Menuju konten utama

Hidup M. H. Lukman, Pemimpin PKI Yang Tumbuh di Pembuangan Digul

Lukman kecil tumbuh di tanah pembuangan Boven Digul. Ikut PKI sejak era Revolusi hingga jadi tangan kanan Aidit.

Hidup M. H. Lukman, Pemimpin PKI Yang Tumbuh di Pembuangan Digul
Header muhammad hatta lukman. (tirto.id/Fuad)

tirto.id - Di antara Aidit, Lukman, dan Njoto, trio pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1950-an, Lukman-lah satu-satunya yang pernah merasakan hidup di pengasingan. Saat kecil, ia hidup bersama keluarganya di Boven Digul, Papua. Di sanalah dia tumbuh jadi seorang komunis.

Pada mulanya adalah Pemberontakan PKI pada 1926-1927. Setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda berhasil mematahkannya, banyak kader yang ditangkap dan dibuang ke Digul. Salah satunya adalah Haji Muchlas, ayah Lukman.

Haji Muchlas adalah seorang guru agama Islam di Tegal. Rex Mortimer dalam Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959–1965 (2006, hlm. 39) menyebut Haji Muchlas bergiat di Sarekat Rakjat selama 1920-an hingga dia diasingkan ke Digul. Haji Muchlas dikirim ke tanah pengasingan itu bersama keluarganya pada 1927.

Kala itu, Lukman berusia sekitar tujuh tahun. Seturut profil yang dimuat Harian Rakjat (7/9/1955), Lukman lahir sekira 1920. Menurut anak Lukman, Tatiana Lukman, seperti yang dia sampaikan kepada Tirto, nama lengkap ayahnya adalah Mohamad Lukman nul Hakim.

Pada 1934, kamp Digul kedatangan interniran baru, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Keduanya adalah tokoh Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). Setelah beberapa saat, Hatta dan Sjahrir menjadi cukup akrab dengan Haji Muchlas dan keluarganya. Hatta yang terpelajar dan membawa berkotak-kotak buku itu pun jadi guru bagi Lukman.

Terkait hubungan antara Hatta-Sjahrir dan remaja Lukman itu, Harian Rakjat menulis, “Lukman banyak mendapat didikan langsung dari Hatta dan Sjahrir, tetapi perkenalannya dari dekat dengan dua orang pemimpin ini justru membawa Lukman sampai pada kesimpulan bahwa dia harus menempuh jalan yang lain daripada yang mereka tempuh.”

Antipenjajah sejak Remaja

Sedari dini Lukman sudah ikut melawan Belanda. Di umur 16, ia disebut ikut menentang kebijakan Wilde Schoolen Ordonantie, yang melarang sekolah-sekolah tak berizin dan bukan dikelola pemerintah karena dianggap bakal meningkatkan kemampuan masyarakat. Dia bahkan sampai dijebloskan ke penjara Digul.

Trikoyo Ramidjo dalam Kisah-Kisah dari Tanah Merah (2009) menulis soal Lukman dan kawan-kawan kecilnya yang berani memperingati Pemberontakan PKI 1926. Di hari peringatan itu, Lukman dan kawan-kawannya berulang-ulang menyanyikan lagu-lagu perjuangan macam Dua Belas November, Satu Mei dan Enam Jam Kerja. Kontan saja aparat kolonial membubarkannya.

“Perayaan kami dibubarkan, diobrak-abrik, dan kue-kue yang seharusnya bisa kami nikmati berhamburan di tanah […] Anak-anak perempuan menangis […] Mas Suroso dan Mas Lukman digelandang serdadu Belanda, walaupun mereka berdua belum dewasa mereka berdua dijebloskan ke dalam tahanan,” tulis Trikoyo.

Lukman pulang ke Jawa pada 1938. Menurut Rex Mortimer dalam Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959–1965 (1974), setelah itu Lukman melanjutkan sekolahnya. Harian Rakjat menyebut Lukman kemudian jadi petani dan lalu buruh di perusahaan bus hingga Jepang datang menyerbu. Selama itu pula dia tak lepas diawasi oleh polisi kolonial.

Di zaman Pendudukan Jepang, menurut Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (1989), Lukman sempat bekerja di kantor Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) lalu Jawa Hokokai di bawah Sukarno dan Hatta. Selain itu, dia juga sering nongkrong di Asrama Menteng 31, Jakarta.

Di masa inilah Lukman berkenalan dengan Dipa Nusantara Aidit. Keduanya lalu jadi kawan karib dalam Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom), sebuah organisasi bawah tanah anti-Jepang. Menurut Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011), Lukman dan Aidit adalah rekrutan Wikana.

Lukman dan Aidit juga aktif dalam gerakan selama masa jelang Proklamasi 17 Agustus 1945. Setelah Indonesia merdeka, Lukman aktif di Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan Barisan Rakyat (Bara).

