tirto.id - Sebuah video pidato wisuda di kampus berbasis Islam berseliweran di jagat maya. Dalam klip itu, seorang mahasiswa yang memeluk Agama Hindu tampak menyampaikan rasa syukur lantaran sudah diberi ruang toleransi di perguruan tinggi tempat ia mengenyam pendidikan.
Bukan cuma lewat lalu terabaikan, video ini memperoleh banyak atensi dari warganet yang serentak melontarkan komentar kagum dan bangga. Mereka takjub, mahasiswi dengan agama selain Islam bisa berkuliah di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP).
Padahal, hal ini seharusnya jadi fenomena yang biasa di tengah keberagaman agama di Indonesia. Selayaknya pelajar beragama Islam yang bersekolah di kampus berbasis Kristen atau Katolik, mahasiswa pemeluk agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, atau agama-agama dan kepercayaan lainnya yang belajar di perguruan tinggi Islam sudah semestinya dinormalisasi.
Masyarakat harus menepis anggapan bahwa hanya mahasiswa muslim saja yang bisa berkuliah di kampus-kampus Islam dan sebaliknya. Sebab, pada realitanya, beberapa universitas dengan nuansa Islam sudah terbuka bagi mahasiswa dari agama lain. Hal ini salah satu wujud aksi toleransi yang harus dipertahankan.
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kudus, Jawa Tengah, misalnya, menyatakan mereka terbuka kepada siapa saja yang ingin belajar, termasuk bagi mahasiswa yang bukan Muslim. Begitu pula Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI), yang mengungkap pada Tahun Ajaran baru 2024 lalu, mereka menerima sekira 3 ribu mahasiswa dan 180 di antaranya tidak beragama Islam. Mahasiswa yang bukan muslim juga masih dijumpai di banyak kampus Islam lainnya.
Salah satu dosen di UIN Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur, Abdulloh Hamid, mengungkap, sejak UIN berganti nama dari sebelumnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) pada 2014, ada sejumlah mahasiswa non muslim yang berkuliah di sana.
Sebab, saat itu UIN jadi membuka jurusan umum dan tidak hanya jurusan agama saja. Hamid bilang, mahasiswa yang bukan Muslim diberi kebebasan dalam hal beragama, termasuk dalam hal berpakaian.
Kementerian Agama (Kemenag) memang sempat mengimbau Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang sudah menerima mahasiswa dengan latar agama yang beragam untuk berlaku secara proporsional.
Eks Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kemenag, Ahmad Zainul Hamdi, menyampaikan, PTKIN yang sudah berani menerima mahasiswa non muslim di kampusnya harus memiliki cara pandang terbuka dan bisa bersikap adil.
“Jangan menerapkan aturan kepada mahasiswa non muslim mengikuti semua persyaratan pendidikan di kampus, misalnya harus menghafal Al-Quran juz 30. Jika mereka mengambil prodi umum, maka berikan pendidikan agama sesuai keyakinan agamanya sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas," tegasnya, mengutip laman resmi Kemenag, Kamis (21/9/2025).
Termasuk soal berpakaian, kata Ahmad, mahasiswi yang tidak pemeluk Islam tidak boleh dipaksa mengenakan jilbab. "Okelah mereka tidak dibolehkan mengenakan rok pendek, kaos singlet, baju terbuka, atau semacamnya yang kurang pantas, namun jangan pula mereka dipaksa agar mengenakan jilbab," tuturnya.
Memuliakan Keberagaman
Kampus Islam dan kampus-kampus berbasis agama, yang menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan memang patut diapresiasi setinggi-tingginya.
Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Samsul Maarif, bilang, keterbukaan mereka dengan komitmen memuliakan keragaman dan penghormatan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah contoh upaya untuk menegaskan kesepakatan ber-Indonesia, dan untuk mencapai cita-cita Bhinneka Tunggal Ika.
“Namun harus diakui bahwa keterbukaan mereka terasa tidak populer, karena di antara fakta praktik pendidikan yang juga kita saksikan adalah pewajiban seragam berbasis identitas agama seperti pewajiban jilbab kepada nonmuslim,” kata Samsul kepada Tirto, Selasa (18/2/2025).
Samsul menyampaikan, beberapa kampus Muhammadiyah di sejumlah daerah sesungguhnya terbuka untuk nonmuslim, begitu pun kampus Kristen dan Katolik yang terbuka kepada nonkristen dan nonkatolik, dan seterusnya.
Kasus seperti itu disebut Samsul sejatinya biasa saja dalam konteks kehidupan keagamaan yang beragam di Indonesia. Namun, kata Sambul, hal ini menjadi menakjubkan lantaran kebijakan pendidikan agama mewajibkan agama diajarkan kepada peserta didik berdasarkan agama yang dipeluknya oleh pengajar yang seagama.
Menurutnya, masyarakat yang menganggap aneh telah terhegemoni oleh kebijakan pendidikan agama, sementara mereka yang takjub mengusung aspirasi kewargaan inklusif dan mengharapkan kehidupan kewargaan yang saling berbagi. Respons takjub dari masyarakat terhadap video wisuda mahasiswa beragama Hindu memang bisa jadi refleksi bersama.
