Menuju konten utama
Seri 78 Tahun Kemerdekaan

Lulusan 1945: Capaian RI Kalah Mentereng dari Korsel & Vietnam

Sama-sama merdeka di tahun 1945, Korea Selatan dan Vietnam berhasil mengungguli Indonesia di sisi industrialisasi, ekspor, dan kualitas SDM.

Lulusan 1945: Capaian RI Kalah Mentereng dari Korsel & Vietnam
Header “Lulusan” 1945. tirto.id/Mojo

tirto.id - Tahun 1945 merupakan tahun yang bersejarah bagi beberapa negara di Asia, karena pada tahun tersebut mereka berhasil merengkuh kemerdekaan dari belenggu kolonialisme. Siapa saja negara-negara yang dimaksud?

Tentunya Indonesia, dan kemudian ada Vietnam dan Korea Selatan (Korsel). Ketiga negara tersebut memiliki tanggal kemerdekaan yang berdekatan. Korsel hanya berjarak dua hari sebelum kemerdekaan Indonesia, yaitu 15 Agustus 1945 dan Vietnam pada tanggal 2 September 1945.

Berbeda dengan Ibu Pertiwi, Korsel dan Vietnam mengalami serangkaian konflik dan peperangan yang mengakibatkan keduanya terpecah menjadi wilayah Utara dan Selatan. 21 tahun berselang, Vietnam Utara dan Vietnam selatan menjadi satu kesatuan utuh.

Di sisi lain Korsel dan Korea Utara (Korut) justru belum mencapai titik temu, walau keduanya berusaha untuk menjaga hubungan baik dan masih menunjukkan upaya untuk bersatu.

Lebih lanjut, sesama teman seperjuangan Indonesia yang "lulus" di tahun 1945, apa saja jerih payah dan capaian yang telah dilalui Korsel dan Vietnam?

Terobosan Korsel

Saat ini kita mengenal Korsel sebagai bagian dari negara maju dengan pendapatan per kapita di kisaran USD30.000 atau setara Rp450 juta. Padahal, selepas Perang Korea tahun 1953, Korsel tergolong negara miskin dengan pendapatan per kapita USD63.

Michel J. Seth dalam studinya berjudul “An Unpromising Recovery: South Korea’s Post-Korean War Economic Development: 1953-1961” bahkan menyampaikan Korut mencatatkan pemulihan yang lebih cepat, karena wilayah Pyongyang mendapatkan warisan sisa-sisa industri dan pembangkit listrik dari Jepang.

Sementara Korsel justru diwarnai ketidakstabilan politik, korupsi, dan mandeknya pertumbuhan ekonomi. Belum lagi, minimnya sumber daya mineral dan energi, serta ketergantungan yang begitu besar pada bantuan Amerika Serikat (AS).

Namun satu dekade setelahnya Korsel berbenah diri, bahkan muncul istilah “South Korean Miracle (Keajaiban Korea Selatan).” Ketergantungan pada Negeri Paman Sam berbuah manis dan memicu brain gain.

Masyarakat Negeri Ginseng memperoleh keahlian di bidang ekonomi, keuangan, administrasi, hingga pengetahuan ilmiah sebagai manfaat positif pelatihan teknis yang diberikan AS.

Kemudian ada kebijakan land reform (reformasi tanah) yang menjadi titik balik struktur ekonomi Korsel dari negara agraris ke industrialisasi. Land reform menggeser para pemilik lahan agrikultur (yangban) untuk diubah menjadi lahan industrial dan pembangunan sarana pendidikan.

Kebijakan land reform juga ditopang dengan sokongan dana utang luar negeri dari World Bank dan Jepang yang digunakan pemerintah Korsel untuk membangun rel kereta api, jalan raya, sarana irigrasi, sekolah dan universitas.

Selain itu, dalam studi berjudul The Middle Income Trap: A Case Study of Korea and Lesson for Vietnam kunci sukses Korsel pada awal 1960-an adalah kebijakan industriliasasi yang berorientasi ekspor, export is first.

Pemerintah Korsel pada masa itu memberikan subsidi langsung, pengurangan hingga bebas pajak untuk mendorong pertumbuhan industri ekspor. Pada masa awal fokus ekspor adalah industri ringan yang padat karya, lalu beralih ke industri berat dan petrokimia yang memiliki nilai tambah tinggi.

Tidak hanya industrialisasi, pemerintah juga melakukan transformasi di bidang pendidikan dengan membangun sistem primer, sekunder, bahkan tersier yang baik. Alhasil, pada tahun 1961, ROK memiliki tingkat pendaftaran sekolah yang sangat tinggi di antara negara berkembang yang miskin pada saat itu, sehingga masyarakatnya menjadi kaya literasi.

Vietnam dan “Doi-Moi”

Beralih ke Vietnam. Vietnam telah mengalami setidaknya 150 tahun kolonialisme: wartime capitalism (di Selatan pada tahun 1945 – 1975), monopolistic state socialism (di Utara tahun 1945 – 1986 dan di Selatan tahun 1975 – 1986).

Pengalaman ini tentunya membuat Vietnam mengalami kesulitan finansial dan modal produktif yang berujung kepada rendahnya pertumbuhan secara makro dan mikro. Belum lagi, perbedaan arah perekonomian juga membuat keduanya sulit untuk berintegrasi.

Tahun 1986 menjadi titik balik dari perekonomian Vietnam. Kala itu, melalui kongres nasional keenam terbentuk konsep Doi Moi atau renovasi. Kebijakan Doi Moi berfokus pada sistem ekonomi pasar beorientasi sosialis.

Ada tiga hal yang direncanakan: legalisasi keberadaan pasar swasta dengan perencanaan tersentral, menunda transisi ke sosialisme, dan keterbukaan ekonomi nasional ke ekonomi dunia. Faktor tambahan lainnya adalah Vietnam berinvestasi terhadap pembangunan sumber daya manusia dan juga modal fisik.

Melalui Doi Moi, lahan peternakan banyak dikembalikan ke fungsi yang setara dengan kepemilikan privat/swasta. Efeknya, sumber daya manusia dibebaskan untuk berkembang sesuai dengan kondisi pasar tenaga kerja.

Selain itu Doi Moi juga berperan sebagai pintu awal masuknya investasi asing seiring dengan komitmen tegas Vietnam untuk membangun hubungan yang bersahabat dengan negara lain. Alhasil kebijakan luar negerinya menjadi lebih pragmatis, fleksibel dan tidak terlalu ideologis.

Selain perubahan struktur ekonomi hubungan luar negeri Doi Moi juga fokus pada transformasi pendidikan dengan slogan “leaving no one behind (tidak meninggalkan siapa pun).”

Pendekatan tersebut artinya, pendidikan tidak hanya diberikan pada anak usia sekolah, tetapi juga mereka di luar populasi usia sekolah. Berdasarkan studi IMF pemerintah tidak segan-segan menganggarkan biaya pendidikan sekitar 15-20% dari PDB.

Infografik Lulusan 1945

Infografik “Lulusan” 1945. tirto.id/Mojo

Doi Moi menjadi terobosan kebijakan yang tidak hanya mengubah struktur ekonomi, namun juga mempengaruhi aspek diplomasi, politik, dan pendidikan. WEF pernah menyebutkan bahwa Doi Moi inliah yang menjadi awal mula munculnya “keajaiban ekonomi Vietnam” sebagai fondasi perubahan sampai sekarang.

Kondisi Korsel dan Vietnam vs RI

Titik balik dan terobosan kebijakan yang dilakukan Korsel dan Vietnam menjadi tombak awal yang mendorong kemajuan ekonomi kedua negara tersebut.

Berdasarkan penelusuran di atas kita dapat melihat bahwa kesamaan kebijakan Korsel dan Vietnam adalah keterbukaan ekonomi yang berorientasi ekspor serta pengembangan pendidikan.

Saat ini PDB ROK berada pada poin USD1.662,25 miliar (2022) dilansir dari Trading Economics. Berdasarkan data dari OECD, PDB per kapita ROK melesat jauh dibandingkan anggota OECD lainnya. PDB perkapita ROK mencapai USD32.236,8 (2022).

