tirto.id - Pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terhadap pemerintahan Indonesia di Jawa Tengah pernah terjadi pada 23 Agustus 1948. Amir Fatah, komandan laskar Hizbullah Tulangan, Sidoarjo, dan Mojokerto saat itu, disebut-sebut sebagai dalangnya.
Perjanjian Linggarjati yang dilakukan pihak Indonesia dengan Belanda pasca-kemerdekaan (11-15 November 1946), menimbulkan banyak pertentangan dari beberapa tokoh Islam, seperti Kartosuwiryo, Amir Fatah, dan para pengikutnya.
Cornelis van Dijk dalam buku Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (1987:128) menjelaskan, pada Februari 1947, Amir Fatah beserta para pasukan Hizbullah ditugaskan mengawal Kartosuwiryo ketika pergi ke Malang, tepatnya untuk hadir sidang paripurna kelima Komite Nasional Indonesia Pusat.
Di kota itu, Amir Fatah bergabung bersama pihak Divisi 17 Agustus yang tidak menyetujui Perjanjian Linggarjati. Bahkan, saat itu ia dinobatkan menjadi Kepala Staf di pasukan tersebut. Namanya sering disebut dalam peristiwa pemberontakan DI/TII Jawa Tengah yang terkenal dengan tentara Mujahidin.
Latar Belakang DI/TII Jawa Tengah
Menurut Ide Anak Agung dalam Renville (1991:71), pada 17 Januari 1948, dilakukan penandatanganan terkait Perjanjian Renville di sebuah kapal bernama “USS Renville”.
Dinas Sejarah Militer Kodam VII/ Diponegoro dalam Sejarah Rumpun Diponegoro Dan Pengabdiannya (1971:459) menerangkan, salah satu isi Renville ternyata memaksa kekuatan militer pihak RI yang masih ada di wilayah pendudukan Belanda dipindahkan ke daerah yang ditetapkan sebagai wilayah Indonesia.
Dengan cepat, pada akhir Januari, para TNI yang masih berada di wilayah pendudukan Belanda ditarik mundur atas perintah Mohammad Hatta.
Berdasarkan catatan Eko Loren dalam Gerakan DI/TII di Jawa Tengah: Pemberontakan Eks Batalyon 426 dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Masyarakat di Klaten Tahun 1950-1952, TNI ketika itu pergi ke Banjarnegara, sedangkan pasukan Hizbullah pindah ke Wonosobo.
Akan tetapi, terdapat juga beberapa kubu yang merasa tidak setuju dengan Perjanjian Renville. Hal ini mengakibatkan munculnya percikan-percikan aksi di beberapa daerah Jawa Tengah, seperti Tegal-Brebes, dan Pemalang.
Amir Fatah Bergabung
Pasukan Hizbullah yang ketika itu dipimpin oleh Abas Abdullah memutuskan untuk pergi ke wilayah sengketa Indonesia-Belanda, Brebes, Jawa Tengah. Di sana, ia mendirikan pasukan Mujahidin yang dengan pemerintahan sementara, disebut sebagai Majelis Islam (MI).
Mengutip tajuk "Dari Kroya ke Korea: Sejarah Hidup Panglima DI.TII Amir Fattah", ketika pertengahan 1948, Amir Fatah juga pergi ke Brebes dan akhirnya menjadi Jenderal Mayor pasukan pimpinan Abas Abdullah.
Pada 23 Agustus 1949, bersama teman-temannya, Amir Fatah menyatakan bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang sebelumnya sudah dideklarasikan berdiri oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Kejadian berdarah pun terjadi setelah pernyataan tersebut. Koran berbahasa Belanda, Het Niewsblad voor Sumatra, bertanggal (27/8/1949) menginformasikan, Amir Fatah dengan kelompoknya melakukan penyerangan terhadap TNI dan beberapa desa ketika itu, seperti desa Rokeh Djati dan Pagerbarang.
Memasuki November 1949, DI/TII pimpinan Amir Fatah diwartakan oleh De Locomotief (16/11/1949) musti tanggung jawab juga terhadap kasus serangan di Desa Gumelar, Tegal Selatan serta Diasem dan Wonosari.
Akhir Pemberontakan DI/TII Amir Fatah
Letnan Kolonel Ahmad Yani mulai ambil sikap terhadap pemberontakan DI/TII Jawa Tengah. Ia mengirim pasukan Banteng Raider yang berhasil melemahkan kekuatan tentara Amir Fatah hingga lari tunggang langgang ke Jawa Barat.
Di Desa Ciawi, Tasikmalaya, peperangan antara Amir Fatah beserta pasukannya dengan TNI terjadi (De Preangerbode, terbitan 23 Desember 1950). Kejadian ini berlangsung pada pertengahan Desember dan ketika itu beberapa pasukan Mujahidin berhasil dikalahkan.
Ternyata, Panglima Perang Hizbullah ini berhasil lolos dari tangkapan TNI. Baru pada 22 Desember 1950, ia mendapatkan "hadiah" dari perbuatannya dengan dibekuk saat berada di Desa Cisayong, Tasikmalaya.
Amir Fatah dipenjara selama dua tahun, lalu dibebaskan. Ia mendapatkan izin untuk berpergian ke negara lain setelah itu. Pertama, ia pergi ke Amerika dan Eropa hingga akhirnya memutuskan menetap di Korea Selatan.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Alexander Haryanto