tirto.id - Penantian itu ujungnya setengah terbayar. Hari itu, 2 Juli 1984, Jose Maria Sison (akrab disebut Joma) akhirnya bisa menghirup sedikit udara bebas setelah dipenjara secara isolasi selama lebih dari enam tahun.
Sebelumnya, status Joma sebagai pemimpin Partai Komunis Filipina (CPP) dan koordinator gerilyawan-gerilyawan komunis telah membawanya mendekam di hotel prodeo atas instruksi pemerintahan Ferdinand Marcos.
Dengan demikian, sejak 10 November 1977, Joma harus menjalani pahitnya ditahan di sel isolasi dengan keamanan maksimum di Fort Bonifacio.
Mengacu pada liputan The New York Timesedisi 2 Juli 1984, Mahkamah Agung Filipina beranggapan bahwa hukuman isolasi Joma bersifat "kejam dan tidak biasa". Tak berselang lama, Mahkamah Agung Filipina segera memerintahkan pembebasan hukuman isolasi terhadap Joma dan memindahkannya ke penjara umum.
Pengadilan tinggi memerintahkan militer untuk memberi Joma "kesempatan untuk bergaul dengan tahanan lain”.
"Dalam periode represi kami, [perintah Mahkamah Agung] itu sangat liberal," kata pengacara Joma, Juan David.
Dalam resolusi tertanggal 21 Juni, dikutip dari liputan yang sama, hakim Abad Santos berujar bahwa "Joma, bersalah atau tidak, tetap seorang manusia, dan manusia adalah makhluk sosial."
Tuan Tanah Melahirkan Pembelot
Kehidupan Joma dimulai pada 8 Februari 1939 di Cabugao, Ilocos Sur, Filipina. Seturut Ninotchka Rosca dalam Jose Maria Sison: At Home in the World, Portrait of a Revolutionary (2004, hlm. 5), sejak lahir Joma mendapat hak istimewa sebab kedua orang tuanya adalah tuan tanah.
Menurut pernyataan Joma saat wawancara penjara pada 1983 yang kemudian ditulis ulang oleh The New York Timesedisi 6 Maret 1986, keluarganya termasuk “tuan tanah kecil yang merupakan cabang dari keluarga tuan tanah besar.”
Joma memiliki beberapa saudara kandung. Dalam “’We Are Siding with Filipino Capitalists’: Nationalism and the Political Maturation of Jose Ma. Sison, 1959—61,” Joseph Scalice (2021, hlm. 6) menyebut beberapa saudaranya menjadi dokter umum, dokter gigi, hingga teknokrat dalam pemerintahan Marcos.
“Joma lalu menjalani hidup dan memperoleh kesadaran [politik] di wilayah Ilocos dan Kota Manila," tulis Ninotchka Rosca (2004, hlm. 5).
Kesadaran politik Joma semakin matang ketika ia berusia 12 tahun. Ini terjadi kala Joma memperhatikan kondisi sulit para petani di kampung halamannya di Utara Luzon.
“Saya mendengar cerita positif tentang komunis dan tentara petani di Luzon Tengah—daerah asal ibu saya,” tutur Joma dalam sesi wawancara yang dipublikasi dalam majalah People’s Marchvolume I, No. 6, Agustus 2000. “Kisah-kisah itu mengesankan dan membuat saya bersimpati pada gerakan tani bersenjata.”
Joma kemudian mengenyam pendidikan sekolah menengah di Manila. Di sana pula ia melihat ketimpangan sosial yang terjadi. "Saya mengamati kehidupan para buruh di kawasan kumuh yang dekat dengan tempat tinggal saya," ucap Joma.
Di sekolah itu, ia juga bergaul dengan teman-temannya yang menggantung hidup pada keluarga Joma. Tercantum dalam The New York Times edisi yang sama, Joma acapkali mendengar cerita tentang bagaimana kakek mereka ditindas oleh kakek saya sendiri.
Akhirnya dalam rentang tahun 1956—1959, Joma belajar Sastra Inggris dan meraih gelar Bachelor of Arts di University of the Philippines. Di sana juga ia bertemu kekasihnya, Juliet de Lima, seorang mahasiswi Ilmu Perpustakaan, dan diam-diam melangsungkan pernikahan pada September 1959 (J. Scalice: 2021, hlm. 6—7).
Sembari belajar, Joma juga berkenalan dengan Marxisme untuk pertama kalinya. "Saya selalu bersimpati kepada para petani dan tidak menyukai beberapa praktik feodal lama keluarga saya sendiri," ucapnya. "Marxisme memberikan ide yang kuat untuk mendapatkan peluang bagi orang miskin."
