungai Tambak Beras. Melihat Ranggalawe jatuh di sungai, Kebo Anabrang bergegas turun dari kudanya dan menghampiri lawannya itu.
Pertarungan satu lawan satu pun tak terelakkan terjadi di Sungai Tambak Beras. Dalam suatu kesempatan, Kebo Anabrang yang lebih piawai bertarung di derasnya arus sungai mampu mencekik leher Ranggalawe.
Ranggalawe sekarat dan akhirnya mengembuskan nafas terakhir. Lembu Sora yang melihat kejadian itu tidak mampu mengendalikan diri.
Lembu Sora memang berada di kubu Majapahit, tapi Ranggalawe adalah keponakan tercintanya. Maka, Lembu Sora menikam Kebo Anabrang sampai mati.
Kebo Anabrang dan Ranggalawe sama-sama tewas di Sungai Tambak Beras yang banjir darah akibat duel dua ksatria tersebut.
Keduanya adalah sosok yang pernah amat berjasa untuk Majapahit. Upacara kematian Ranggalawe dan Kebo Anabrang pun dilaksanakan sebagaimana mestinya sebagai penghormatan terakhir bagi mereka.
Jenazah Adipati Ranggalawe dan Kebo Anabrang disucikan, dibakar, kemudian abunya dibuang ke laut.
Afifudin Khoirul Anwar dalam artikel berjudul "Rehabilitasi untuk Ranggalawe, Sang Adipati Tuban" (2020) yang dimuat di laman Institute for Javanese Islam Research menuliskan, Ranggalawe tetap dianggap menjadi pahlawan bagi Majapahit.
Raden Wijaya juga mengampuni semua anggota pasukan Ranggalawe dari Tuban yang terlibat pertempuran tersebut. Bahkan keturunan Ranggalawe masih diberi wewenang untuk memimpin Tuban.
Masyarakat Tuban menganggap Ranggalawe bukanlah seorang pemberontak, melainkan sebagai pahlawan. Pengangkatan Ranggalawe sebagai Adipati Tuban pada 12 November 1293 hingga kini diperingati sebagai hari jadi Kota Tuban.
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya