tirto.id - Semboyan Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa dan muncul dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Ungkapan ini menegaskan bahwa perbedaan tidak harus memecah persatuan. Nilai itu hidup karena masyarakat terus merawat semangat kebersamaan.
Kakawin Sutasoma menggambarkan harmoni antara berbagai ajaran yang tampak berbeda. Teks ini mendorong pembacanya untuk melihat kesamaan dalam keberagaman. Pesan itu mengajak kita mempraktikkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari.
Makna semboyan tersebut menegaskan identitas bangsa yang majemuk. Ajarannya mendorong warga untuk menjaga persatuan tanpa menolak keragaman. Semangat itu tetap relevan sebagai fondasi hidup bersama di Indonesia.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika Berasal dari Bahasa Apa?
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi salah satu instrumen dari lambang negara. Sebagai semboyan Bangsa Indonesia, kalimat Bhinneka Tunggal Ika tertulis di lambang negara, yakni Garuda Pancasila.
Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan NKRI dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lebih lanjut, regulasi mengenai semboyan negara diperkuat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
Pada Pasal 1 disebutkan bahwa semboyan itu ditulis di atas pita yang dicengkram oleh Garuda sebagai lambang negara Republik Indonesia.
Pada pasal 5 dijelaskan bahwa kata Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Jawa kuno yang ditulis dengan huruf latin.
Berdasarkan data sejarah, Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang diambil dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular pada abad 14.
Mengutip buku Bhinneka Tunggal Ika dan Integrasi Nasional terbitan Pusat Pengkajian MPR RI, istilah Bhinneka Tunggal Ika pertama kali digunakan pada tahun 1950 dalam sebuah Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat.
Berdasarkan rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II, semboyan Bhinneka Tinggal Ika dimasukkan ke dalam lambang negara. Dengan posisi menempel di pita yang dicengkeram Burung Garuda, ungkapan dalam bahasa Jawa kuno itu disetujui oleh semua peserta sidang tanpa penolakan.
Apa Arti Semboyan di Bhineka Tunggal Ika
Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular ditulis pada masa kerajaan Majapahit, tepatnya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, sekitar abad ke 14.
Hasan Irsyad dkk dalam jurnal STILISTIKA Vol. 9 No. 2 Juli–Desember 2016 menjelaskan bahwa pada kakawin inilah dapat ditemukan teks asli Bhinneka Tunggal Ika, yakni pada pupuh CXXXIX bait kelima baris empat.
Rizal Mustansyir dalam Jurnal Filsafat Agustus ’95 menulis bahwa istilah Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa dari bahasa Sansekerta, “Bhinneka”, “Tunggal”, dan “Ika” berasal dari kata "Bhinna + Ika" yang berarti "berbeda-beda itu"; "Tunggal" artinya satu; "Ika" yang berarti "itu".
Jadi istilah "Bhinneka Tunggal Ika" secara etimologis berarti: Berbeda-beda itu dalam satu itu. Kata itu yang pertama merupakan rangkaian dengan kata "Bhinna", yakni "berbeda-beda itu".
Kata "itu" yang kedua secara deiktik mengacu pada bangsa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika dalam arti yang luas yaitu, beranekaragam etnik, budaya dan agama, namun ada dalam kesatuan yakni bangsa Indonesia.
Kesatuan di sini merupakan hasil kesepakatan bangsa Indonesia untuk mengatasi keanekaragaman yang ada, sehingga dapat mencegah timbulnya konflik.
Bhinneka Tunggal Ika dalam hal ini mengandung aspek keharusan (das Sollen) bagi keutuhan bangsa Indonesia.
Apa yang dimaksud Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa?
Bhinneka Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma diambil dari kalimat lengkap Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Jadi, dalam pembahasan ini akan menjawab apa tulisan lengkap bhinneka tunggal ika dalam kitab sutasoma.
Dalam aksara latin, bait lengkap Bhinneka Tunggal Ika berbunyi: “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”
Terjemahannya: “konon antara ajaran Buddha dan Hindu berbeda, namun kapan Tuhan dapat dibagi-bagi, sebab kebenaran Jina dan Siwa adalah tunggal, berbeda itu tapi satu jualah itu, tak ada dharma (jalan kebaktian/kebaikan) yang mendua tujuan.”
Dari situ dapat diketahui bahwa terusan kalimat bhinneka tunggal ika adalah tan hana dharma mangrwa. Maka, kalimat itu tidak berdiri sendiri, namun dilanjut dengan kalimat lain yang menyempurnakan maknanya.
Kitab Sutasoma menunjukkan bahwa dalam sejarah Majapahit abad ke-14 semangat toleransi kehidupan beragama sangat tinggi.
Digambarkan bahwa dua agama besar Hindu dan Budha hidup secara bersama dengan rukun dan damai. Kedua agama besar itu beriringan di bawah payung kerajaan, pada jaman pemerintahan raja Hayam Wuruk.
Oleh karena itu meskipun Budha dan Siwa merupakan dua substansi yang berbeda, namun perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan, karena kebenaran Budha dan kebenaran Siwa bermuara pada hal Satu. Mereka memang berbeda, tetapi sesungguhnya satu jenis, tidak ada perbedaan dalam kebenaran.
Apa Saja Contoh Penerapan Bhinneka Tunggal Ika?
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa Indonesia yang menegaskan bahwa meskipun masyarakat memiliki banyak perbedaan, kita tetap bersatu sebagai satu bangsa. Nilai ini penting dijaga agar kehidupan sosial tetap harmonis dan tidak mudah terpecah oleh perbedaan. Melalui penerapan dalam kehidupan sehari-hari, semangat persatuan dapat terus hidup di tengah keberagaman.
1. Saling Menghormati Antarumat Beragama
2. Gotong Royong di Lingkungan Masyarakat
3. Menghargai Budaya dan Adat Istiadat Daerah Lain
4. Kerja Sama di Sekolah
5. Tidak Membeda-Bedakan Teman atau Rekan Kerja
6. Menggunakan Bahasa Indonesia sebagai Pemersatu
7. Toleransi dalam Perbedaan Pendapat
Pembaca yang ingin mengetahui informasi seputar Materi Ajar dapat klik tautan di bawah ini.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Iswara N Raditya & Balqis Fallahnda
Penyelaras: Satrio Dwi Haryono
Masuk tirto.id




































