tirto.id - Kelompok marxis merupakan salah satu yang konsisten melawan ideologi dan praktik kolonialisme di Kepulauan Indonesia. Penentangan ini boleh dikatakan “dikompori” sosialis generasi pertama Belanda yang memutuskan menyeberang ke Nusantara.
Lewat penelusuran cermat Andi Achdian dalam disertasi berjudul Kaum Pergerakan dan Politik Kota: Perkembangan Politik Kewargaan di Kota Kolonial Surabaya, 1906–1942 (2018), kita mengetahui bahwa salah satu sosialis generasi pertama itu hadir Surabaya.
Pada awal abad ke-20, Surabaya merupakan pusat uang. Skala ekonomi dan industrinya lebih besar dari Batavia (kini Jakarta). Tak mengherankan jika kota tersebut dianggap habitat yang tepat bagi penyebarluasan marxisme.
Achdian telah membahas riwayat dan peran komunitas sosialis di kota itu beberapa tahun lalu lewat artikel “Sebelum PKI Berdiri: Lingkaran Kaum Sosialis di Surabaya”. Maka, alih-alih membahas topik itu lagi, saya hendak mengajukan hal lain yang berangkat dari pertanyaan berikut:
Mengapa gerakan sosialis, dan komunis pada khususnya, mendapat dukungan yang luas dari masyarakat Hindia Belanda? Selain itu saya juga hendak membahas respons pemerintah kolonial terhadap hadirnya gerakan perlawanan yang populer ini.
Berawal dari Perkumpulan Elite
Untuk menjawabnya, kita perlu membahas sedikit aspek tentang pemikiran marxisme itu sendiri. Apa yang dicita-citakan marxisme adalah menghilangkan jurang pemisah antarmasyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas sosial (ini juga merupakan gagasan kunci sosialisme yang merupakan “induk” marxisme). Di sisi lain, kolonialisme—yang secara inheren segregatif—memandang jurang pemisah merupakan instrumen atau alat kontrol masyarakat.
Ringkasnya, marxisme dan sosialisme secara umum dan dasar “ajaran” kolonialisme pada dasarnya berkonflik.
Peter Carey dan Farish A. Noor dalam Racial Difference and the Colonial Wars of 19th Century Southeast Asia (2021) menyebut kolonialisme juga didukung dan diberi pijakan oleh rasisme yang “diilmiahkan” pada abad ke-19. Penjajahan kulit putih terhadap kulit berwarna mendapat legitimasi “akademis”.
Kritik terhadap rasialisme yang mendasari praktik kolonial ini dilancarkan oleh golongan sosialis awal seperti Charles G. Cramer dan Leendert J. D. Reeser.
Seorang tokoh pers marxis yang datang ke Hindia Belanda pada Februari 1913, Henk Sneevliet, tampaknya menganggap sikap para golongan sosialis awal tersebut masih kurang radikal. Cramer, Reeser, dan Sneevliet akhirnya berpisah jalan.
Sneevliet adalah pendiri Perhimpunan Sosial-Demokrat Hindia (ISDV), perkumpulan kaum sosialis demokrat Belanda berskala kecil yang lebih tepat disebut klub debat. ISDV didirikan pada 23 Mei 1914, tepat hari ini 108 tahun yang lalu.
ISDV tidak lain adalah cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena itu hari lahir ISDV juga kerap disebut hari lahir PKI.
Tujuan Sneevliet setelah menguasai wadah ini adalah untuk mendekati pemimpin pergerakan lokal agar ia dapat menyebarkan pemikiran Marxis secara lebih luas. Menurutnya, jika ISDV dibiarkan seperti awal didirikan, ia akan tetap menjadi organisasi kecil karena tidak mengakar di masyarakat.
Kala itu dunia pergerakan belum cukup semarak seperti pada dekade 1920, namun sudah ada aktivitas politik, salah satunya dipelopori oleh Ernest Douwes Dekker dengan Partai Hindia (Indische Partij). Ada juga gerakan politik berdasar identitas agama. Salah satu yang menjangkau paling banyak rakyat adalah Sarekat Islam (SI).
Orang-orang yang terlibat dalam aktivitas inilah yang didekati Sneevliet. Gerakan komunis Sneevliet mendapat kesuksesan dalam merekrut tokoh-tokoh bumiputra.
Sebenarnya, di samping Sneevliet, ide komuni dalam versi yang lain juga dibawa oleh tokoh bumiputra sendiri, Tan Malaka. Ia berkenalan dengan gagasan Marx di Kolese Guru di Haarlem. Ia kemudian akan menjadi perwakilan Komintern untuk wilayah Timur (menjabat sekitar 1923–1927).
Sekitar 1916, sebagian besar tokoh SI di daerah—di luar Surabaya—sudah mengadopsi paham marxis dan menjadi anggota dari ISDV. Akhirnya, SI mengeluarkan ketentuan yang melarang anggotanya rangkap organisasi. Anggota SI yang berhaluan marxis itu kemudian disebut dengan golongan “merah” dan akhirnya memisahkan diri.
Dalam Kongres VII 23 Mei 1920, tepat 102 tahun lalu, ISDV mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. D. N. Aidit, Ketua PKI periode 1950-an, mengatakan PKI didirikan pada saat itu, bukan di tahun 1914.
Dukungan Massa dan Respons Pemerintah Kolonial
Dari penelusuran yang dilakukan oleh Harry J. Benda dan Ruth T. McVey dalam The Communist Uprisings of 1926–1927 in Indonesia: Key Documents (1960), kita melihat bahwa saat didirikan PKI tidak dapat dianggap sebagai badan ideologis yang padat, dalam arti orang-orang yang terlibat tidak dapat dianggap sepenuhnya mengerti ideologi partai: marxisme. Alih-alih berisi para pemikir seperti Tan Malaka, PKI—bahkan hingga akhirnya dibubarkan pada 1966—lebih banyak terdiri dari orang-orang dengan latar belakang yang beragam.
Penders dalam Indonesia: Selected Documents on Colonialism and Nationalism, 1830–1942 (1977) mencatat, “[…] sebagian adalah intelektual perkotaan dan semi-intelektual yang tidak puas atas keadaan ekonomi mereka, sebagian lain adalah pedagang atau petani yang dihantam depresi ekonomi pascaperang, [atau bahkan] orang desa kaya raya—yang sering merupakan muslim ortodoks—yang mengeluh tentang pajak yang memberatkan, dan yang lain lagi adalah para ulama yang menentang penguasa yang kafir, atau pejabat pemerintah yang diperlakukan tak adil oleh kekuasaan kolonial.”
Ini adalah zaman yang—sekalipun secara resmi disebut Periode Etis—membebankan pajak luar biasa tinggi. D. M. G. Koch dalam Om de Vrijheid: De Nationalistische Beweging in Indonesië (1950) menyebutkan salah satu contohnya adalah pajak tanah, yang ditetapkan sebesar 20 persen. Angka ini setara seperti periode Cultuurstelsel (tanam paksa).
Dari sini, kita dapat melihat bahwa lebih banyak anggota yang tertarik oleh isu-isu materiel yang diadvokasi oleh partai. Isu-isu praktis tadi dianggap dekat dan berkait langsung dengan kehidupan masyarakat dibandingkan, misalnya, memperjuangkan ide abstrak seperti kemerdekaan.
Dalam semangat populis dan pragmatis itulah nantinya lahir perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, pemberontakan PKI tahun 1926/27.
Laporan investigasi terhadap orang-orang PKI yang ditangkap (dari asisten direktur urusan pendidikan dan agama kepada Gubernur Jenderal tanggal 19 Desember 1927) menyebut pemimpin pemberontakan berasal dari kelompok non-ideolog dengan pendidikan rendah. Ideolog seperti Tan Malaka bahkan secara tegas menolak gerakan perlawanan 1926/27. Ini menurutnya adalah pemberontakan yang prematur.
Perkiraan Tan Malaka terbukti. Perlawanan PKI dengan mudah ditindas oleh pemerintah kolonial. Bahkan, di beberapa daerah, gerakan telah dilibas sebelum meledak karena mata-mata pemerintah, Dinas Intelijen Politik (PID), bergerak terlebih dahulu. Sebanyak 18 ribu orang ditangkap, empat ribu di antaranya dibuang ke Boven Digul, Papua.
Dalam buku Mempertahankan Imperium (2021), saya menggambarkan perlawanan prematur PKI “menampar” wajah golongan etis. Pasalnya, ini memberi kesan bahwa lembeknya pemerintah kolonial telah menghasilkan sikap “kurang ajar” dari para aktivis gerakan politik.
Sejarah Nasional Indonesia (2008, Jilid 5) mencatat pemerintah kolonial menunjukkan sikap reaksioner bahkan terhadap gerakan politik non-komunis usai pemberontakan. Manuver yang demikian dilakukan sebab perlawanan 1926/27 tidak secara mendalam dimotivasi oleh ide marxisme, tetapi justru ide populis yang tidak secara eksklusif diadopsi oleh PKI semata. Oleh sebab itu, purifikasi iklim politik Hindia setelah perlawanan 1926/27 tidak hanya menyasar PKI, tetapi juga gerakan politik lain asal mereka memiliki potensi membangkitkan suatu perlawanan.
Pukulan telak dari Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff (menjabat 1926–1931)—yang merupakan golongan etis—dengan mengirim tokoh-tokoh komunis ke Digul diperkuat lagi oleh penggantinya, Bonifacius Cornelis de Jonge (menjabat 1931–1936), dengan meningkatkan fungsi pengawasan PID. Kedua tindakan ini menyusahkan PKI untuk bangkit selama periode kolonial. Bahkan pembebasan eks-tahanan Digul yang dilakukan pada 1936 di bawah arahan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh (menjabat 1936–1942) juga tidak membuat gerakan komunis mendapat kekuatan baru.
Perlu waktu hingga negara kolonial jatuh untuk PKI dapat bangkit di bawah kepemimpinan yang baru.
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Rio Apinino