tirto.id - Malam hari, 14 Agustus 1945, berita kekalahan Jepang pun sampai ke telinga para pemuda. Radio BBC London pada siang harinya telah mengabarkan soal menyerahnya Jepang kepada pasukan Sekutu di kapal USS Misouri. Kabar itu tetap sampai ke telinga pemuda Indonesia meski tentara Jepang menyita hampir semua radio milik rakyat. Gerakan Antifasis Perlawanan anti Jepang berhasil menyembunyikan sejumlah radio. Kelompok Syahrir, Amir Sjarifoedin, dan lainnya menyembunyikan dengan baik radio-radio tersebut sehingga tetap dapat menerima kabar-kabar dari luar.
Ahmad Aidit mendengar berita itu. Dia bergegas menemui Wikana, kawannya yang bekerja di untuk Kaigun (Angkatan Laut Jepang) di Jakarta dalam wadah Asrama Indonesia Merdeka. Aidit mengusulkan sebuah pertemuan. Wikana setuju. Esoknya, pukul tujuh pagi, 15 Agustus 1945, sejumlah pemuda berkumpul di belakang areal laboratorium Bakteriologi. Hadir antara lain Chaerul Saleh, Djohar Nur, Pardjono, Armansjah, Subadio Sastrotomo , Suroto Kunto, Eri Sudewo, Syarif Thayeb, Wahidin Nasution, Nasrun, Sukarni,Karimoedin, Adam Malik, Darwis. Chaerul Saleh memimpin rapat itu.
Kebanyakan dari mereka adalah dari Asrama Menteng 31. Sebagian dari mereka adalah pengikut Sutan Syahrir, seorang sosisalis yang anti Jepang seperti Subadio Sastrotomo. Ada juga pengagum Tan Malaka, seorang Trotsky yang beda paham dengan Stalin, seperti Adam Malik, Sukarni juga Wikana. Sementara Ahmad Aidit yang belakangan jadi Dipa Nusantara Aidit adalah komunis. Wikana meski bekerja untuk Kaigun, masih memelihara hubungannya dengan Tan Malaka yang sepanjang pendudukan Jepang bersembunyi di Bayah dengan nama samaran Husein. Menurut Harry Poeze, yang banyak menulis Tan Malaka, rumah Sukarni bahkan pernah dikunjungi Tan Malaka menjelang Proklamasi.
Mengancam Golongan Tua
Hasil rapat 15 Agustus itu memutuskan, Suroto Kunto, Subadio, Wikana, dan Aidit untuk bertemu Ir Soekarno alias Bung Karno. Mereka menuntut agar kemerdekaan diumumkan. Aidit mengusulkan Bung Karno sebagai Presiden Indonesia. Malam itu juga, keempat pemuda tadi menemui Bung Karno di kediamannya, Pegangsaan Timur. Malam itu banyak tokoh-tokoh tua berkumpul bersama Bung Karno, yang baru saja pulang dari Saigon.
Sebagai juru bicara pemuda-pemuda itu, Wikana mendesak Bung Karno untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia secepatnya. Jika perlu tanggal 16 Agustus 1945. Bung Karno tak bisa ambil keputusan sendiri. Dia harus bicara pada tokoh-tokoh tua. Tokoh-tokoh tua ini adalah orang-orang koperatif pada Balatentara Jepang. Belakangan mereka disebut Golongan Tua. Lalu Wikana dan kawan-kawan pemudanya disebut Golongan Muda.
Wikana dan kawan-kawan pemudanya mempersilakan para Golongan Tua untuk berunding di dalam rumah. Sementara Wikana menunggu di beranda rumah bersama pemuda lain. Lalu Mohamad Hatta alias Bung Hatta keluar dan mengatakan jika tokoh-tokoh tua para pemimpin itu enggan secepatnya memproklamasikan kemerdekaan, karena menanti penyerahan kekuasaan dari Balatentara Jepang. Pemimpin-pemimpin tua itu tak mau didesak untuk mengumumkan proklamasi.
“Kecuali jika saudara-saudara memang sudah siap dan sanggup memproklamasikannya, cobalah! Saya pun ingin lihat kesanggupan saudara-saudara...” kata Hatta pada para pemuda itu. Dengan maksud agar mereka tidak salah langkah dan merugikan banyak pihak. Para pemuda tentu masih pada pendirian mereka.
“Jika besok siang belum juga diumumkan, kami, para pemuda akan bertindak dan menunjukan kesanggupan yang saudara kehendaki,” ancam Wikana pada golongan tua tadi. Termasuk kepada Hatta tentunya. Hatta sendiri, sebenarnya sudah diperingati Syahrir suatu sore sepulang Hatta dari Saigon.
“Syahrir menjumpai Hatta, menceritakan kepadanya tentang cerita-cerita penyerahan itu, dan mendesaknya supaya membuat Proklamasi Kemerdekaan diluar kerangka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan alasan bahwa sekutu yang menang pasti tidak mau berurusan dengan suatu negara yang disponsori Jepang,” tulis Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemoeda (1988).
Argumen Syahrir itu agaknya sulit diterima oleh Hatta dan golongan tua lainnya. Golongan Tua itu berpikiran, jika bala tentara Jepang di Indonesia masih kuat. Orang-orang muda yang siap mati di masih sekitar Menteng tentu jadi harapan Syahrir. Sejak sore 14 Agustus 1945, para pemuda itu mulai bekerja demi sebuah proklamasi. Mereka rela melakukan apapun, termasuk “menculik”.
Jelang Proklamasi
Setelah misi Wikana dan kawan-kawan gagal, para pemuda itu sepakat untuk “menculik” pentolan Golongan Tua tadi. Pagi dinihari 16 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Begitu juga Fatmawati dan Guntur yang masih kecil.
Di sekitar lokasi ini, pemuda dan orang-orang Indonesia yang pernah dilatih Jepang dalam Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) siap bertindak jika kemungkinan terburuk terjadi. Alasan penculikan itu untuk menghindari pengaruh Militer Jepang.
Di Rengasdengklok, mereka berunding lagi di rumah I Siong—seorang keturunan Tionghoa. Namun, tetap saja Bung Karno enggan. Sampai akhirnya Ahmad Subardjo datang menjemput Bung Karno dan Bung Hatta. Meski sorenya Bung Hatta, Bung Karno beserta istrinya Fatmawati dan bayinya Guntur, yang diculik itu pulang juga ke Jakarta.
Di Rengasdengklok ternyata bendera Jepang Hinomaru diturunkan dan ada pernyataan kemerdekaan juga pada 16 Agustus itu. Sejumlah orang Jepang yang ditangkapi. Di Surabaya, menurut Abdul Haris Nasution dalam bukunya Bisikan Nurani Seorang Jenderal (1997), Heiho pimpinan Sadikin sudah mengibarkan Merah Putih di unit artileri Jepang tempat mereka bekerja. Mereka sudah dengar berita kekalahan Jepang, segera mengambil alih pimpinan di tempatnya bekerja. Pengibaran bendera Merah Putih hari itu adalah penyataan sikap juga.
Di Cirebon, sudah ada proklamasi kemerdekaan juga pada tanggal 15 Agustus 1945 oleh Dokter Sudarsono. Menurut Aboe Bakar Loebis dalam bukunya Kilas Balik Revolusi (1992), kelompok Syahrir di Cirebon adalah penyelenggara dari proklamasi itu. Naskah titipan Syahrir dibacakan oleh Dokter Sudarsono. Sementara di Jakarta masih belum Proklamasi.
Bung Hatta dan Bung Karno tiba di Jakarta lagi sekitar senja tanggal 16 Agustus 1945. Malamnya, di rumah perwakilan Kaigun di Jakata, Laksamana Maeda, Bung Karno bersama tokoh lain dan sebagian pemuda berkumpul. Laksamana Maeda yang kenal Wikana dan tokoh tua Indonesia lain merelakan rumahnya. Barangkali Laksamana Maeda memakai pengaruhnya agar pihak Rikugun (Angkatan Darat) tidak mengganggu acara yang esok akan dilakukan oelh Wikana dan kawan-kawannya. Mereka rapat hingga dinihari. Di situ, naskah Proklamasi ditulis oleh Bung Karno. Naskah itu lalu diketik rapi oleh Sayuti Melik.
Esok paginya, sebuah peristiwa besar disiapkan para pemuda. Tak hanya yang terpelajar. Menurut Vintje Sumual, dalam Pemimpin Yang Menatap Hanya Ke Depan (1998), pemuda-pemuda yang biasa mangkal di sekitar Pasar Senen pun bersiaga di jalanan. Banyak diantara mereka adalah orang-orang Sulawesi pimpinan Jan Rapar. Laksamana Maeda adalah pelindung dari orang-orang Sulawesi yang ada di Jakarta. Sementara pemuda terpelajar, juga yang sudah jadi PETA, di sekitar Jalan Pegangsaan Timur 56.
Wikana dan kawan-kawannya mempersiapkan acara. Mereka mengundang orang-orang yang belakangan jadi saksi Proklamasi Indonesia. Semua akhirnya aman tanpa gangguan. Pengeras suara disiapkan pagi itu. Sebuah tiang disiapkan beserta bendera Merah Putih yang dijahit Fatmawati. Semua siap. Bung Karno nyaris tak bisa membacakan Proklamasi karena demam. Wikana sempat khawatir. Namun, Bung Karno akhirnya membacakan juga naskah bersejarah bagi Bangsa Indonesia itu.
Setelah Proklamasi dibacakan pada pukul 10.00 oleh Bung Karno, Latief Hendraningrat, komandan kompi di batalyon PETA Jakarta, yang hadir di sana jadi pengerek bendera. Sementara yang lain menyanyikan Indonesia Raya mengawal naiknya Bendera Merah Putih ke arah langit.
Akhirnya usaha keras pemuda-pemuda kiri, mulai yang sosialis hingga komunis itu sukses. Indonesia berutang jasa para Wikana, Sukarni, Adam Malik, Subadio Sastrotomo dan nama-nama lain yang panjang jika disebut satu persatu. Pastinya, Indonesia juga berutang kepada D.N Aidit, Sang Ketua PKI terakhir.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti