tirto.id - Pada era kepemimpinan D.N. Aidit, Partai Komunis Indonesia mencitrakan dirinya sebagai partai massa. Salah satu cara PKI melejitkan daya tariknya di kalangan massa akar rumput di desa-desa adalah dengan konsisten melakukan kegiatan sosial. Jika dipertajam lagi, salah satu bidang yang dianggap sebagai sarana efektif untuk mendekatkan diri pada massa rakyat adalah pendidikan.
Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)--salah satu organisasi underbouw PKI, misalnya, punya komitmen besar terhadap pemberantasan buta huruf. Gerwani terlibat secara sukarela untuk kampanye melek aksara yang diorganisasi oleh pemerintah. Gerwani juga punya program TK Melati untuk mendidik anak-anak baca-tulis.
Tak hanya itu, PKI juga menyadari betul pentingnya pendidikan untuk meningkatkan kualitas kader-kadernya. Sebagai partai politik, tentu PKI punya program khusus pendidikan politik untuk para kadernya. Hal ini dibuktikan dengan menjamurnya kursus atau sekolah politik yang diselenggarakan langsung oleh partai maupun organisasi underbouw-nya.
Dalam sambutan berdirinya Yayasan Universitas Rakyat (UNRA) pada 25 September 1958 di Jakarta, Aidit menyarankanagar pengurus UNRA menyusun mata pelajaran yang menggugah kesadaran politik mahasiswanya. Mata pelajaran yang dimaksud Aidit itu di antaranya Sejarah Perkembangan Masyarakat, Sejarah Indonesia, Sosial-Ekonomi Indonesia, Revolusi Indonesia, dan Bahasa Indonesia.
“Tentu juga diperlukan mata pelajaran lain sesuai dengan perjuangan Rakyat untuk kebebasannya, tetapi mengenai yang saya sebutkan ini supaya tidak dilupakan, karena sangat erat hubungannya dengan tugas-tugas menyelesaikan Revolusi Agustus sampai ke akar-akarnya,” ujar Aidit dalam pidatonya yang termuat dalam bunga rampai D.N. Aidit, Pilihan Tulisan jilid 2 (1960, hlm. 516-517).
Pada 10 Maret 1959, sebagai bentuk keseriusan menindaklanjuti program Comite Central (CC) PKI di bidang pendidikan kader, Bagian Agitasi dan Propaganda (Agitprop) Comite PKI Jakarta Raya mengeluarkan instruksi mengenai Pedoman Mengajar untuk Guru di Sekolah Politik. Pedoman ini menegaskan salah satu indikator kesuksesan kursus politik bertitik pada cara mengajar tutornya.
“Guru-guru sekolah politik mempunyai peranan penting dalam hal memasukkan pelajaran-pelajaran kepada para siswa, mengingat tingkat kemampuan para siswa untuk menangkap pelajaran,” tulis Bagian Agitasi dan Propaganda Comite PKI Jakarta Raya dalam instruksinya yang terhimpun dalam Inventaris Arsip KOTI, Nomor: 314, yang disimpan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Agitprop Comite PKI Jakarta Raya juga menguraikan beberapa praktik penyampaian materi yang mestinya dihindari oleh pengajar kursus politik. Misalnya, pengajar tidak boleh hanya membacakan materi diktat dengan sedikit penjelasan karena penyampaian jadi tak menarik dan terasa kering. Di samping itu, pengajar juga jangan menyampaikan uraian materi yang terlalu luas karena kader belum tentu bisa memahami semuanya.
Jadi, selain menguasai materi, tutor kursus politik juga harus memahami tingkat kemampuan para siswanya.
Membentuk Kedisiplinan
Sekolah politik bagi kader PKI itu dilangsungkan dalam durasi 2-3 jam setiap minggu. Waktu kursusnya diatur dengan menyesuaikan keadaan di lapangan. Sementara itu, pengajarnya adalah anggota Dewan Pengursus yang diorganisasi oleh Comite PKI setempatpenyelenggara kursus.
Demi kelancaran kursus politik ini, penyelenggara sangat memperhatikan soal tempat kursusnya. Tempat kursus harus bersih dan diusahakan agak jauh dari lingkungan pendukung partai lawan. Hal ini diatur untuk meminimalisasi gangguan dari rival politik dan supaya para pengajar bisa berbicara lebih bebas.
Perlengkapan kursus pun menjadi perhatian Bagian Agitprop Comite PKI Jakarta Raya. Penerangan kelas, sekali pun hanya menggunakan petromax, harus selalu dikontrol sebelum kelas digunakan. Sarana mengajar seperti papan tulis, kapur, dan peta harus disediakan dan dijaga kebersihannya. Perlengkapan penunjang seperti bangku pinjaman untuk siswa harus dikembalikan segera setelah kursus selesai.
Satu aspek yang amat ditekankan PKI dalam kursus politik ini adalah kedisiplinan. Seluruh “siswa” kursus politik diwajibkan tertib menjalani proses pendidikan. Pembentukan kedisiplinan ini dianggap sama pentingnya dengan pendidikan teori dan ideologi partai.
Kedisiplinan bukan hanya diharapkan dari siswa, tapi juga para pengajar. Sebagaimana siswa, para pengajar juga wajib disiplin terhadap waktu, cara berpakaian, dan tenggal evaluasi siswa pascakursus. Para pengajar juga dituntut mempersiapkan bahan ajar yang matang sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan partai.
Dengan begitu, terbentuknya kedisiplinan kader dan tutornya termasuk pula dalam indikator keberhasilan sebuah kursus politik. Hal ini bukan sekadar instruksi kosong belaka, tapi juga berasal dari pengalaman.
Kamite penyelenggara kursus politik dalam Tata Tertib Kursus menyebut demikian, “Pengalaman di berbagai tingkatan kursus partai menunjukkan kurang kuatnya disiplin dalam kursus, misalnya: jam dimulainya kursus tidak tepat, pengikut kursus silih berganti (tidak konsisten), yang tidak hadir tidak dimintai pertanggungjawaban, hingga penyakit liberalisme dalam kursus-kursus partai merupakan penyakit yang menonjol. Belum lagi kita bicarakan soal tempat dan soal kemampuan, yang kadang-kadang sangat kurang memperhatikan garis kewaspadaan partai.”
Selain siswa dan pengajar, penyelenggara kursus pun tak lepas dari aturan kedisiplinan. Para penyelenggara kursus harus mengecek kehadiran siswa melalui buku presensi secara berkala. Bila siswa berhalangan hadir, mereka diwajibkan membuat pemberitahuan tertulis maupun disampaikan langsung secara lisan kepada pimpinan kursus atau Dewan Siswa.
Lalu, Dewan Siswa harus melapor kepada badan kolektifnya jika ada siswa yang tidak hadir tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang bisa diterima. Selanjutnya, badan kolektif itulah yang akan mengambil tindakan korektif kepada siswa yang bersangkutan.
“Kalau dua hari atau lebih sesudah kursus mereka yang tidak datang belum memberitahukan alasannya, pimpinan kursus harus segera memberi peringatan secara tertulis. Kalau peringatan secara tertulis belum mendapatkan jawaban, pimpinan kursus/Dewan Siswa mendatangi rumahnya untuk menanyakan sebabnya dia tidak datang mengunjungi kursus,” demikian tertulis di Tata Tertib Kursus yang juga terhimpun dalam Inventaris Arsip KOTI.
Dispilin organisasi kelas yang diinstruksikan oleh penyelenggara kursus ini diimbangin dengan pengorganisasian keamanan yang terpusat. “Orang-orang yang tak berhak mengikuti kursus tersebut supaya segera dikeluarkan secara bijaksana sebelum kursus dimulai.”
Menurut Ruth T. McVey dalam Mengajarkan Modernitas: PKI sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan (2016, hlm. 16), pengorganisasian dan penegakan disiplin dalam kursus ini adalah salah satu cara PKI meningkatkan kualitas diri para kadernya.
Materi yang
Kaku
Selain aspek kedisiplinan yang dijalankan secara ketat, kursus politik PKI juga dicirikan oleh materi kursusnya yang rigid—bahkan cenderung dogmatis. Contohnya dapat ditemukan dalam petunjuk mengajar untuk para tutor kursus politik.
Dalam materi “Sosialisme dan Komunisme Merupakan Kepastian Sejarah”, misalnya, partai sudah menyusun hal-hal apa saja yang harus disampaikan oleh para pengajar. Jadi, mereka tinggal hanya menerangkan materi sesuai alur yang telah dibuat.
Dalam permulaan materi itu, para siswa diberi pemahaman bahwa segala hal di dunia ini tidak ada yang tetap dan selalu berubah. Konstatasi ini didasarkan pada pemahaman Marxisme bahwa keadaan masyarakat akan terus berubah hingga akhirnya mencapai tingkat masyarakat tanpa penghisapan. Karenanya, penderitaan rakyat bukanlah sebentuk takdir, melainkan sesuatu yang bisa diubah dan diperbaiki.
Dalam Pedoman Mengajar Sekolah Politik tertulis, “Bahwa sejarah manusia itu adalah sejarah rakyat pekerja, maka berikanlah contoh-contoh bahwa untuk kepentingan hidupnya, manusia itu harus bekerja dan tunjukkan sikap kaum komunis yang selalu menghargai kerja dan menganggap bekerja itu suatu kehormatan.”
Sebagai bahan belajar bagi tutor kursus politik, Pedoman Mengajar juga mencantumkan uraian mengenai tahapan kehidupan masyarakat. Topik bahasannya terbagi menjadi soal masyarakat primitif, masyarakat perbudakan, hingga masyarakat feodal. Topik-topik itu secara kontinu menguraikan proses kerja dan sistem kelas yang menimbulkan penderitaan bagi kelas pekerja.
Dalam topik Masyarakat Kelas Primitif, misalnya, dijelaskan kondisi tenaga-tenaga produktif masyarakat primitif masih sangat rendah. Perkakas produksi mereka pun masih sederhana dan karena itu manusia harus bekerja sama. Alat-alat produksi adalah milik bersama dan hasilnya pun dibagi sama rata karena kelas masih belum ada.
“Timbulnya penghisapan atas manusia oleh manusia itu sesudah ada pembagian kerja kemasyarakatan, sesudah ada hak milik perseorangan atas alat-alat produksi, sesudah manusia bekerja mempunyai hasil lebih banyak daripada yang dibutuhkan secara langsung untuk hidupnya,” demikian tertulis dalam Pedoman Mengajar Sekolah Politik.
Pada materi soal Masyarakat Perbudakan, pengajar akan menjelaskan kepada siswanya bahwa masyarakat perbudakan lahir karena pertumbuhan tenaga-tenaga produktif, adanya hasil lebih, terjadinya hak milik perseorangan atas alat-alat produksi, dan dimilikinya hasil lebih oleh kaum pemilik alat-alat produksi.
Ditekankan juga bahwa era Masyarakat Perbudakan menjadi era saat kelas-kelas dalam masyarakat muncul untuk pertama kali. Ia juga menjadi awal mula timbulnya penghisapan manusia terhadap manusia yang lain.
Pada tahap berikutnya dijelaskan bahwa masyarakat perbudakan runtuh akibat pemberontakan kaum budak. Selanjutnya, terciptalah sistem feodalisme. Sistem ini tetap melestarikan penghisapan, tapi bentuknya berubah. Dalam masyarakat feodal terdapat dua kelas pokok yang saling bermusuhan, yaitu kelas tuan tanah (feodal) dan kaum tani.
Pada pebahasan bab ini, para pengajar diarahkan untuk menjelaskan bahwa feodal atau tuan tanah adalah orang yang hidupnya tergantung dari hasil penghisapan sewa tanah atas kaum tani dan mereka tidak mau bekerja. Kelas tuan tanah ini disebut memiliki tanah dan hak milik terbatas atas tani hamba (buruh tani).
“Penghisapan pokok dari tuan tanah (feodal) itu adalah penghisapan kerja lebih kaum tani dalam wujud sewa tanah.”
Editor: Fadrik Aziz Firdausi