tirto.id - Republik Indonesia lahir dari kesepakatan orang-orang dengan pandangan hidup dan cita-cita politik berbeda bahkan terkadang bertentangan. Pada 18 Agustus 1945, tepat hari ini 75 tahun lalu, dua puluh tujuh orang anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dari berbagai kepulauan, termasuk keturunan Tionghoa, Arab, dan Belanda, berkumpul di gedung Chuo Sangi In (sebelumnya gedung Volksraad). Mereka mengadakan musyawarah untuk mengesahkan konstitusi negara baru yang baru satu hari diproklamasikan.
Sebelumnya, ada hari-hari panjang yang telah mereka lewati dalam perdebatan sengit dan tajam mewakili nilai, norma, pandangan hidup, dan ideologi politik masing-masing. Titik tolaknya dimulai sejak 29 Mei sampai 1 Juni 1945 ketika Sukarno menyampaikan pidato tentang Pancasila sebagai philosophische grondslag (landasan falsafah) bagi negara Indonesia merdeka. 18 Agustus 1945 menjadi klimaks dari seluruh rangkaian peristiwa. Sebagai ketua sidang, ia menyadari bahwa setiap hadirin memiliki cara pandang dan pemikiran politik berbeda yang melandasi perdebatan mereka.
Sukarno membuka rapat yang dimulai tepat pukul 11.30 dengan meminta yang hadir untuk membahas persoalan dengan “ketjepatan kilat” dan tidak tenggelam dalam “kehendak jang ketjil-ketjil tetapi menuruti garis-besar sadja jang mengandung sedjarah”. Seperti diharapkan, pembahasan pokok sidang hari itu selesai kurang dari dua jam, sesuai dengan harapan Sukarno. Keputusan paling pentingnya: mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional negara republik yang baru.
Sidang-sidang selanjutnya dilanjutkan pada sore hari dengan hal teknis terkait pemilihan presiden dan wakil presiden. Mereka juga memutuskan pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bertindak sebagai parlemen sementara bagi Republik Indonesia.
Sidang itu adalah peluit panjang pemberangkatan kereta sejarah republik yang baru. Dua puluh tujuh orang yang hadir di gedung itu adalah penumpang pertama yang membuka “pintu gerbang” menuju cita-cita ideal emansipasi warga negara republik. Tidak ada stasiun akhir kereta itu. Setiap generasi sebagai penumpang berikutnya memiliki hak yang sama untuk melihat arah perjalanan mereka dengan cara baru sesuai laku zamannya.
Kesepakatan Agung
Setiap negara di dunia memiliki kisah sendiri tentang kesepakatan agung dalam sejarahnya. Inggris melahirkan Magna Carta pada abad ke-13 dan Amerika Serikat menghasilkan konstitusi pada 1776. Di sisi lain, kebuntuan menciptakan kesepakatan agung dalam kehidupan bernegara membuka jalan bagi penyelesaian lain yang bersifat revolusioner seperti yang terjadi di Perancis (1789) dan Rusia (1918). Kereta sejarah hanya mengenal dua jalur tersebut dalam perjalanannya.
18 Agustus 1945 memiliki kesejajaran sejarah dengan pengalaman setiap negara dalam melahirkan kesepakatan agung tersebut. UUD 1945 memiliki arti penting karena ia memengaruhi kehidupan rakyat banyak. Namun, lebih penting lagi, karena ia juga mewakili bagaimana orang-orang Indonesia memandang diri sendiri dan dunia luarnya.
Kita bisa membayangkan apabila para pemimpin politik Islam menolak kompromi mengubah beberapa penggal kalimat yang tercantum dalam konstitusi Republik—kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Bisa jadi kita akan mendapatkan wajah Indonesia yang berbeda dengan yang kita kenal sekarang. Atau Indonesia sebagai sebuah komunitas politik memang tidak pernah lahir sama sekali. Kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi mengingat republik yang baru lahir segera menghadapi ancaman militer dari Sekutu dan Belanda yang datang pada akhir September 1945.
Persoalannya adalah apakah mentalitas yang pernah melahirkan kesepakatan agung tersebut terus bertahan sepanjang zaman?
Ada pepatah lama negeri Tiongkok yang menyatakan kekayaan tidak bertahan sampai generasi ketiga. Generasi pertama menciptakan kekayaan. Generasi kedua mengembangkannya. Generasi ketiga menghabiskannya. Setelah 75 tahun kemerdekaan Indonesia, pertanyaan yang sama pun muncul: Apakah kutukan generasi ketiga berlaku juga dalam perjalanan sebuah negara-bangsa?
Kemerdekaan Indonesia memang telah menciptakan putaran jam yang tidak lagi bisa ditarik mundur. Semua orang Indonesia dewasa sepertinya tidak dapat membayangkan untuk mengundang penguasa kolonial lama kembali berkuasa. Menempatkan lagi Ratu Belanda atau Tenno Heika sebagai junjungan tertinggi negeri ini sudah pasti berada di luar bayangan banyak orang.
Namun, bagaimana mengorganisasi kehidupan bersama dalam sebuah republik adalah persoalan lain. Kita telah melihatnya dalam beragam peristiwa, seperti tergambar pada gerakan separatisme yang mewakili rasa tidak puas satu kelompok terkait cara bagaimana kehidupan bersama diatur.
Yang Abadi Hanya Perubahan
Kehidupan politik Indonesia masa kini sepertinya membenarkan peribahasa Tiongkok lama tentang pudarnya kejayaan keluarga dalam waktu tiga generasi. Kompromi di kalangan pemimpin politik sekadar mengatur berapa banyak pundi kekayaan bertambah dan kursi kekuasaan bertahan. Meminjam pernyataan Sukarno dalam pidatonya pada 18 Agustus 1945, dengan cara berbeda, sekarang ini memang kita hidup dalam "kehendak jang ketjil-ketjil" dan melupakan "garis-besar jang mengandung sedjarah".
Mengatakan bahwa Indonesia akan abadi selamanya adalah seperti mengulang sejarah lama orang-orang Romawi yang menganggap imperium mereka akan terus bertahan selamanya. Sekarang semua kejayaan itu tinggal puing-puing dan sekadar hidup dalam drama Hollywood yang mengemasnya sebagai barang dagangan. Diktum klasik ini memang benar: yang abadi hanyalah perubahan.
==========
Andi Achdian adalah sejarawan dan pengajar di Universitas Nasional. Menyelesaikan doktor ilmu sejarah di Universitas Indonesia dengan disertasi tentang ras, kelas, dan bangsa dalam politik antikolonial di Surabaya awal abad ke-20.
Editor: Ivan Aulia Ahsan