tirto.id - Tragedi berdarah di Sungai Tambak Beras pada 1295 Masehi dengan tewasnya Ranggalawe dan Kebo Anabrang menyisakan masalah untuk Lembu Sora. Salah satu pahlawan paling berjasa dalam sejarah Kerajaan Majapahit itu mendapat fitnah akan melakukan pemberontakan.
Ken Sora atau Lembu Sora merupakan pengikut setia Raden Wijaya bersama Ranggalawe, Kebo Anabrang, Arya Wiraraja, juga Nambi. Mereka adalah para tokoh perintis yang membantu Raden Wijaya mengalahkan Jayakatwang dan merintis riwayat Kerajaan Majapahit pada 1293 Masehi.
Jayakatwang adalah Bupati Gelang-gelang (sekitar Madiun sekarang) yang pada 1292 Masehi memberontak terhadap Kerajaan Singasari dan menewaskan Raja Kertanegara yang tidak lain merupakan mertua Raden Wijaya.
Raden Wijaya akhirnya mengalahkan Jayakatwang dengan memperalat pasukan dari Kekaisaran Mongol yang saat itu tiba di Jawa. Kaisar Mongol, Khubilai Khan, mengirim pasukan ke Jawa untuk menyerang Singasari yang ternyata telah dikuasai oleh Jayakatwang.
Setelah mengalahkan Jayakatwang, Raden Wijaya menyerang balik pasukan Mongol dan menghancurkan mereka. Usai itu, ia mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Majapahit dan menjadi raja pertamanya dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309).
Tikadiyah Wulan Yulianti dalam riset bertajuk "Kidung Ranggalawe: Pemberontakan Kekuasaan Kidung Ranggalawe" (2017), menyebutkan, andil Ranggalawe, Lembu Sora, dan Arya Wiraraja sangat besar dalam rangkaian perjuangan Raden Wijaya hingga berdirinya Kerajaan Majapahit sebagai penerus Singasari.
Namun demikian, belum lama Majapahit berdiri, mulai timbul percik-percik perpecahan di kalangan orang-orang dekat Raden Wijaya sendiri, termasuk yang melibatkan Ranggalawe, Kebo Anabrang, dan akhirnya merembet ke Lembu Sora.
Latar Belakang Peristiwa
Menurut Inajati Adrisijanti dalam Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota (2012), Kerajaan Majapahit atau Wilwatikta bermula dari pembukaan lahan hutan di tepi Sungai Brantas, dekat Mojokerto, Jawa Timur, yang digalang oleh Raden Wijaya dan para pengikut setianya.
Setelah Majapahit dideklarasikan, Raden Wijaya menunjuk Nambi sebagai rakryan patih atau perdana menteri yang merupakan jabatan tertinggi. Sementara Ranggalawe "hanya" diberi posisi sebagai adipati di Tuban.
Ranggalawe tidak puas dengan pemberian posisi itu. Ia juga menganggap Nambi tidak pantas menyandang jabatan rakryan patih dan menilai Lembu Sora yang lebih layak menjadi perdana menteri. Lembu Sora adalah paman Ranggalawe.
Dalam Tafsir Sejarah Nagarakartertagama (2006), Slamet Mulyana, memaparkan bahwa polemik inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya peristiwa yang disebut pemberontakan oleh Ranggalawe pada 1295 Masehi.
Pecahlah perang antara Ranggalawe yang didukung pasukan dari Tuban melawan pasukan Majapahit di bawah pimpinan Nambi dengan dibantu Kebo Anabrang dan Lembu Sora di Sungai Tambak Beras (daerah Jombang sekarang). Lembu Sora berada di pihak Majapahit karena sumpah setianya kepada Raden Wijaya.
Dalam suatu adegan, diceritakan bahwa Nambi melarikan diri dari kejaran Ranggalawe, namun ada Kebo Anabrang yang menghadangnya. Ranggalawe dan Kebo Anabrang pun terlibat duel satu lawan satu di tengah derasnya sungai.
Kebo Anabrang yang lebih lihai berenang berhasil membuat Ranggalawe berada di ujung tanduk, sekarat, dan akhirnya tewas. Lembu Sora yang melihat kejadian itu murka setelah Ranggalawe meregang nyawa.
Hilang kendali, Lembu Sora menikam Kebo Anabrang sampai mati.
