tirto.id - Seiring merosotnya kinerja perdagangan Indonesia, terdapat fakta lain yang tak kalah mengkhawatirkan. Ternyata, rasio ekspor barang dan jasa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara kita terus mengalami penyusutan. Penyebabnya tak lain kecanduan RI terhadap ekspor komoditas barang mentah dan miskinnya produk manufaktur.
Sejak beberapa waktu terakhir, surplus perdagangan Indonesia cenderung ditopang oleh kenaikan harga komoditas global, bukan berkat peningkatan nilai tambah. Misalnya harga Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah di pasar internasional. Jika terus bertopang pada komoditas, maka pendapatan RI akan gampang terombang-ambing dan tidak stabil.
Hal ini terbukti dari rapor Juni 2023 dimana Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan ekspor terbesar terjadi pada lemak dan minyak hewani/nabati sebesar USD834,9 juta atau naik 43,68% dibandingkan Mei 2023.
Namun di saat yang sama ekspor Indonesia malah membukukan penurunan. Pada Juni 2023 total ekspor Ibu Pertiwi senilai USD20,61 miliar atau setara Rp311,12 triliun (asumsi kurs Rp15.095 per USD). Nilainya anjlok 5,08% secara month to month (mtm) dan juga berkurang 21,18% secara year on year (yoy). Secara kumulatif Januari-Juni 2023, terjadi penurunan 8,86% dari tahun lalu.
Penurunan tajam dialami komoditas bahan bakar mineral yang merosot USD441,3 juta atau 11,54% (mtm). Kurun Januari-Juni 2023, ekspor hasil industri pengolahan juga turun 10,19% dibanding periode yang sama 2022. Begitu pula ekspor hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan serta hasil pertambangan. Masing-masing turun 3,41% dan 6,72%.
Walau ada penuruan ekspor, Indonesia masih membukukan surplus pada neraca perdagangan sebesar USD3,45 miliar atau Rp52 triliun. Hal ini dikarenakan penurunan kinerja impor yang merosot ke level USD17,15 miliar atau setara Rp258,84 triliun, turun 19,40% (mtm) dan juga 18,35% (yoy).
Lebih lanjut, merujuk data World Bank, rasio ekspor barang dan jasa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mengalami tren penurunan sejak 1998. Upaya bangkit terlihat mulai 2020. Namun hingga 2022, persentasenya hanya 24,5%, masih belum lebih baik ketimbang 2012. Dalam hal ini, Indonesia terbilang kalah dibanding banyak negara tetangga.
Rasio Indonesia terpaut jauh di bawah Singapura, Vietnam, Brunei Darussalam, Kamboja, Malaysia, Thailand, Myanmar dan Filipina yang masing-masing persentasenya 186,6%, 93,3%, 86,4%, 77,6%, 73,8%, 65,8%, 37% dan 28,4%. Bahkan, negara kita juga tertinggal dari Timor Leste yang pada 2021 lalu mampu mencapai 63,9%.
Perlu diketahui perhitungan rasio ekspor barang dan jasa mewakili nilai atas semua barang dan jasa yang disediakan atas aktivitas tersebut. Ambil contohnya nilai barang dagangan (merchandise value), asuransi, pengangkutan, royalti, lisensi, perjalanan dan sebagainya. Alhasil rasio ekspor barang dan jasa terhadap PDB berdasar perhitungan World Bank bisa lebih dari 100%.
Selain ekspor, rasio perdagangan terhadap PDB Indonesia juga lebih buruk di antara negara-negara di atas. Berdasarkan data World Bank, rasio kita tercatat hanya 45% pada 2022. Kalah jauh dibandingkan negara tetangga ASEAN yang mayoritas mencatatkan rasio di atas 100%.
“Penyakit” yang Timbul
Berdasarkan laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) State of Commodity Dependence 2021, suatu negara dianggap mengalami ketergantungan apabila 60% dari total ekspor barang dagangannya terdiri atas komoditas. Kondisi ini bisa berdampak negatif pada pembangunan ekonomi negara tersebut.
Para ekonom mengaitkan ketergantungan komoditas dengan bermacam masalah yang berawal dari Dutch disease atau penyakit Belanda. Melansir Investopedia, ini adalah istilah yang digunakan ekonom sebagai penyakit yang timbul akibat ekstraksi sumber daya alam atau komoditas yang mengakibatkan pelemahan pada sektor lain, seperti manufaktur.
Penyakit Belanda kemudian berimbas mulai dari pertumbuhan ekonomi yang lambat dan struktur yang tidak terdiversifikasi, indeks pembangunan manusia yang rendah, volatilitas pendapatan, ketidakstabilan ekonomi makro, hingga ketidakstabilan serta tata kelola politik dan ekonomi yang buruk.
Kurun 2018-2019, sekitar dua pertiga atau 64% negara berkembang bergantung pada ekspor komoditas. Sedangkan di kalangan negara maju hanya sebanyak 13%. Fakta ini menyiratkan bahwa masalah ketergantungan terhadap ekspor komoditas merupakan fenomena tersendiri bagi developing countries.
Dengan persentase 60,8%, Indonesia sempat masuk daftar yang ketergantungan pada 2008-2009 lalu. Namun negara kita berhasil keluar pada 2018-2019 setelah porsinya turun menjadi 55,6%. Meski demikian, posisi RI masih jauh dari kata aman. Sebab dari catatan di belakang, Indonesia termasuk negara yang gampang berfluktuasi.
Jika merujuk laporan UNCTAD State of Commodity Dependence 2023, Indonesia masih tergolong negara yang tidak bergantung pada ekspor komoditas. Pada periode 2019-2021, persentasenya tercatat 54,2% atau turun 1,4 poin dari periode 2018-2019. Dengan kata lain, perubahannya tidak terlalu signifikan.
Total ekspor barang dari negara kita tercatat USD187,4 miliar pada 2019-2021. Dengan nilai komoditas mencapai USD101,5 miliar, maka ia setara 54,2% dari total ekspor dan berkontribusi 9,1% terhadap PDB. Itu terdiri atas komoditas produk pertanian 27,6%, lalu komoditas energi 18,6% serta komoditas bijih, logam, batu mulia, dan emas nonmoneter 8%.
Urgensi Transformasi Struktural
Melalui Commodities and Development Report 2021, UNCTAD memberi rekomendasi untuk negara-negara berkembang agar terbebas dari belenggu ini. Caranya adalah mengoptimalkan teknologi serta menerapkan inovasi, mengubah corak perekonomian dengan memperluas produksi dan ekspor di luar sektor komoditas.
Negara-negara berkembang yang bergantung pada ekspor komoditas perlu menerapkan transformasi struktural yang dimungkinkan oleh teknologi. Dengan begitu, sektor-sektor baru seperti manufaktur dan jasa bernilai tinggi akan muncul dan kemudian menggantikannya. Namun, ada tantangan yang akan dilalui.
Data menunjukkan bahwa pemanfaatan atau pun pengembangan teknologi menjadi persoalan tersendiri bagi negara-negara berkembang, khususnya mereka yang masih bergantung erat pada ekspor komoditas. Khusus hal ini, Indonesia memeroleh skor 25,6 dan duduk di peringkat ke-42 versi Indeks Perkembangan Teknologi 2019.
Meski kemampuan teknologi negara-negara berkembang cenderung tertinggal, ada peluang yang tetap dapat dimaksimalkan guna memeroleh lebih banyak pendapatan. Contohnya ada komoditas deposit litium di Chili, kobalt di Kongo, mangan di Afrika Selatan dan grafit alam di Brasil. Sedangkan negara kita mempunyai cadangan nikel.
Ada juga siasat lain yang bisa dicoba demi menutup celah kelemahan pada bidang teknologi. Yakni dengan memanfaatkan e-commerce, blockchain, dan sistem pertanian cerdas untuk mendukung internet of things. Selain itu, terdapat beberapa kebijakan yang juga perlu dilakukan, baik di level nasional, regional dan internasional.
Di tingkat nasional, tindakan pertama sekaligus yang terpenting dilakukan adalah memastikan komitmen politik untuk keluar dari ketergantungan komoditas. Jika tidak ada tindakan tegas untuk mengubah status quo, maka mereka akan tetap bergantung selama berabad-abad. Sebab, situasi ini mustahil berubah dengan sendirinya.
Dalam hal ini, Indonesia termasuk negara yang bisa bergerak maju. Pada 1980 silam, sebanyak 71,5% pendapatan ekspor dihasilkan dari sektor minyak dan gas. Namun 15 tahun kemudian, tepatnya sekitar 1995, kontribusi sektor itu berkurang menjadi 22,2%. Ini adalah hasil dari investasi besar-besaran yang mendiversifikasi ekonomi.
Selain komitmen pemerintah, peran aktif publik juga sangat berpengaruh. Intervensi publik begitu sentral dalam mewujudkan komitmen yang kuat untuk mengubah status quo keluar dari perangkap ketergantungan komoditas. Namun begitu, tetap saja komitmen politik pemerintah menjadi penentu di akhir.
Di tingkat kawasan, upaya integrasi menjadi kunci transformasi ekonomi suatu negara. Dengan memperluas pasar, integrasi regional bisa menarik lebih banyak investasi asing, pintu bagi masuknya transmisi teknologi. Cara ini juga mampu mendorong peningkatan produktivitas melalui alokasi sumber daya produktif yang lebih baik.
Mengintegrasikan perdagangan juga berarti meningkatkan peluang kemajuan teknologi perusahaan yang akan bersaing untuk pasar yang lebih besar. Jika teknologi lebih maju, maka perusahaan juga berpeluang untuk mendongkrak kualitas produk. Ujungnya, mereka akan memeroleh pendapatan yang lebih tinggi.
Strategi selanjutnya untuk melepaskan ketergantungan ekspor komoditas adalah kebijakan di tingkat internasional. Seperti diketahui, negara-negara berkembang yang cenderung bergantung pada ekspor komoditas umumnya memeroleh manfaat terbatas. Kegagalan ini bisa dibenahi dengan menginternalisasi rantai nilai.
Mendistribusikan kembali keuntungan dari pemain global ke negara produsen dinilai mustahil, kecuali jika mereka rela kehilangan pundi-pundi keuntungan selama ini. Oleh karena itu, hanya koordinasi di kalangan negara produsen lah yang mampu mengubah status quo. Atau bisa juga melalui negosiasi mekanisme kerja sama internasional.
Sekali lagi, transfer teknologi menjadi sangat penting. Mengingat kemampuannya lemah, negara-negara berkembang yang ketergantungan ekspor komoditas perlu memeroleh asupan teknologi dari luar negeri. Tapi bagaimanapun, transfer berskala besar ke negara-negara tersebut berpotensi menimbulkan ketidakkondusifan.
Kekuatan finansial serta regulasi perlindungan kekayaan intelektual yang terbatas akan membatasi akses teknologi ke negara-negara berkembang. Untuk itu, dibutuhkan kerangka kerja internasional seperti Technology Mechanism di bawah Perjanjian Paris dan komponennya, Technology Executive Committee dan Climate Technology Centre and Network.
Editor: Dwi Ayuningtyas