tirto.id - Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menegaskan kerangka pemikiran marhaenisme tidak bisa dikonotasikan dengan komunisme. Mega mengatakan hal itu lantaran banyak pihak yang mengaitkan dua pemikiran itu. Ia menegaskan mereka yang kerap mengaitkan karena tak mengetahui sejarah.
"Dulu banyak orang selalu mengonotasikan kalau menyebut marhaenisme langsung dikatakan kita ini komunisme. Padahal, berarti orang itu tidak tahu sejarah dan tidak tahu apa sebenarnya marhaen," kata Megawati saat memberikan sambutan di Rakernas IV PDI Perjuangan (PDIP) di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat (29/9/2023).
Megawati mengatakan marhaen adalah petani yang ditemui Presiden Pertama RI Soekarno alias Bung Karno di Bandung. Falsafah pemikiran itu muncul hasil dari dialog ayahnya itu dengan petani bernama Marhaen tersebut.
"Ketika beliau bertemu siapa nama Bapak? Marhaen, Pak, tentu bahasa Sunda. Apakah sawah ini punya Bapak? Iya. Apakah padi ini punya Bapak? Iya. Apakah benihnya punya Bapak? Iya. Apakah cangkulnya punya Bapak? Iya. Apakah ketika panen nanti bapak akan menjual sesuai kehendak Bapak? Iya. Apakah Bapak bisa menghidupi keluarga Bapak dengan beras yang telah disediakan? Iya. Lalu beliau bertanya, apakah dalam kecukupan Bapak itu cukup? Iya. Tetapi saya tidak bisa memberikan tambahan bagi orang lain," kata Mega menirukan dialog Bung Karno dengan Marhaen.
Megawati mengatakan dari dialog itu muncul kerangka pemikiran marhaenisme.
"Beliau menginginkan sebenarnya seluruh rakyat Indonesia, petani, nelayan itu menjadi sebuah soko guru. Soko itu kan tiang, guru itu ya guru, jadi soko ini memberi pelajaran bagi kemakmuran ke seluruh rakyat Indonesia," tutur Megawati.
Megawati mengatakan marhaen itu, representasi wong cilik bersama jutaan petani, nelayan, serta mereka yang hidup dalam kemiskinan.
"Kita harus menjabarkan falsafah kebebasan ini ke dalam konsepsi demokrasi ekonomi," pungkas Megawati.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Maya Saputri