Masuk Lingkaran PKI

Setelah Indonesia merdeka, M. H. Lukman bersilang jalan dengan Hatta. Ketika PKIjadi oposisi Hatta pada 1948, menurut Poeze, Lukman berada di bagian Agitasi dan Propaganda bersama Alimin dan Sardjono. Setelah Geger Madiun 1948, PKI dibabat oleh tentara pemerintah atas restu Kabinet Hatta.

Untungnya Aidit dan Lukman tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang kemudian dieksekusi. Mereka berdua, bersama Njoto dan Sudisman, menjadi kader-kader muda yang turut membangun kembaliPKI yang remuk. Pada awal 1950-an, mereka menerbitkan lagi majalah partai Bintang Merah untuk membersihkan stigma antinasional. Mereka kemudian sepakat mengambil jalan perjuangan parlementer.

Langkah maha penting yang mereka lakukan adalah mengambil alih kepemimpinan partai dari Tan Ling Jie pada 1951. Sejak itu, Lukman jadi orang penting di PKI.

Oleh sidang pleno CC Oktober 1953, kemudian diperkuat oleh Kongres Nasional ke-V PKI Maret 1954, Lukman dipilih sebagai Wakil Sekretaris Jenderal I CC PKI,” demikian tulis Harian Rakjat.

Lukman adalah orang nomor dua di CC PKI. Trio Aidit-Lukman-Njoto kemudian sukses memperbesar kuantitas anggota partai dan membentuk massa yang solid. Bahkan mereka berhasil mendudukkan PKI dalam jajaran empat besar pemenang Pemilu 1955. Perolehan suara PKI hanya kalah di bawah PNI, NU, dan Masjumi.

Di luar PKI, Lukman juga menjadi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan merangkap jadi menteri.

infografik mild muhammad hatta lukman

infografik mild muhammad hatta lukman. (tirto.id/Fuad)

Setelah kudeta gagal Gerakan 30 September 1965, PKI hancur lebur. Lukman bersama tokoh-tokoh teras PKI lain jadi sasaran Angkatan Darat. Sebelum huru-hara pun, Lukman sempat diterpa isu miring yang mencoreng karakternya.

Koran Kompas (23/11/1965), misalnya, merilis berita bertajukMH Lukman Korupsi 25 Djuta Uang Rakjat”. Menurut berita itu itu, “Tanggal 7 September 1965, Menteri Wakil Ketua DPR-GR Lukman mengajukan permohonan kepada Menteri Anggaran Negara untuk memperoleh uang sebesar Rp 250 juta.” Uang itu sedianya bakal digunakan untuk membeli rumah. Berita ini terkait pembelian rumah di Jalan Gondangdia Lama seluas 2 ribu meter persegi.

Di sisi lain, laporan Kompas itu dibantah dengan tegas oleh Tatiana Lukman dalam tulisan bertajuk “M.H. Lukman Korupsi?” yang dimuat di Koran Sulindoedisi 18 Maret 2018. Tatiana mendapati kliping berita itu mengemuka lagi setelah diunggah melalui blog Robert Adhi Kusumaputra. Menurutnya, laporan Kompas itu merupakan pemutarbalikan fakta dan fitnah, bahkan ia menyebutnya sebagai “fiksi” yang ditulis oleh “si pencipta khayalan”.

“Tuduhan korupsi kepada M.H. Lukman yang dilakukan Kompas pada 1965, dan sekarang kembali disebar oleh Robert Adhi adalah juga untuk menodai kehormatan PKI,” tulisnya.

Lukman sendiri agaknya tak sempat membantah tuduhan atas dirinya karena nasib nahas keburu merenggutnya. Menurut berita dari surat kabar Ampera yang dikutip harian Angkatan Bersendjata (4/5/1966), Lukman dikabarkan tertangkap pada 29 April 1966 dini hari. Dia diciduk saat bersembunyi di rumah seorang dokter Tionghoa di Jalan Ciomas, Kebayoran Baru.

Persembunyian itu rupanya diketahui oleh kelompok mahasiswa antikomunis. Lukman sempat diamankan pihak militer dari Kodam Siliwangi, namun dia dikabarkan tewas tertembak karena melarikan diri dan melakukan perlawanan.

==========

Ralat:

Pada tanggal 10 Desember 2021, redaksi menerima informasi tambahan dari anak M.H. Lukman, Tatiana Lukman, terkait nama lengkap M.H. Lukman dan kasus korupsi yang disangkakan atas dirinya. Berdasarkan informasi tersebut dan pengecekan ulang, redaksi melakukan penyuntingan ulang dan penambahan informasi pada artikel ini sebagaimana yang disampaikan oleh Tatiana Lukman.

Baca juga artikel terkait G30S 1965 atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi