Menuju konten utama

Sejarah Pemberontakan Andi Azis: Penyebab, Tujuan dan Dampaknya

Aksi pemberontakan Andi Azis sudah disusun sedemikian rupa bersama para mantan KNIL lainnya.

Sejarah Pemberontakan Andi Azis: Penyebab, Tujuan dan Dampaknya
Ilustrasi Buku. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pemberontakan yang dipimpin Andi Azis, mantan perwira Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), berlangsung mulai 5-15 April 1950.

Ppemberontakan yang terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan itu dilatarbelakangi oleh tidak setujunya Andi Azis terhadap rencana penyatuan Negara Indonesia Timur (NIT) ke dalam bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, Indonesia masih berbentuk negara bagian atau federasi. Salah satunya ada NIT yang sudah terbentuk pada Desember 1946. Wilayahnya terdiri dari kepulauan Sunda Kecil (sekarang Bali dan sekitarnya), Maluku, dan Sulawesi.

Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (23 Agustus-2 November 1949) di Den Haag, Indonesia mengumumkan bentuk Negara RIS dengan dibagi menjadi 16 federasi agar diakui kedaulatannya oleh pihak Belanda.

Penyebab dan Tujuan Pemberontakan Andi Azis

Menurut Laessach M Pakatuwo dan kawan-kawan dalam artikel “Negara Boneka Belanda (Negara Indonesia Timur) 1945-1950” yang termuat di jurnal Pattingalloang (volume 5, no.1, 2018), ternyata, perjanjian ini hanya akal-akalan Belanda yang berusaha memecah belah Indonesia dan mempertahankan tanah jajahannya ketika itu.

Akhirnya, keputusan KMB tidak bertahan lama. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diajukan oleh beberapa kalangan pro persatuan sebagai satu-satunya pemerintahan, sedangkan wilayah lain harus dileburkan di dalamnya, termasuk NIT.

Bahtiar dan kawan-kawan dalam artikel “Peristiwa Andi Azis di Sulawesi Selatan 5 April 1950” yang termuat di Seminar Series in Humanities and Social Science No.1 (2019), akhir Maret 1950, RIS meresmikan Negara Bagian Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur termasuk bagian NKRI. Sedangkan, NIT baru mendapatkan kabar penyatuannya pada 4 April 1950.

Andi Azis dan para mantan anggota KNIL ketika itu tidak menyetujui hal tersebut, terlebih lagi terhadap rencana kedatangan APRIS pada 5 April ke wilayah Makassar. Di sana, akhirnya terdapat dua kubu yang saling bersinggungan satu sama lain, yakni Andi Azis dengan pihak yang menginginkan persatuan.

Terdapat tujuan yang membawa Andi Azis hingga berani menentang kebijakan pemerintah pusat. Ia ternyata ingin menduduki posisi puncak pemerintahan negara federasi di bidang militer bersama Soumokil sebagai tokoh politik dan Sukowati selaku presidennya.

Dampak Pemberontakan

Berdasarkan catatan Kemendikbud, pada 5 April 1950, aksi pemberontakan Andi Azis yang sudah disusun sedemikian rupa bersama para mantan KNIL lainnya.

Mereka saat itu menyerang sektor penting militer bagian Indonesia Timur. Bahkan, Letnan Kolonel A.J. Mokognita sebagai Panglima Teritorium Indonesia Timur ditangkap oleh Andi Azis, bawahannya, dan para polisi Makassar.

Pada 8 April 1950, pemerintah Indonesia menitahkan Andi Azis untuk tanggung jawab dan melaporkan kelakuannya ke Jakarta dalam waktu 4 hari. Selain itu, ia juga diperintah untuk mencopot para tentaranya di Makassar, melepaskan tahanan, serta menyerahkan segala persenjataan.

Tercatat juga dalam Kemendikbud bahwa ia berhasil ditangkap pada 15 April 1950. Sedangkan, Sukowati yang tadinya direncanakan sebagai presiden NIT resmi menyerahkan wilayahnya kepada NKRI.

Masa pemberontakan Andi Azis dianggap telah usai ketika itu. Akan tetapi, dampak yang ditimbulkan tidak dapat hilang begitu saja, terlebih lagi Belanda masih berusaha mengorek kekuasaan di sana.

Pada 15 Mei 1950, terjadi lagi pemberontakan fase kedua, kendati Andi Azis tidak ada. APRIS yang sudah berada di sana saling berseteru dengan KNIL yang terhasut pihak Belanda. Berkat bantuan rakyat dan aksi gerilyanya, APRIS berhasil menaklukkan pergerakan kedua ini tepat pada 19 Mei 1950.

Baca juga artikel terkait PEMBERONTAKAN ANDI AZIS atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Alexander Haryanto