tirto.id - Latief Hendraningrat memiliki peran penting dalam sejarah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Bersama Suhud Sastro Kusumo dan SK Trimurti , ia adalah orang yang mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih dalam upacara proklamasi kemerdekaan RI pertama tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Nama lengkapnya Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat, lahir di Jakarta tanggal 15 Februari 1911. Kedua orang tua Latief, yakni Raden Mas Mochamad Said Hendraningrat dan Raden Ajeng Haerani, berasal dari keluarga ningrat Jawa. Ayah Latief adalah seorang demang atau wedana di wilayah Jatinegara.
Sejak muda, Latief Hendraningrat sudah turut dalam arus pergerakan nasional. Ia merupakan anggota Perkumpulan Indonesia Moeda. Ia juga bergabung dengan Soerjawirawan, laskar kepanduan milik Partai Indonesia Raya (Parindra) yang dirintis Dr. Soetomo, salah seorang pendiri Boedi Oetomo (BO), pada 1930.
Latief Hendraningrat pernah menjadi guru bahasa Inggris di Perguruan Rakyat dan sekolah milik Muhammadiyah di Batavia (Jakarta). Selain itu, ia juga aktif dalam berkesenian. Menurut buku Bunga Rampai Setengah Abad Perguruan Rakyat (1978), Latief Hendraningrat memimpin misi kebudayaan ke Amerika Serikat dalam ajang New York World’s Fair pada 1939.
Prajurit PETA Pejuang Kemerdekaan RI
Latief Hendraningrat mulai tertarik dengan militer pada era pendudukan Jepang di Indonesia yang terjadi sejak 1942 setelah Belanda menyerah dalam Perang Dunia Kedua. Mula-mula, Latief Hendraningrat bergabung dengan Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrenshoo) bentukan pemerintah Dai Nippon.
Ketika Jepang membentuk Pembela Tanah Air (PETA) pada 3 Oktober 1943, Latief Hendraningrat ikut mendaftarkan diri. Karier militer Latief Hendraningrat di PETA berjalan mulus. Hingga PETA dibubarkan pada 1945, pangkat terakhirnya adalah chudancho (sudanco) alias komandan kompi.
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945 membuka peluang bagi bangsa Indonesia untuk merdeka. Latief Hendraningrat termasuk golongan muda yang menghendaki proklamasi kemerdekaan Indonesia secepat-cepatnya.
Hanya saja, golongan tua seperti Sukarno dan Mohammad Hatta cenderung menunggu realisasi janji Jepang yang akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Perbedaan pandangan antara dua golongan inilah yang menyebabkan terjadinya Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945.
Para pemuda revolusioner seperti Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Singgih, dan lainnya membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok, dekat Karawang, dengan tujuan agar kedua tokoh sentral tersebut tidak terpengaruh oleh Jepang dan bersedia segera mengumumkan kemerdekaan RI.
Latief Hendraningrat tidak turut ke Rengasdengklok. Masih tercatat sebagai perwira tinggi PETA, ia adalah orang yang paling bertanggungjawab atas keamanan Jakarta saat itu. Dikutip dari Konflik di Balik Proklamasi (2010) karya St Sularto dan Dorothea Rini Yunarti, Latief Hendraningrat menggantikan atasannya, Kasman Singodimejo, yang sedang berada di Bandung.
Berkat Latief Hendraningrat dan para pemuda Indonesia anggota PETA lainnya, tulis Her Suganda dalam Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 (2009), aksi “pengamanan” Sukarno-Hatta dari Jakarta ke Karawang luput dari pantauan tentara Jepang.
Peran Latief Hendraningrat dalam Kemerdekaan RI
Singkat cerita, setelah Peristiwa Rengasdengklok, Sukarno dan Hatta akhirnya setuju untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia lebih cepat. Maka, tanggal 17 Agustus 1945, dua tokoh proklamator itu membacakan teks proklamasi kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia di Jakarta.
Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro dalam Sejarah Nasional Indonesia VI (2008) mencatat, menjelang jam 10 pagi, Latief Hendraningrat mengawal Sukarno-Hatta ke titik lokasi pembacaan teks proklamasi. Ketika proklamasi dibacakan, ia berdiri tegap tidak jauh dari duo proklamator.
Usai pembacaan teks proklamasi, Latief Hendraningrat bertindak sebagai pengibar sang saka Merah-Putih bersama Suhud Sastro Kusumo dan SK Trimurti dalam upacara bendera pertama setelah Indonesia merdeka.
Upacara kemerdekaan perdana pada 17 Agustus 1945 itu dilakukan dengan sangat sederhana, bendera pusaka dikibarkan di sebatang bambu lantaran situasi darurat. Seluruh rangkaian acara itu terselenggara dengan relatif lancar di bawah komando Latief Hendraningrat.
Setelah Indonesia menjadi negara merdeka, Latief Hendraningrat enggan duduk di pemerintahan. Ia memilih berjuang dari luar, turut mengamankan negara karena Belanda datang lagi dengan membonceng pasukan Sekutu dan berkeinginan berkuasa kembali.
Selama periode revolusi fisik (1945-1949) atau masa perang mempertahankan kemerdekaan, Latief Hendraningrat terlibat dalam berbagai front peperangan melawan Sekutu dan Belanda.
Dinukil dari buku Ganti Rezim Ganti Sistim (2014) yang ditulis oleh Sri Bintang Pamungkas, Latief Hendraningrat pernah menjadi Komandan Militer Kota (KMK) di Yogyakarta yang sejak awal Januari 1946 menjadi ibu kota RI lantaran Jakarta dalam situasi darurat.
Latief Hendraningrat juga berhubungan baik dengan Panglima Jenderal Sudirman. Ayi Jufridar dalam 693 KM: Jejak Gerilya Sudirman (2015) menyebutkan, ia ikut merumuskan taktik gerilya dan merencanakan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
Mengabdi Hingga Akhir Hayat
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia dari Belanda pada akhir 1949, Latief Hendraningrat terus menempuh jalan ketentaraan. Tahun 1952, ia ditunjuk sebagai atase militer di Kedutaan Indonesia untuk Filipina, kemudian dipindahkan ke Washington, Amerika Serikat, hingga 1956.
Pulang ke tanah air, Latief Hendraningrat dipercaya memimpin Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD). Sebelum pensiun dari militer, ia sempat menjabat sebagai rektor pertama IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta) pada 1964-1965.
Tahun 1967, seiring terjadi peralihan kekuasaan dari Orde Lama pimpinan Sukarno ke rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto, Latief Hendraningrat menyepi dari hiruk-pikuk politik.
Latief Hendraningrat membaktikan diri untuk Yayasan Perguruan Rakyat dan Organisasi Indonesia Muda hingga akhir hayatnya. Latief Hendraningrat wafat di Jakarta tanggal 13 Maret 1983 dalam usia 72 tahun.
Editor: Yantina Debora