tirto.id - Ketika pertama berkunjung ke Uni Soviet pada awal 1960-an, ahli sejarah kulit hitam asal Guyana Walter Rodney terkejut menyaksikan buruh dan tani memadati bandara. Mereka menanti penerbangan dengan pesawat Tupolev 104. Seingat Rodney, yang sampai hari itu masih membayangkan bandara sebagai “institusi yang sangat borjuis”, hanya orang-orang tertentu (kelas atas) yang enteng bepergian dengan pesawat—dan Rodney bukan salah satunya.
Begitu ke luar dari pintu bandara, ia makin tercengang saking banyaknya penjual buku di trotoar. “Bahkan di Amerika, orang bisa beli hotdog dan hamburger di trotoar, tapi tidak buku,” catat Rodney sebagaimana dikutip dalam Walter Rodney Speaks: The Making of an African Intellectual (1990).
Bagi Rodney dan banyak intelektual dunia terjajah lainnya, Uni Soviet adalah panutan: sebuah anti-tesis untuk bangsa-bangsa Eropa lainnya yang telah mengobrak-abrik, memiskinkan, dan memperbudak Afrika. Seperti halnya spirit Revolusi Perancis mendorong para budak Haiti untuk membebaskan diri dari bos-bos perkebunan kulit putih dan mendirikan republik pertama (1804) di luar Eropa dan Amerika, pendirian Uni Soviet mengilhami rakyat terjajah untuk menghabisi feodalisme, kapitalisme, dan imperialisme sekaligus—entah itu di Tiongkok, Kuba, Vietnam, Kongo, atau Tanzania.
Pada 7 November 1917 (atau 25 Oktober menurut kalender Rusia lama), tepat hari ini 101 tahun lalu, Revolusi Bolshevik mulai meletus. Para buruh dan tentara yang lelah berperang menduduki kantor-kantor pemerintahan di Petrograd (kini Saint Petersburg) dan malam keesokan harinya merebut Istana Musim Dingin, benteng terakhir Pemerintahan Provisional yang delapan bulan sebelumnya menggulingkan Tsar.
Hingga 1917, belum genap abad ke-20 berusia dua dasawarsa, Imperium Rusia telah diguncang tiga revolusi. Revolusi pertama, pada 1905, berhasil memaksa Tsar mendirikan Parlemen Duma, parlemen pertama sejak Imperium Rusia diproklamirkan oleh Tsar Ivan VI pada 1721—itu pun sempat dibekukan Tsar untuk mengusir anasir-anasir radikal. Revolusi kedua, Februari 1917, sukses menggulingkan monarki dan menggantikannya dengan republik. Revolusi ketiga—sering disebut “Revolusi Komunis”, “Revolusi Bolshevik”, atau “Revolusi Oktober”—yang meletus beberapa bulan setelah revolusi kedua, berhasil menyelamatkan Rusia dari ancaman kediktatoran militer, memadamkan Perang Dunia I, dan mendirikan republik sosialis pertama di dunia.
Revolusi Oktober tak hanya mengejutkan tatanan dunia kapitalis, tapi juga kaum Marxis yang ingin menggulingkannya. Mereka bertanya-tanya: bagaimana mungkin sebuah revolusi sosialis terjadi di tempat yang masih setengah feodal dan kapitalismenya belum sempurna? Haruskah tesis Marx—yang diikuti mayoritas kaum sosialis Rusia—tentang transisi dari masyarakat kapitalis ke sosialis direvisi? Mengapa revolusi justru tidak terjadi di negeri dengan kapitalisme lebih matang seperti Jerman?
Proletariat Industri adalah Kunci
Rusia di bawah Tsar memang sering disebut sebagai teladan buruk Eropa: terbelakang, feodal, dan telat mengalami industrialisasi. Praktik perhambaan (serfdom) yang mulai ditinggalkan sejak abad 14 di Eropa Barat masih bertahan di negeri Beruang Merah hingga 1865. Industrialisasi baru efektif berjalan hampir dua dekade kemudian, kalah 50 tahun dari Jerman dan Perancis, dan hampir seratus tahun dari Inggris.
“Sementara orang-orang barbar dari barat bermukim di puing-puing kebudayaan Romawi yang menyediakan bongkahan batu-batu tua untuk dibangun kembali, orang-orang Slav di timur cuma bisa menatap hamparan tanah yang kosong: jenjang kebudayaan nenek moyang orang-orang Slav itu bahkan lebih rendah dari mereka sendiri,” tulis protagonis Revolusi Oktober 1917 Leon Trotsky dalam The History of The Russian Revolution (1962: 3).
Tak ada parlemen, tak ada kelas kapitalis yang kuat, dan selama berabad-abad tak ada pangeran yang cukup mampu menentang sentralisasi kekuasaan di bawah Tsar di Moskow.
Tapi Rusia punya kaum tani yang radikal. Di bawah Tsar Alexander II, penghapusan praktik perhambaan (1861) gagal mengemansipasi petani. Dibebaskan tapi tak diberi tanah, sebagian besar dari mereka dipaksa jadi buruh atau tentara. Bertahun-tahun kemudian, catat sejarawan Sheila Fitzpatrick dalam The Russian Revolution (1994), industrialisasi serba mendadak di bawah Perdana Menteri Sergei Witte tak berhasil mendorong buruh-buruh kota menyesuaikan diri dengan disiplin pabrik dan gagal memutus koneksi mereka dengan kaum tani tradisional.
Radikalisasi petani sejak paruh kedua abad ke-19 berlangsung seiring mekarnya gagasan-gagasan sosialisme agraria yang salah satunya diwujudkan dengan aksi-aksi terorisme anti-Tsar yang akhirnya membunuh Alexander II dan justru memperkuat represi negara. Pada 1887, Alexander Ulyanov, abang Lenin, protagonis utama dalam Revolusi Bolshevik, digantung lantaran terlibat konspirasi pembunuhan terhadap Tsar Alexander III, suksesor Alexander II.
Selama puluhan tahun, kaum tani radikal menghendaki bubarnya monarki dan mampusnya industri modern. Kelahiran Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia (1898)—kelak terbelah jadi Menshevik dan Bolshevik—menggeser wacana populisme agraria sebagai ideologi dominan gerakan kiri Rusia dan menggantikan kaum tani dengan buruh sebagai agen revolusi.
Bahkan lebih dari itu, faksi Bolshevik meyakini bahwa tahap revolusi borjuis—yang diharapkan kaum Marxis ortodoks bakal mendatangkan demokrasi liberal—mesti dilompati. Ini bisa terjadi lantaran kondisi objektif Rusia praktis mendudukkan negara—yang dibantu segelintir bisnis asing—sebagai pemain utama dalam kapitalisme dengan birokrasi yang jauh dari efektif. Walhasil, agenda penghancuran monarki, revolusi politik, modernisasi ekonomi, dan penghapusan masyarakat kelas terletak di pundak proletariat industri.
Dari Krisis ke Revolusi
Jika kekalahan Rusia melawan Jepang pada 1905 memicu krisis politik di dalam negeri dan memaksa Tsar untuk membuat konsesi dengan kaum liberal, kekalahan pasukan Rusia di sejumlah front Perang Dunia I memicu demoralisasi di kalangan tentara, menguras sumber daya domestik, dan akhirnya menyeret Dinasti Romanov sejengkal lebih dekat ke regu tembak.
Revolusi Februari 1917 (atau Maret dalam kalender Rusia lawas) meletus setelah serangkaian protes dan pemogokan buruh di Petrograd sejak minggu-minggu terakhir 1916. Pada 23 Februari, para buruh perempuan dari pabrik-pabrik tekstil turun ke jalan memperingati Hari Perempuan Internasional. Hanya seminggu setelahnya, Tsar turun takhta dan digantikan oleh Pemerintahan Provisional, yang sejak pertengahan tahun diisi kader-kader Partai Sosialis Revolusioner—pewaris gerakan populis agraria dari abad sebelumnya—dan kaum Menshevik.
Selama beberapa bulan, meski sukses mengeluarkan sejumlah kebijakan progresif seperti penjaminan atas kebebasan pers, hak berserikat, dan hak pilih untuk perempuan, Pemerintahan Provisional yang menggulingkan Tsar terus ditekan oleh Soviet Petrograd (dewan perwakilan kota yang terdiri dari buruh dan tentara) lantaran gagal menghentikan perang dan memastikan kesediaan stok pangan.
Di sisi lain, seperti dicatat Sheila Fitzpatrick (hlm. 42), delapan bulan penuh ketidakstabilan di bawah Pemerintahan Provisional justru memberikan kesempatan bagi Partai Bolshevik untuk berubah dari organisasi bawah tanah menjadi partai massa, dengan anggota yang membengkak dari puluhan ribu ke ratusan ribu.
Pada September 1917, Perdana Menteri Pemerintahan Provisional Alexander Kerensky terpaksa mengoper ribuan pucuk senjata ke buruh dan tentara Petrograd yang telah berada di bawah pengaruh Bolshevik untuk menggagalkan kudeta yang diluncurkan panglima militer Rusia Jenderal Lavr Kornilov.
Dengan bedil di tangan Bolshevik, selebihnya adalah sejarah: tak genap dua bulan kemudian, meletuslah Revolusi Oktober.
Namun, tak lama setelah Rusia meneken Traktat Brest-Litovsk yang menandai penarikan mundur Rusia dari Perang Dunia I, elemen-elemen kontra-revolusioner langsung berbaris untuk membabat Moskow. “Jika Bolshevik-Bolshevik bajingan ini diizinkan mengendalikan Rusia]” tulis Dubes AS untuk Rusia David Francis sebagaimana dicatat China Mieville dalam October: The Story if the Russian Revolution (2017), “mereka bakal mengacaukan pemerintahan di seluruh dunia dan menjadi ancaman bagi masyarakat” (hlm. 310).
Sejak itu, sekutu-sekutu Rusia selama Perang Dunia I—Perancis, Inggris, dan AS—hingga musuh seperti Jerman bersatu mengganyang revolusi dan menduduki sebagian wilayah Rusia. Di sejumlah negeri inilah kelak sentimen anti-komunis merebak dan menemukan wujudnya yang paling ekstrem dalam fasisme Jerman. Perang Sipil pun pecah dan berlangsung selama empat tahun sampai akhirnya dimenangkan kubu komunis yang secara resmi memproklamirkan berdirinya Uni Soviet pada 22 Desember 1922.
Ada anekdot yang beredar kala itu bahwa pada Januari 1918, Lenin menari di tengah hamparan salju merayakan usia revolusi yang telah bertahan lima hari lebih lama dari Komune Paris, pemerintahan buruh pertama di Perancis yang bertahan sekitar tiga bulan pada 1871. Kekhawatiran Lenin akan tumpasnya revolusi berakhir seiring kemenangan Rusia di Perang Sipil pada 1922.
Namun, nasib yang tak lebih baik dari Komune Paris rupanya benar-benar terjadi bagi gerakan-gerakan kiri radikal di seluruh dunia yang menggencarkan pemberontakan bersenjata setelah Revolusi Oktober. Sepanjang 1918 hingga 1920-an awal, republik merah diproklamasikan dari Bavaria di Jerman, Finlandia, Hungaria, sampai Iran. Mayoritas hanya bertahan seumur jagung akibat kurang persiapan, dihajar elemen-elemen militer sayap kanan, pengkhianatan kubu kiri moderat, atau kombinasi ketiganya.
Dari pengalaman tragis itulah lahir pemahaman bahwa mustahil revolusi proletariat hanya berlangsung di satu negara; ia harus diperjuangkan serempak di berbagai belahan dunia.
Pada 1920, Bolshevik menyelenggarakan Kongres Bangsa-Bangsa Timur di kota Baku, Azerbaijan. Dikenal sebagai Kongres Baku, pertemuan yang dihadiri wakil dari Persia, Turki, Asia Tengah, hingga negeri-negeri Arab itu menghasilkan keputusan krusial: kaum komunis mendukung penuh kaum nasionalis radikal di negeri-negeri terjajah untuk merdeka dari belenggu tuan-tuan Eropa mereka.
Pada kongres itu pula Partai Komunis Belanda menyerukan “penghancuran kapitalisme Belanda” dan menyatakan bergabungnya “Sarekat Islam untuk perjuangan bersama melawan para penindas Belanda”.
Editor: Ivan Aulia Ahsan