ROK telah menjadi anggota OECD sejak tahun 1996 dan terus berkontribusi besar bagi pembangunan global. Anggota OECD rata-rata merupakan negara yang tergolong berpendapatan tinggi, memiliki indeks pembangunan manusia yang tinggi, dan juga dikategorikan sebagai negara maju.

Bagaimana dengan Vietnam? Melalui Doi Moi nya, Vietnam berhasil menjelma menjadi kekuatan ekonomi yang cukup diperhitungkan di Asia Tenggara. Dilansir dari WEF, saat ini pertumbuhan ekonomi Vietnam berada poin 6-7% dan nilai ekspornya setara dengan jumlah PDBnya.

Berbekal infrastruktur yang dibutuhkan dan kebijakan yang ramah pasar, Vietnam menjadi pusat investasi dan manufaktur asing di Asia Tenggara. Pada tahun 2017, Financial Times melaporkan, bahwa Vietnam merupakan pengekspor pakaian terbesar di kawasan ini dan pengekspor elektronik terbesar kedua (setelah Singapura).

Perusahaan-perusahaan besar seperti Nike, Adidas, Apple, Hasbro dan Samsung menempatkan manufakturnya di Vietnam. PDB perkapita yang semula hanya sekitar USD$230 pada tahun 1985, berhasil naik menjadi USD$3,655.46 (2022).

Tiga faktor yang telah dijelaskan di atas menunjukkan hasil yang signifikan. Untuk faktor keterbukaan atau liberalisasi perdagangan, Vietnam telah bergabung dengan ASEAN Free Trade (1995), perdagangan bebas dengan Amerika Serikat (2000), dan bergabung dengan WTO (2007). Hal ini secara agregat menurunkan tarif impor dan juga ekspor.

Alhasil, pertumbuhan ekspor Korsel dan Vietnam jauh melampaui Indonesia, di mana rasio ekspor kedua negara tersebut terhadap PDB berturut-turut 48,3% dan 93,3%. Sementara Indonesia hanya di level 24,5%.

Tidak hanya itu, upaya keduanya untuk membuka diri pada perdagangan dunia dan investor asing dapat terlihat dari peringkat kemudahan berbisnis. Merujuk analisa Ease of Doing Business, Korea Selatan mendapat peringkat ke-5, Vietnam ke-70, sedangkan Indonesia di posisi ke-73.

Selain ekonomi dan bisnis, Korea Selatan dan Vietnam juga menunjukkan keunggulannya di bidang pendidikan dan inovasi. Berdasarkan laporan yang dirilis INSEAD berjudul The Global Talent Competitiveness Index 2022, Negeri Ginseng berhasil menempati posisi 27 dari 133 negara. Korsel tergolong unggul di bidang tunjangan, variabel pendukung dan kemampuan vokasi.

Sementara itu Vietnam meskipun hanya menduduki posisi ke-74 tapi peringkatnya masih lebih baik dibandingkan dengan Ibu Pertiwi. Vietnam memperoleh nilai yang cukup baik pada faktor daya tarik, daya tumbuh dan kemampuan vokasi.

Merujuk penelusuran di atas, beberapa pembelajaran dapat dipetik Indonesia. Baik Korsel maupun Vietnam benar-benar mengandalkan inovasi dan kesiapan SDM dalam rangka mengembangkan industri dan manufaktur. Musababnya, tidak seperti Indonesia yang kaya komoditas, mereka tidak memiliki sumber daya alam ekstraktif yang melimpah.

Secara umum, yang dilakukan oleh keduanya terbuka akan investasi asing dan menyiapkan fasilitas bisnis yang memadai. Ini adalah bagian dari “liberalisasi ekonomi.”

Tidak hanya itu, untuk mencapai hal ini dibutuhkan political will yang kuat dari pemerintah. Dapat kita lihat bagaimana pemerintah Korea Selatan fokus mengembangkan industri berorientasi ekspor, sedangkan Vietnam secara berkelanjutan terus menerapkan Doi Moi.

Baca juga artikel terkait KEMERDEKAAN atau tulisan lainnya dari Arindra Ahmad Fauzan

tirto.id - Ekonomi
Kontributor: Arindra Ahmad Fauzan
Penulis: Arindra Ahmad Fauzan
Editor: Dwi Ayuningtyas