Fitnah Pemberontakan Lembu Sora
Ranggalawe dan Kebo Anabrang tetap dihormati di Majapahit atas jasa-jasa mereka. Namun, tragedi di Sungai Tambak Beras menyisakan masalah bagi Lembu Sora akibat fitnah dari sepupu Raden Wijaya, yakni Dyah Halayuda alias Mahapati.
Slamet Mulyana dalam Tafsir Sejarah Nagarakertagama (2006) menuliskan, Mahapati menebar fitnah bahwa pembunuhan terhadap Kebo Anabrang yang dilakukan Lembu Sora sebagai bentuk pemberontakan.
Tahun 1300 Masehi atau 5 warsa setelah peristiwa berdarah di Sungai Tambak Beras, Mahapati menghasut beberapa pejabat tinggi Majapahit untuk memaksa Lembu Sora bertanggung jawab atas matinya Kebo Anabrang.
Sebenarnya, langkah licik yang dilakukan Mahapati itu dilatarbelakangi oleh ambisinya. Mahapati menginginkan posisi rakryan patih yang saat itu dijabat oleh Lembu Sora.
Dengan menggunakan pasal karet dalam Undang-undang Kutaramanawadharmasastra, Mahapati menuding bahwa Lembu Sora telah melakukan tindak kriminal karena membunuh Kebo Anabrang dan harus dihukum mati.
Agus Ari Munandar melalui Indonesia dalam Arus Sejarah (2012) mengungkapkan, Raden Wijaya menanggapi usulan hukuman mati kepada Lembu Sora dirasa terlampau berat.
Kepada Raden Wijaya, Mahapati mengatakan bahwa ada kasak-kusuk di kalangan para menteri dan pejabat tinggi yang menilai sang raja tidak tegas jika tidak menjatuhkan hukuman kepada Lembu Sora.
Alhasil, Raden Wijaya mau tidak mau harus bersikap, namun bukan hukuman mati yang diberikan kepada Lembu Sora, melainkan sanksi lain berupa pembuangan ke lokasi yang amat jauh, yakni ke Tulembang (Palembang).
Selain itu, jabatan Lembu Sora sebagai rakryan patih alias perdana menteri Majapahit pun dicopot.
Akhir Riwayat Lembu Sora
Kidung Sorandaka mengisahkan, Mahapati sendiri yang datang ke kediaman Lembu Sora untuk menyerahkan surat keputusan raja bahwa hukuman yang dijatuhkan adalah pengasingan ke Tulembang bersama dua pengikut setianya yakni Juru Demung dan Gajah Biru.
Dikutip dari tulisan Anah Nur Fitroh berjudul “Peran Tribhuwana Tunggadewi dalam Mengembalikan Keutuhan dan Perkembangan Kerajaan Majapahit 1328-1350” di Jurnal Pendidikan Sejarah (Volume 5, No. 2, 2017), Lembu Sora menerima keputusan itu dan bersiap berangkat ke istana.
Sebelum ke rumah Lembu Sora, Mahapati telah mendatangi Nambi untuk melancarkan akal bulusnya. Kepada Nambi, Mahapati memperingatkan bahwa Lembu Sora dan pasukannya akan datang ke istana untuk melakukan pemberontakan lantaran kecewa dengan keputusan Raden Wijaya.
Nambi kemudian menghadap Raden Wijaya untuk menyampaikan kabar yang sebenarnya hoaks bikinan Mahapati itu. Sang raja sempat tidak percaya, namun terus didesak oleh Nambi ditambah hasutan dari Mahapati.
Akhirnya, Raden Wijaya memberikan izin kepada Nambi untuk membawa pasukan guna mengadang pergerakan Lembu Sora.
Tak lama kemudian, Lembu Sora yang datang bersama Juru Demung dan Gajah Biru tiba di halaman depan istana. Ternyata, pasukan Majapahit di bawah pimpinan Nambi sudah siap menyambut.
Nambi tidak memperkenankan Lembu Sora masuk ke keraton dengan tuduhan rencana pemberontakan. Pergolakan pun tak terelakkan. Pasukan Majapahit mnyerang Lembu Sora, Juru Demung, dan Gajah Biru yang jelas kalah jumlah.
Di pelataran depan istana pada 1330 itu, Lembu Sora dan dua pengikut setianya kehilangan nyawa. Para pahlawan Majapahit ini mengembuskan nafas terakhir akibat fitnah keji Mahapati.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya