tirto.id - Kala Benteng Kuto Besak—yang pernah menjadi Keraton Kesultanan Palembang—masih menjadi asrama Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL), seorang ibu miskin rela menjadi tukang cuci pakaian seragam para serdadunya. KNIL ditempatkan di sana untuk menjaga wilayah Sumatra bagian selatan yang merupakan daerah perkebunan dan pertambangan. Si tukang cuci itu adalah ibu dari Ruslan Adnan yang lahir pada 24 Maret 1906.
Keluarga Ruslan adalah penganut Islam yang cukup konservatif. Oleh kakeknya, Ruslan kecil dilarang masuk ke sekolah Belanda yang dianggap sekolah kafir. Karenanya, Ruslan diarahkan untuk masuk di sekolah agama Islam dan mengaji.
“Cita-cita untuk masuk Inlandsche School tercapai setelah kakeknya meninggal,” catat Mestika Zed dalam Kepialangan, politik, dan Revolusi: Palembang 1900-1950 (2003, hlm. 151).
Berbeda dari Mestika Zed, Triana Wulandari dkk. dalam Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang (2001, hlm. 75) menyebut Ruslan memasuki Vervolgschool yang berdurasi lima tahun. Meski begitu, kedua sekalah itu sebenarnya sama-sama sekolah tingkat dasar.
Ruslan berhasil lulus dan mulai memasuki dunia kerja kolonial di era 1920-an. Dia menjadi makelar mesin jahit Singer di Palembang. Menurut Olivier Johannes Raap dalam Potret Pendoedoek di Djawa Tempo Doeloe (2021, hlm. 78), produk buatan Singer mulai masuk ke Hindia Belanda sekira 1880-an. Hingga kini, mesin jahit merek ini pun masih eksis di Indonesia.
Mesin jahit kemudian jadi sarana yang membuat Ruslan berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
PKI Karesidenan Palembang
Di Keresidenan Palembang—melingkupi Palembang dan sekitarnya, Lampung, juga Bengkulu, PKI bergerak di kalangan buruh tambang. Propaganda PKI di Keresidenan Palembang tentu saja tidak jauh beda dari kamerad-kameradnya di daerah lain: Sama Rata Sama Rasa.
Triana Wulandari dkk. (2001, hlm. 75) menyebut PKI Keresidenan Palembang dipimpin oleh Hasan dan Nungtjik. Selain di pusat Kota Palembang, PKI juga cukup besar di Muara Enim. Di antara tokoh PKI yang cukup terkenal di Muara Enim adalah Saparman dan Sudarso. Selain nama-nama itu, ada juga Burniat bin Meridin yang dikenal sebagai propagandis organisasi Kaoem Tani yang berafiliasi dengan Sarekat Islam dan kemudian PKI.
“Burniat diberi tanggung jawab merekrut anggota baru PKI ketika dihubungi pertama kali oleh utusan PKI Palembang,” tulis Mestika Zed (2003, hlm. 150).
Menurut penelusuran Triana Wulandari dkk. (2001, hlm. 56), Burniat adalah lulusan Vervolgschool. Dia dikabarkan punya kemampuan jadi pengajar atau guru karena pernah ikut kursus mengajar dua tahun di Normaal School (sekolah guru). De Locomotief (04/07/1928) menyebut Burniat pernah menjadi guru Dessa School (Sekolah Desa).
Pada pertengahan 1920-an, Burniat mulai merasa pergerakan kaum kiri di daerah Baturaja yang dipimpin Abdul Rahim bin Anang jadi kurang dinamis. Burniat mendapat angin segar setelah berkenalan dengan Ruslan Adnan.
“Sebagai makelar mesin Singer yang sering mengadakan perjalanan ke beberapa kota di Sumatera Selatan, termasuk Lampung dan Jambi, Ruslan berhasil merekrut beberapa pelanggan untuk menjadi simpatisan atau anggota PKI,” tulis Mestika Zed (2003, hlm. 151).
Ruslan, menurut Mestika Zed, adalah makelar yang cakap dan pandai merayu pelanggan. Dia bahkan bisa merekrut para pelanggannya untuk bergabung dalam PKI. Resep suksesnya sebenarnya sederhana: iming-iming diskon 20 persen. Hal itu membuatnya disukai pelanggan—terutama di daerah pedalaman—dan dengan begitu jadi lebih mudah mengajak mereka masuk PKI.
Aktivitas Ruslan terhenti usai meledaknya Pemberontakan PKI di Sumatra pada Januari 1927. Titik perlawanan kaum kiri yang paling besar terdapat di daerah Minangkabau. Palembang dan sekitarnya sebenarnya tidak mengalami keguncangan yang besar. Namun, tetap saja terjadi gelombang penangkapan terhadap tokoh-tokoh PKI. Burniat dan Ruslan pun tak terkecuali.
Usai Pemberontakan PKI 1927
Burniat ditangkap dan kemudian ditahan di Jawa. Pada 1928, Burniat dan ratusan kader PKI lainnya diberangkatkan ke Boven Digoel untuk menjalani pengasingan. De Indische Courant (08/01/1932) menyebut Burniat menjalani hukuman sekitar 4 tahun sebelum akhirnya diperbolehkan kembali ke Palembang.
Sementara itu, nasib Ruslan lebih mujur. Dia hanya ditahan sebentar dan kemudian bebas. Pada 1928, Ruslan malah dikabarkan mulai bergabung dalam Partai Nasional Indonesia (PNI). Dia hanya sebentar jadi aktivis PNI karena partai pimpinan Sukarno itu dibabat pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1929.
Uniknya, PNI meniru cara PKI untuk berkembang di Keresidenan Palembang. Ia menjalankan propaganda melalui perdagangan, selain juga aktif dalam kegiatan sosial, musik dan olahraga. Jika PKI punya propagandis cum makelar macam Ruslan Adnan, PNI punya Hamzah Koentjit si mantan mantri pajak yang jadi makelar karet.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi