Menuju konten utama

Dari Kroya ke Korea: Sejarah Hidup Panglima DI/TII Amir Fatah

Amir Fatah adalah tokoh DI/TII di Jawa Tengah. Ia mulanya komandan laskar Hizbullah sebelum bergabung dengan gerakan Kartosoewirjo.

Dari Kroya ke Korea: Sejarah Hidup Panglima DI/TII Amir Fatah
Ilustrasi Tentara. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada era revolusi kemerdekaan, Amir Fatah Widjajakusuma alias Sjarif Hidajatullah yang berasal dari Kroya, Cilacap, adalah komandan laskar Hizbullah di Tulangan, Sidoarjo, dan Mojokerto. Ia mengaku cukup dekat dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (1987:128), Amir Fatah “memimpin pasukan Hizbullah yang menyertai Kartosoewirjo ke Malang untuk menghadiri sidang paripurna kelima Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai semacam pengawal, Februari 1947.”

Di Malang, Amir Fatah menjadi Kepala Staf Divisi 17 Agustus, sebuah pasukan yang menentang Perjanjian Linggarjati karena menguntungkan Belanda.

Ia, sebagaimana disebut dalam buku Republik Indonesia: Djawa Tengah (1953:201-202), juga mengaku sebagai bawahan Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang pada Agustus 1946 dikirim ke Jawa Barat bersama 3 kompi pasukan dari Batalion V, Brigade 6, Divisi Diponegoro. Amir Fatah ditugas memastikan loyalitas orang-orang di Jawa Barat terhadap Republik Indonesia.

Merasa tugasnya tidak sukses di Jawa Barat, ia akhirnya mundur ke Brebes pada pertengahan 1948. Di Brebes, Amir Fatah bergabung bersama batalion Hizbullah pimpinan Abas Abdullah. Saat itu, ia mengaku berpangkat Jenderal Mayor. Amir Fatah kemudian terkait dengan kelompok Majelis Islam yang punya pasukan laskar yang bernama Mudjahidin.

Menurut Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan dalam Sejarah Nasional Indonesia VI (1984:268), Amir Fatah dan kelompoknya semakin berkembang. Lalu pada 23 Agustus 1949, bertemoat di Desa Pengarasan, Tegal, ia mengumumkan bahwa kelompoknya bergabung dengan Darul Islam pimpinan Kartosoewirjo. Amir Fatah bertindak sebagai Panglima Perang merangkap komandan Batalion Syarif Hidayatullah Wijaya Kusuma. Kosim Nuchrowi, yang merupakan bekas komandan Resimen Hizbullah di Tegal pada 1946, dijadikan sebagai Bupati Tegal.

Pada 1949, nama Amir Fatah muncul dalam koran berbahsa Belanda, Het Nieuwsblad voor Sumatra (27/08/1949) yang mewartakan bahwa kelompoknya menyerang TNI untuk balas dendam. Pasukan Amir Fatah juga dilaporkan menyerang Desa Rokeh Djati dan membunuh sejumlah warga. Selain itu, Desa Pagerbarang juga diserang dan sempat dijadikan tempat persembunyian. Koran itu juga tak lupa menyebut bahwa Amir Fatah adalah mantan letnan kolonel TNI.

Sementara De Locomotief (16/11/1949) melaporkan, pada awal November 1949 sebuah pos polisi di Desa Gumalar, Tegal Selatan, diserang gerombolan. Kemudian Desa Siasem dan Wonosari juga diserang DI/TII yang mengakibatkan 45 rumah dibakar. Diberitakan pula bahwa ulama yang tidak berpihak kepada gerombolan itu dihabisi. Amir Fatah dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab di belakang aksi tersebut. Teror atas desa-desa itu adalah bagian dari pembalasan terhadap TNI.

Ditangkap dan Pergi ke Korea Selatan

Kadaroesno Tjokroatmodjo adalah mantan KNIL yang bergabung dengan TNI. Menurut Benjamin Bouman dalam Van driekleur tot rood-wit: de Indonesische officieren uit het KNIL, 1900-1950 (1995:404), Kadaroesno pernah belajar di Opleidingscentrum voor Officieren van de Federale Troepen (OCO) alias pusat pelatihan perwira untuk tentara federal. Ia kemungkinan bekas tentara federal di sekitar Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Di sekitar Magelang dan Purworejo, atas perintah Letnan Kolonel Ahmad Yani, bekas tentara federal Sumatra Timur dikerahkan untuk menyikat Angkatan Oemat Islam (AOI). Untuk menghalau gangguan keamanan di Jawa Tengah, Ahmad Yani juga kemudian merancang pasukan Banteng Raider. Pasukan DI/TII di Jawa Tengah pun kian terpukul. Menurut Letnan Jenderal Soegih Arto dalam Sanul Daca (1989:90), pasukan khusus dari Divisi Siliwangi (Jawa Barat), Diponegoro (Jawa Tengah), dan Brawijaya (Jawa Timur), menjadi pasukan penting dalam melawan kelompok Amir Fatah. Kelompok ini kemudian terdesak hingga bergeser ke Jawa Barat.

Infografik Amir Fatah

Infografik Amir Fatah. tirto.id/Fuad

Pemerintah juga menugaskan Kepala Jawatan Agama Jawa Tengah, Haji Muslikh, untuk bertemu Amir Fatah dan mengajaknya berunding. Haji Muslikh membawa surat dari Perdana Menteri Muhammad Natsir. Kala itu, menurut Soegih Arto, Amir Fatah mau menyerah bahkan ingin mengajak Kartosoewirjo untuk menyerah. Namun hal itu tak pernah terjadi.

Koran De Preangerbode (23/12/1950) melaporkan, pada pertengahan Desember 1950, terjadi pertempuran sengit di Desa Ciawi, Tasikmalaya, antara pasukan Amir Fatah dengan TNI, yang berlangsung selama tujuh hari. Amir Fatah bersama sekitar 150 kombatannya bersenjatakan 100 pucuk senapan yang di antaranya merupakan senapan otomatis. Dalam pertempuran itu terbunuh Mayor Noersain dari DI/TII. Sementara Amir Fatah kemudian tertangkap di Cisayong, Tasikmalaya, pada 22 Desember 1950. Menurut Tempo (04/12/1976), Kadaroesno Tjokroatmodjo ikut dalam penangkapan tersebut.

Hukuman yang dijatuhkan kepada Amir Fatah tidak terlalu berat. Meski demikian, namanya tetap dicatat sebagai salah satu tokoh DI/TII di buku-buku pelajaran sejarah di sekolah menengah. Dan perjuangannya melawan Belanda di masa revolusi dianulir dalam sejarah Indonesia.

Dua tahun setelah ditangkap, Amir Fatah diperbolehkan pergi ke luar negeri. Ia merantau ke sejumlah negara di Amerika dan Eropa. Namun sekitar tahun 1968, Amir Fatah mulai tinggal di Korea Selatan. Menurut Tempo (04/12/1976), Amir Fatah menjadi anggota pengurus masjid di Seoul yang sering dikunjungi orang-orang Indonesia. Istrinya orang Korea Selatan dan memiliki dua anak laki-laki. Sampai saat itu, Amir Fatah belum lancar berbahasa Korea, maka ia kerap memakai bahasa Inggris saat berkomunikasi dengan istrinya.

Akhir 1976, Kadaroesno Tjokroatmodjo—yang sempat menjadi Gubernur Kalimantan Barat--pernah bertemu dengan Amir Fatah ketika berkunjung ke Seoul. Keduanya salat di masjid tempat Amir Fatah menjadi pengurus. Kala itu, usia Amir Fatah sudah 50-an tahun. Rambutnya yang dicukur pendek sudah mulai memutih. Setelah berbicara sedikit, Kadaroesno merasa logat Banyumas Amir Fatah telah luntur.

Baca juga artikel terkait DARUL ISLAM atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh Pribadi