Peneliti SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah, mengatakan, satu sisi hal itu menjadi suatu progresivitas yang baik, namun di sisi lain juga menjadi cerminan bahwa ruang-ruang perjumpaan antara identitas yang berbeda, terutama di lingkungan pendidikan, masih minim.
“Karena itu menjadi ternyata ada, bisa dibilang ya, ada penciptaan kondisi untuk meningkatkan ruang-ruang perjumpaan di antara identitas yang berbeda itu tadi,” kata perempuan yang akrab dipanggil Sissy itu kepada reporter Tirto, Selasa (18/2/2025).
Sissy bilang, selama ini mungkin ruang-ruang perjumpaan itu masih cenderung homogen atau masyarakat memang selama ini hanya berkumpul pada satu gelembung identitas yang sama.
“Dan itu sebenarnya juga relevan dengan catatan kami, catatan yang SETARA coba temukan gitu, bahwa memang salah satu faktor penyebab adanya intoleransi itu karena memang ya minimnya ruang-ruang perjumpaan [antar identitas yang berbeda] itu,” ujar Sissy.
Masih Ada Kekosongan Kebijakan
Upaya progresif universitas dalam memberikan ruang keberagaman identitas agama memang patut diacungi jempol, tapi bukan berarti tanpa celah. Sissy mengatakan, masih ada kekosongan regulasi atau kebijakan terkait dengan pedoman pembelajaran bagi mahasiswa muslim di kampus yang notabene Islam.
Sebagai contoh, SETARA pernah menemukan kasus di mana mahasiswa non muslim mengambil mata kuliah keislaman lantaran mata kuliah itu wajib diampu. Dengan begitu, masih butuh pedoman atau batasan-batasan terkait mata kuliah apa saja yang mungkin bisa diambil oleh mahasiswa non muslim, dan mana yang mungkin bisa ditolerir untuk tidak diambil.
“Karena itu menjadi kebebasan dari mahasiswa non-muslim. Misalkan memang itu bisa dibebaskan dari mahasiswa non-muslim atau seperti apa. Nah, itu yang mungkin belum adanya regulasi yang jelas, gitu ya. Baik itu yang datangnya dari pihak kampus atau mungkin dari pendidik, atau pemerintah, yang sifatnya memiliki otoritas yang lebih tinggi. Nah, itu belum kami temukan,” kata Sissy.
Menurutnya, kekosongan itu berpotensi menimbulkan catatan-catatan, atau lebih jauh, menjadi “pemaksaan” terhadap mahasiswa non muslim.
Sebuah studi berjudul Relasi Kuasa Foucault di Universitas Samudera Langsa (2020) bahkan menemukan adanya upaya-upaya halus yang dilakukan oleh para dosen keagamaan di Universitas Samudra untuk menggiring para mahasiswa yang tidak memeluk agama Islam untuk memasuki Islam, meski tidak dilakukan secara eksplisit.
Upaya-upaya ini disebut berupa penjelasan yang benar dan jelas tentang agama Islam disertai dengan bukti-bukti konkret. Di lain sisi, penelitian tersebut juga mengungkap berbagai bentuk toleransi yang diterima mahasiswa nonmuslim yang berkuliah di sana, termasuk adanya opsi untuk tidak ikut ujian semester dan mengambil nilai dari gereja, adanya kebebasan untuk mengerjakan tugas sesuai perspektif dan keyakinannya, serta diberikan kebebasan dalam mengikuti diskusi.
Sissy mengimbau pemerintah untuk mengoptimalkan Pusat Penguatan Karakter (PUSPEKA) yang dibentuk melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 28 tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Dengan demikian, fungsinya bisa meluas untuk memantau isu-isu toleransi. Sebab, perlu diingat kembali, intoleransi termasuk dalam salah satu tiga dosa besar di pendidikan.
“Jadi, bagaimana PUSPK ini sehingga bisa benar-benar optimal termasuk juga dalam konteks menjaga atau istilahnya menjaga dan memastikan, gitu ya, tidak terjadinya peristiwa-peristiwa intoleransi di lingkungan pendidikan, terutama di lingkungan kampus,” ujar Sissy.
Sementara itu, Samsul menegaskan, jika lembaga pendidikan berbasis agama bisa berkomitmen untuk memuliakan keragaman, lembaga pendidikan negeri seharusnya juga melakukan hal yang sama.
Menurut Samsul, ketimbang kampus-kampus hanya berlomba-lomba mengusung dan mengedepankan komitmen kebangsaan, memproduksi warga-warga terdidik dengan kelapangan dalam berwarga-negara, dan menjadikan keyakinan atau agamanya sebagai basis berwarga-negara, yang lebih mulia adalah tuntutan pemenuhan haknya sekaligus pemenuhan hak warga lainnya, terutama mereka yang rentan.
“Pemerintah seharusnya menjadikan lembaga pendidikan yang terbuka sebagai model untuk memproduksi kebijakan-kebijakan yang memungkinkan berkembangnya lembaga pendidikan atau sistem pendidikan yang terbuka, inklusif tanpa diskriminasi,” kata Samsul.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang