Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Undang-Undang Agraria 1870: Latar Belakang, Tujuan, Dampak

Sejarah Undang-Undang Agraria tahun 1870 (Agrarische Wet) terkait dampak pelaksanaan tanam paksa (cultuurstelsel).

Sejarah Undang-Undang Agraria 1870: Latar Belakang, Tujuan, Dampak
Ilustrasi Sejarah Tanam Paksa (Cultuurstelsel). wikimedia commons/free

tirto.id - Undang-Undang Agraria tahun 1870 (Agrarische Wet) diberlakukan oleh Engelbertus de Waal selaku Menteri Jajahan di Hindia Belanda (Indonesia). Sejarah penerapan undang-undang ini terkait dampak pelaksanaan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) sejak 1830 yang menuai protes.

Agrarische Wet berisi tentang hukum administrasi tanah dan dijadikan landasan untuk mengeluarkan aturan-aturan pembagian atas penguasaan tanah oleh pemerintah, masyarakat pribumi maupun nonpribumi.

Pemberlakuan kebijakan ini pada dasarnya sebagai bentuk perlindungan atas kepemilikan tanah masyarakat pribumi. Orang pribumi dilindungi haknya atas kepemilikan tanah dan dibebaskan dalam penggunaannya. Adanya UU Agraria 1870 ini menjadi awal dari liberalisasi ekonomi masyarakat di Hindia Belanda.

Latar Belakang Sejarah

Diberlakukannya UU Agraria 1870 tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang sebelumnya berlaku di Hindia Belanda (Indonesia), yaitu sistem tanam paksa atau cultuurstelsel. Tanam paksa pada dasarnya diberlakukan untuk dapat meningkatkan produksi tanaman ekspor dan pemberdayaan petani.

Namun, hal tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Alih-alih memberikan kesejahteraan, rakyat justru semakin sengsara. Oleh karena itu, tanam paksa pun ditentang tokoh-tokoh intelektual Belanda, seperti Eduard Douwes Dekker, Baron van Hoevell, Fransen van de Putten, dan lainnya.

Widatul Luthfiyah dalam Pengaruh Undang-Undang Agraria 1870 Terhadap Eksistensi Komunitas Arab di Ampel Surabaya pada Tahun 1870-1930 M (2018) menyebutkan, penyelewengan tanam paksa dengan membuat kaum liberal Eropa, baik yang berada di Jawa maupun di Belanda, tidak suka terhadap personalisme, favoritisme, dan otokrasi sistem kolonial di Jawa.

Sejak era 1850-an, kaum pengusaha swasta diizinkan untuk mengadakan kontrak dengan para petani di Hindia Belanda, khususnya di Jawa dan Sumatera.

Hal tersebut, tulis R.E. Elson dalam Dari State ke State: Rezim yang Berubah dari Produksi Ekspor Petani pada Pertengahan Abad ke-19 di Jawa (2002), terkait dengan penyerahan produk ekspor, menyewa tanah desa, dan menyewa tanah yang tidak digunakan untuk perkebunan.

Kondisi ini menjadikan paham-paham liberal terhadap perkembangan ekonomi di Hindia Belanda semakin berkembang. Puncaknya ketika 1870 kaum liberal berhasil memenangkan suara di parlemen Belanda yang menyepakati adanya UU Agraria 1870.

Menteri Jajahan Engelbertus de Waal kemudian mengesahkan Undang-Undang Agraria 1870 untuk diterapkan di Hindia Belanda.

Tujuan UU Agraria 1870

Boedi Harsono dalam Hukum Agraria Indonesia (2008) menjelaskan bahwa tujuan diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870 antara lain sebagai berikut:

Pertama, memberikan peluang dan kemungkinan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda.

Cara tersebut dapat dilakukan melalui pengembangan industri-industri dan perusahaan-perusahaan perkebunan mereka di Jawa.

Kedua, melindungi hak-hak tanah penduduk agar tidak hilang atau jatuh ke tangan asing melalui penyewaan tanah, bukan menjual tanah kepada pihak asing.

Ketiga, membuka kesempatan kerja yang lebih baik bagi penduduk Indonesia utamanya dalam bidang buruh perkebunan.

Hak Erfpacht dalam UU Agraria 1870

Salah satu poin terpenting dalam penerapan UU Agraria 1870 adalah pemberian hak erfpacht. Ini adalah semacam Hak Guna Usaha yang membuat seseorang bisa menyewa tanah telantar yang telah menjadi milik negara yang selama maksimal 75 tahun.

Hak menyewai sesuai kewenangan yang diberikan hak eigendom (kepemilikan), selain dapat mewariskannya dan menjadikan agunan. Dikutip dari Boedi Harsono dalam Hukum Agraria Indonesia (1995), hak erfpacht terdiri atas tiga jenis, yakni:

  1. Hak untuk perkebunan dan pertanian besar, maksimum 500 bahu dengan harga sewa maksimum lima florint per bahu (1 bahu =

    14,0625 m2).

  2. Hak untuk perkebunan dan pertanian kecil bagi orang Eropa "miskin" atau perkumpulan sosial di Hindia Belanda, maksimum 25 bahu dengan harga sewa satu florint per bahu (sejak 1908 diperluas menjadi maksimum 500 bahu).
  3. Hak untuk rumah tetirah dan pekarangannya (estate) seluas maksimum 50 bahu.

Dampak UU Agraria 1870

Penelitian Makarina Asfina Ratu bertajuk "Dampak Pelaksanaan Agrarische Wet 1870 Terhadapa Kehidupan Petani di Kabupaten Grobogan Tahun 1870-1875" (2009) menyebutkan, Agrarische Wet 1870 telah mempengaruhi perkembangan perkebunan swasta di Hindia Belanda, khususnya di Jawa dan Sumatera.

Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa idealisme yang dikobarkan oleh kaum liberal untuk memperjuangkan keluarnya kebijakan ini tidak sejalan dengan kenyataannya.

Keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan para petani pribumi hanya sekadar angan-angan, karena hanya dirasakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan pihak swasta saja.

Di satu sisi, penerapan UU Agraria 1870 memberikan dampak yang dapat dirasakan hingga saat ini, yaitu perkembangan transportasi, baik berupa pembangunan infrastruktur maupun alat transportasinya seperti kereta api.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya