Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Tokoh-Tokoh Perumus UUD 1945, Sejarah BPUPKI, dan Perannya

Peran tokoh-tokoh perumus UUD 1945 terkait dengan sejarah BPUPKI dan peran mereka dalam sidang jelang kemerdekaan RI.

Tokoh-Tokoh Perumus UUD 1945, Sejarah BPUPKI, dan Perannya
Lukisan potret angoota BPUPKI. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Peran tokoh-tokoh perumus Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak dapat dilepaskan dari sejarah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI merumuskan UUD 1945 dalam sidang kedua tangggal 10-16 Juli 1945.

Sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, BPUPKI yang sebenarnya merupakan badan bentukan Jepang sudah mengadakan dua kali sidang untuk mempersiapkan kemerdekaan.

Pada 19 Mei sampai 1 Juni 1945, BPUPKI mengadakan sidang pertama. Ir. Sukarno, Mohamad Yamin, dan Mr. Soepomo, menjabarkan pendapat mereka terkait perumusan dasar negara.

Hasil akhir sidang ini berupa Piagam Jakarta yang baru diputuskan setelah sidang tanggal 22 Juni 1945. Piagam Jakarta inilah yang menjadi dasar rumusan Pancasila.

Menurut Jimly Asshiddiqie dalam Konstitusi dan Konstituonalisme Indonesia (2008), terungkap bahwa UUD 1945 dirancang pertama kali oleh BPUPKI, tepatnya ketika sidang keduanya tanggal 10-16 Juli 1945.

Dalam proses perumusan tersebut, BPUPKI membahas secara teknis mengenai bentuk negara dan pemerintahan baru yang nantinya akan dijalankan oleh Indonesia yang berdaulat.

Peran Tokoh-Tokoh Perumus UUD 1945

Lukman Surya Saputra dan kawan-kawan dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (2017:66), dibentuk Panitia Hukum Dasar yang beranggotakan 19 orang di sidang kedua BPUPKI. Sukarno ditunjuk sebagai ketuanya.

Dari panitia tersebut dibentuk lagi susunan panitia kecil yang dipimpin oleh Soepomo. Anggotanya terdiri dari K.R.T. Wongsonegoro, R. Soekardjo, A.A. Maramis, Panji Singgih, Haji Agus Salim, dan Soekiman Wirjosandjojo.

Pada 10 Juli 1945, Sukarno bertindak sebagai pembuka sidang kedua BPUPKI. Ketika itu, ia membawa hasil laporan terkait “hasil inventarisasi usul dan pendapat para anggota BPUPKI” dan “usaha mencari jalan tengah atas perbedaan golongan Islam dan Nasionalis”.

Hal ini sejalan dengan motivasi para pendiri negara, yakni perumusan dan pengesahan UUD 1945 harus memprioritaskan kepentingan bangsa dan negara, persatuan dan kesatuan, rela berkorban, cinta tanah air, serta musyawarah untuk mufakat.

Tanggal 13 Juli 1945, Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar telah memperoleh hasil terkait Lambang Negara, Negara Kesatuan, dan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Selain itu, juga dibentuk Panitia Penghalus Bahasa yang beranggotakan Hoessein Djajadiningrat, Haji Agus Salim, dan Soepomo.

Pada 14 Juli 1945, digelar sidang dengan tajuk “Pembicaraan tentang Pernyataan Lemerdekaan”. Isinya terkait UUD 1945 yang jumlahnya 42 pasal, 5 di antaranya membahas aturan peralihan keadaan perang dan 1 pasal yang dijadikan sebagai poin tambahan.

Satu hari setelahnya, tanggal 15 Juli 1945, dilakukan sidang “Pembahasan Rancangan UUD”. Di sidang inilah para tokoh berperan sentral dalam perumusan UUD 1945. Sukarno ketika itu menjadi Ketua Perancang UUD.

Bung Karno menjelaskan bagaimana naskah yang dihasilkan dari rapat sebelumnya dan ternyata membuat Mohammad Hatta menanggapinya. Lalu, Soepomo sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD, ikut menjelaskan tentang naskah yang berjumlah 42 pasal itu.

Berdasarkan catatan Sekretariat Negara Republik Indonesia dalam Risalah Sidang BPUPKI PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 (1995:264), terungkap bahwa Soepomo menegaskan bahwa proses perumusan UUD juga tidak boleh dianggap tidak penting.

Pada 16 Juli 1945, UUD akhirnya resmi diterima oleh seluruh peserta sidang BPUPKI. Selain itu, diterima usul-usul dari Panitia Keuangan dan Panitia Pembelaan Tanah Air. Dengan demikian, selesailah tugas BPUPKI.

Tokoh-tokoh Perumus UUD 1945

  • Ir. Sukarno
  • Mohamad Yamin
  • Mr. Soepomo
  • K.R.T. Wongsonegoro
  • R. Soekardjo
  • A.A. Maramis
  • Panji Singgih
  • Haji Agus Salim
  • Soekiman Wirjosandjojo
  • Hoessein Djajadiningrat
  • Mohammad Hatta
  • Achmad Soebardjo
  • Radjiman Wediodiningrat

Penyusunan Pembukaan UUD 1945

Rancangan Preambule Hukum Dasar yang sudah disusun Panitia 9 selanjutnya dijadikan rancangan Pembukaan UUD 1945. Di dalamnya memuat pula rancangan dasar negara Pancasila. Rancangan dasar negara Pancasila yang sesuai Piagam Jakarta memuat sila-sila berikut:

1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selanjutnya, rancangan Preambule Hukum Dasar dan hal-hal lain dibawa panitia delapan ke sidang kedua BPUPKI dan sidang kedua keanggotaan BPUPKI. Berdasarkan kajian yang dilakukan Panitia Perancang UUD yang dibentuk Ketua BPUPKI dan diketuai Ir. Soekarno menghasilkan rancangan UUD sebagai berikut:

1. Rancangan teks proklamasi diambil dari alinea 1, 2 dan 3 rancangan Preambule hukum dasar (Piagam Jakarta) ditambah dengan yang lain sehingga merupakan teks proklamasi yang panjang.

2. Rancangan Pembukaan UUD 1945 diambil dari alinea 4 Rancangan Preambule Hukum Dasar (Piagam Jakarta).

3. Rancangan Batang Tubuh UUD.

Rancangan ini lalu diterima dalam sidang pada 14 Juli 1945 setelah melalui perdebatan panjang. Teks Indonesia Merdeka dan teks Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya memuat rancangan dasar negara Pancasila disetujui.

Pada 16 Juli 1945 rancangan Preambule Hukum Dasar yang kemudian dikenal sebagai rancangan Pembukaan UUD dan rancangan Batang Tubuh UUD disahkan BPUPKI.

Dalam perjalanannya, pasca proklamasi kemerdekaan RI disampaikan usulan mengenai penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila seperti yang termuat di Piagam Jakarta. Pengusulnya adalah Moh. Hatta sebelum sidang PPKI dimulai pada 18 Agustus 1945. Usul tersebut disetujui secara mufakat.

Dengan demikian, sila pertama yang semula tertulis ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, berubah menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sementara itu, kalimat pada sila-sila lainnya tidak ada yang berubah.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Yulaika Ramadhani