Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Pertempuran 5 Hari Palembang: Awal, Kronologi, Akhir Perang

Pertempuran 5 hari 5 malam di Palembang merupakan rangkaian peristiwa sejarah dalam periode perang mempertahankan kemerdekaan RI.

Sejarah Pertempuran 5 Hari Palembang: Awal, Kronologi, Akhir Perang
Sungai Musi menjadi salah satu front pertempuran 5 hari 5 malam di Palembang. ANTARA FOTO/YAHANAM SULAM/kye/15.

tirto.id - Pertempuran 5 hari 5 malam di Palembang, Sumatera Selatan, terjadi dari tanggal 1 hingga 5 Januari 1947. Ini merupakan salah satu rangkaian peristiwa sejarah perang mempertahankan kemerdekaan setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Sukarno dan Mohammad Hatta menyatakan proklamasi kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia setelah menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945 dalam Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia Kedua.

Akan tetapi, setelah proklamasi, Belanda datang kembali ke Indonesia dengan membonceng pasukan Sekutu. Belanda memakai nama baru yaitu Netherland Indies Civil Administration (NICA) dan berambisi ingin kembali menguasai Indonesia.

Kembalinya Belanda memulai periode yang disebut sebagai masa revolusi fisik atau masa perang mempertahankan kemerdekaan dari 1945 hingga 1949. Terjadilah rangkaian upaya diplomasi dan pertempuran termasuk Perang 5 Hari 5 Malam di Palembang.

Penyebab Perang 5 Hari di Palembang

Kedatangan NICA atau Belanda yang dipimpin oleh Hubertus Johannes van Mook berkedok melucuti senjata sisa-sisa serdadu Jepang dan mengumumkan konsepsi negara Indonesia.

Kehadiran Belanda dan Sekutu disambut dengan munculnya perlawanan oleh rakyat Indonesia dari berbagai daerah yang bertekad mempertahankan kemerdekaan.

Tanggal 12 Oktober 1945, pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Carmichael mendarat di Palembang bersama pasukan NICA atau Belanda.

Dalam buku Sejarah Perkembangan Pemerintahan di Daerah Sumatera Selatan (1996) yang disusun oleh Ramli Hasan dan kawan-kawan disebutkan, mulanya pasukan Sekutu dan Belanda di Palembang diberi lokasi Kamp Talang Semut.

Mereka boleh menggunakan jalan raya sepanjang jalur kamp tersebut hingga ke Pelabuhan Boom Baru. Namun, lokasi orang-orang asing tersebut kemudian meluas dengan semakin banyaknya pasukan senjata yang didatangkan ke Palembang.

Tentara Belanda mulai melakukan provokasi, bahkan tidak jarang mereka menggeledah rumah-rumah warga yang dicurigai menyimpan senjata. Hal ini menimbulkan situasi ketegangan antara kaum pemuda di Palembang dengan tentara Belanda atau Sekutu.

Kronologi Perang 5 Hari di Palembang

Kekuatan Sekutu dan Belanda di Palembang semakin bertambah hingga mencapai dua batalyon pada Maret 1946. Bertambahnya tentara Belanda yang masuk ke Palembang karena dilindungi oleh Sekutu yang memang membawa misi hukum internasional.

Tanggal 24 Oktober 1946, terjadi pengalihan kekuasaan militer di Palembang dari Sekutu kepada Belanda. Sejak itu, semakin sering insiden yang muncul antara serdadu Belanda melawan kaum pejuang republik di Palembang.

Insiden pertama di Palembang sejak pelimpahan wewenang tersebut terjadi pada 28 Desember 1946 malam. Dua granat menghantam truk milik Belanda. Insiden ini menyebabkan dua orang tentara Belanda tewas dan dua lainnya mengalami luka-luka.

Tanggal 29 Desember 1946, Tentara Republik Indonesia (TRI) -cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI)- di Palembang dibantu oleh beberapa laskar pemuda setempat menyerbu pos-pos militer Belanda.

Gubernur Sumatera Selatan kala itu, Mohamad Isa, membujuk TRI dan segenap laskar perjuangan untuk mundur pada 31 Desember 1946 demi menghindari jatuhnya korban.

Dikutip dari artikel bertajuk "Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang" dalam laman Kebudayaan Kemdikbud, tanggal 1 Januari 1957 sekitar pukul 5 pagi, Belanda melanggar garis demarkasi yang menyebabkan terjadinya insiden di daerah Ilir.

Hal inilah yang menjadi pemicu pecahnya rangkaian pertempuran selama 5 hari berturut-turut atau yang disebut Perang Lima Hari Lima Malam di Palembang.

Pada pagi pertama pergantian tahun 1947 itu, mobil-mobil jip milik yang membawa penuh serdadu Belanda. Sebagian dari mereka melepaskan tembakan, sebagian lagi ada yang berhenti di simpang empat Masjid Agung Palembang sembari menyerang gedung tempat laskar perjuangan bermarkas.

Situasi ini membuat kaum pejuang dan militer Indonesia di Palembang memutuskan untuk bertindak. Disebutkan dalam buku Sejarah Perkembangan Pemerintahan di Daerah Sumatera Selatan (1996), pasukan TRI dan para laskar kemudian mengepung tempat-tempat kedudukan Belanda.

Pertempuran tanggal 1 Januari 1947 berhenti sementara pada pukul 15.00 WIB atau jam 3 sore setelah datang imbauan dari Panglima TRI Divisi II Kolonel Bambang Utoyo dan Gubernur Isa.

Perang dihentikan setelah terjadinya kesepakatan gencatan senjata dari Indonesia dan Belanda. Namun, belum 1 jam persetujuan berjalan, Belanda justru mendatangkan 2 pesawat tempur udara, yaitu B-52 Mitcel untuk mengawal kereta berlapis baja yang membawa amunisi.

Tindakan yang dilakukan Belanda tersebut dianggap provokasi yang menyebabkan pertempuran kembali pecah. Pasukan republik kemudian lebih gencar dalam melakukan serangan.

Hari kedua dan ketiga, Belanda kembali menyerang pusat pertahanan republik di area Masjid Agung Palembang. Serbuan tersebut bisa dihalau oleh pasukan Batalyon Geni bersama beberapa laskar pejuang.

Datang bala bantuan untuk Belanda namun dapat disergap oleh kesatuan yang dipimpin oleh Lettu Wahid Luddien. Pertempuran terus berlanjut di jantung Kota Palembang yang mengakibatkan banyak kehancuran.

Belanda yang tak mau kalah kemudian mengerahkan kendaraan-kendaraan tempur berlapis baja, pesawat udara, bahkan kapal perang yang menyerang dari Sungai Musi, untuk membombardir Kota Palembang.

Pada hari keempat, datang bantuan dari Lampung untuk kaum pejuang di Palembang yang dipimpin oleh Mayor Noerdin Pandji, juga bantuan dari Lahat di bawah pimpinan Letjen Harun Sohar.

Namun, lantaran persenjataan Belanda lebih canggih dan modern, pasukan republik yang mulai kehabisan stok amunisi dan logistik akhirnya kewalahan akhirnya terpaksa mundur menjelang hari kelima.

Akhir Perang 5 Hari di Palembang

Dilakukan pertemuan antara pimpinan sipil dan militer dari kedua belah pihak untuk membicarakan gencatan senjata setelah 5 hari pertempuran sengit berlangsung di Kota Palembang.

Pihak Indonesia mengirimkan Adnan Kapau (A.K.) Gani, mantan Residen Sumatera Selatan yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di Kabinet Sjahrir III, untuk menggelar perundingan dengan Belanda.

Dikutip dari Album Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950 (1975), perundingan gencatan senjata itu menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:

  1. Pasukan bersenjata (militer), laskar-laskar pejuang, dan badan-badan perjuangan Indonesia harus mundur sejauh 20 kilometer dari titik 0 kilometer di pusat Kota Palembang.
  2. Pemerintahan sipil di bawah pimpinan Gubernur M. Isa beserta kepolisian serta angkatan laut yang dipimpin Komandan Resimen Mayor A.R Saroinson tetap berada di Kota Palembang.
  3. Pihak Belanda hanya boleh mendirikan pos-pos militer sejauh 14 kilometer dari pusat kota.
  4. Gencatan senjata berlaku mulai 6 Januari 1947 pukul 00.00 waktu setempat kemudian diikuti dengan pengunduran pasukan mulai pukul 06.00.
Kesepakatan gencatan senjata antara pemerintah Indonesia dan pihak Belanda ini mengakhiri pertempuran 5 hari 5 malam di Palembang yang berlangsung dari tanggal 1 Januari hingga 5 Januari 1947.

Baca juga artikel terkait PERANG 5 HARI 5 MALAM PALEMBANG atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Iswara N Raditya