The New York Times edisi yang sama menyebut, Joma semakin terlibat dalam gerakan mahasiswa pada 1959. Tak hanya itu, serangkaian bacaan politik klasik juga kembali diterbitkan oleh Joma untuk didistribusikan di kalangan aktivis kiri.
Joma juga turut serta mengorganisasikan Student Cultural Association of the University of the Philippines (SCAUP) pada masa akhir studinya. Tujuannya adalah untuk “[...] mempelajari revolusi Filipina pada tingkat terbuka dan Marxisme-Leninisme pada tingkat rahasia”.
“Kami melakukan aksi protes massa mahasiswa bersama buruh dan tani, dari tahun 1961 hingga seterusnya,” tandas Joma.
Bersentuhan dengan Indonesia
Usia Joma menginjak 22 tahun. Pada masa itu, Joma mengambil beasiswa untuk studi Bahasa dan Sastra Indonesia di Indonesia melalui Jajasan Siswa Lokantara.
Ramon Guillermo dalam “Blood-Brothers: The Communist Party of the Philippines and the Partai Komunis Indonesia” (2018) mengungkapkan pada awalnya Joma kesulitan memperoleh paspor. Hal ini disebabkan ia telah masuk dalam daftar hitam oleh National Intelligence Coordinating Agency.
Masalah itu segera terselesaikan saat pamannya yang menjabat sebagai ketua Pemilihan Umum, Sixto Brillantes, meminta kepada Presiden Carlos Garcia untuk memuluskan proses penerbitan paspor Joma pada akhir 1961 (R. Guillermo: 2018, hlm. 14).
Akhirnya, awal 1962, Joma tiba di Indonesia. Empat bulan pertama, sebagaimana pengakuan Joma, ia telah berbahasa Indonesia dengan lancar dan mampu menerjemahkan puisi-puisi Chairil Anwar ke dalam bahasa Inggris. Puisi-puisi Chairil yang diterjemahkan Joma, antara lain “Aku” (I), “Orang Berdua/Dengan Mirat” (Two people/With Mirat), dan “Sia-sia” (Trifling/In vain).
Pengaruh politik Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta turut serta memberikan waktu luang bagi Joma untuk membaca buku-buku kiri.
“Kami berhasil mendapatkan beberapa buku dan pamflet Marxis-Leninis [...] yang disediakan oleh seorang kamerad Indonesia [Bakri Iljas],” terang Joma.
Bakri Iljas, seorang kapten dalam ketentaraan dan anggota PKI, adalah orang yang sama mengajak Joma untuk mendirikan Philippine-Indonesian Friendship and Cultural Association.
Kesempatan di Jakarta tidak disia-siakan begitu saja. Joma dengan segera membangun hubungan baik dengan beberapa anggota biasa hingga elite PKI.
Masih pada tahun yang sama, Joma memutuskan kembali ke Filipina. Hubungannya dengan gerakan komunis Indonesia membuat Joma sempat tertuduh sebagai agen PKI oleh seorang kolumnis antikomunis dari Philippine Herald.
Hal ini disebabkan ia menjabat sebagai sekretaris jenderal Philippine-Indonesian Friendship and Cultural Association.
Tidak hanya sekali saja Joma tertuduh. Ia sempat mengalaminya kembali saat Presiden Sukarno datang ke Manila untuk menghadiri Konferensi Maphilindo pada 1963.
"[...] tabloid-kuning mulai menyebut saya sebagai agen Sukarno dan bahkan menuduh saya mengatasnamakan dia sebagai pembeli rumah mewah di Forbes Park untuk pacar gadis Filipinanya, seorang sosialita bernama Amelia de la Rama, yang tak pernah saya kenal sebelumnya," ucap Joma kepada Ninotchka Rosca (2004, hlm. 44).
Menjauh dari Urban
Joma akhirnya terjun ke politik praktis untuk pertama kalinya dengan bergabung Partido Komunista ng Pilipinas (PKP) pimpinan Dr. Jesus Lava pada akhir 1962.
Di periode ini, berbagai demonstrasi mulai diikuti oleh Joma. "[...] saya berada dalam aksi massa sekitar 500 pekerja dan mahasiswa memprotes manuver Presiden Macapagal untuk memperpanjang validitas Perjanjian Laurel-Langley," kata Joma (Rosca: 2004, hlm. 41).
"Dalam semangat solidaritas internasional, kami juga mengadakan aksi protes terhadap tindakan agresif AS di Kuba, Vietnam, Laos, Indonesia dan belahan dunia lainnya sepanjang dekade 1960-an," terangnya lebih lanjut.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, Joma sering berbenturan ide dengan Lava. Menurut Joma, posisi Lava “terisolasi dan tersembunyi” dari massa. “Yang tersisa [...] adalah kelompok-kelompok kecil yang terisolasi dan individu-individu yang bersedia untuk bersatu,” ucap Joma (Rosca: 2004, hlm. 77).
Hal inilah yang menyebabkan Joma memutuskan untuk mendirikan Partai Komunis Filipina (CPP) baru pada Desember 1968. Dokumen Rectify Errors, Build the Party! (1968) yang ditulis Joma menjadi dasar untuk membongkar kebobrokan aspek ideologis dan kepemimpinan dari partai komunis lama.
Hal yang membedakan antara partai komunis lama dan baru adalah Joma menambahkan pemikiran Mao Tse-tung ke dalam CPP.
“Pemikiran Mao adalah panduan tertinggi dalam menganalisis dan menyimpulkan pengalaman dari CPP,” tulis Joma.
Untuk mencapai tahap komunisme, Joma meyakini bahwa hanya “perang-rakyat” (people’s war) menjadi satu metode penghantar yang efektif.
Dengan itu, pada 29 Maret 1969, didirikanlah organ gerilya CPP, New People’s Army (CPP-NPA). Dalam Foundation for Resuming the Philippine Revolution: Selected Writings 1968 to September 1972 (2013), Joma (2013, hlm. 96) menyebut bahwa perang-rakyat digunakan untuk membebaskan rakyat dari imperialisme AS, feodalisme, dan kapitalisme birokratis.
Pada awalnya, dikutip dari kantor berita Associated Press, CPP-NPA hanya berjumlah sekitar 60 gerilyawan yang bermodal sembilan senapan otomatis. Akan tetapi, gerakan yang dipimpin Joma itu, berjamur di desa-desa.
Sama halnya buku Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (1957) karya D.N Aidit yang menganalisis kondisi struktur dan potensi revolusi di Indonesia, Joma turut menulis tema yang sama dengan subjek Filipina dalam Philippine Society and Revolution (1970).
Garis besar buku itu sekali lagi menekankan pentingnya perang-rakyat untuk mengubah kondisi masyarakat ke arah sosialisme.
Gerakan teror dimulai tahun 1971. Joma dan CPP-NPA inisiatif bergerak membahas rencana mengenai penyerangan rapat umum Partai Liberal (Liberal Party, LP). Tindakan ini diharapkan dapat membangkitkan dukungan masyarakat bagi CPP-NPA.
Menurut laman Stanford, tiga anggota CPP-NPA melemparkan empat granat ke atas panggung pada rapat umum LP di Plaza Miranda, Manila, pada 21 Agustus. Pada titik akhir, Joma justru menyangkal keterlibatan CPP-NPA dalam kasus itu.
Guna mengevaluasi lima tahun pertama CPP-NPA, Joma mengeluarkan tulisan Specific Characteristics of Our People's War pada 1974. "Joma mengarahkan unit CPP-NPA untuk tetap independen satu sama lain, melakukan serangan dari daerah pegunungan, dan membatasi serangan mereka pada penyergapan kecil oleh polisi dan militer," tulis dalam laman Stanford.
Aktivitas gerilya dan pelarian Joma harus terhenti sebab ia ditangkap pada 10 November 1977 atas tuduhan pemberontakan oleh pengadilan militer. Tercantum dalam The New York Timesedisi 20 November 1977, Joma dijerat tanpa perlawanan bersama 14 pemimpin NPA lain.
"Partai untuk sementara dilumpuhkan tetapi saya percaya itu akan bangkit kembali seperti biasanya,” kata Presiden Marcos pada konferensi pers.
Seperti yang tercantum dalam awal naskah ini, Joma sempat berpindah dari sel isolasi ke sel umum pada 1984.
Selama masa penahanan, seperti diakuinya dalam laporan The New York Times edisi 6 Maret 1986, Joma diberi tiga buku untuk mereduksi pemikiran komunisnya oleh pemerintah: Alkitab, kumpulan tulisan Presiden Marcos, dan Gulag Archipelago karya Aleksandr Solzhenitsyn.
Penyiksaan juga harus dicicipi Joma selama meringkuk di penjara. Pemukulan dan tidak diberi makan minum menjadi salah dua contohnya.
"Mungkin ada masa singkat ketika Anda bahkan berpikir untuk bunuh diri," katanya.
Saat Presiden Corazon C. Aquino menjabat, bersama dengan empat tahanan politik lain, Joma dibebaskan pada 6 Maret 1986.
Dengan cepat Joma mengasingkan diri di Belanda setelah pembebasannya hingga akhir hayatnya pada 17 Desember 2022 silam di Utrecht.
Penulis: Alvino Kusumabrata
Editor: Dwi Ayuningtyas