Menuju konten utama
Mesin Waktu

Bendera Pusaka di Momen Proklamasi & Sejarah yang Menyertainya

Bendera dwiwarna jahitan Fatmawati ditetapkan sebagai Bendera Pusaka melalui Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958.

Bendera Pusaka di Momen Proklamasi & Sejarah yang Menyertainya
Header mesin waktu Bendera pusaka merah putih. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada setiap momen peringatan Kemerdekaan Indonesia, foto-foto bidikan Frans Mendur hampir selalu dimunculkan kembali di berbagai media. Foto-foto itu mengabadikan momen-momen saat Proklamasi Kemerdekaan di Pegangsaan Timur pada 17 Agustus 1945. Di antara foto-foto itu menangkap momen Sukarno didampingi Mohammad Hatta membacakan Teks Proklamasi kemerdekaan.

Ada pula foto saat Sukarno memimpin doa dan, yang tak kalah penting, foto pengibaran bendera merah-putih. Untuk foto yang disebutkan terakhir, ada peran besar dari Fatmawati, istri Sukarno.

Bendera yang berkibar saat Proklamasi Kemerdekaan itu merupakan bendera yang dijahit oleh Fatmawati. Itu adalah pengetahuan umum yang telah banyak orang Indonesia ketahui. Namun, bagaimana dengan cerita sebelum dan setelahnya?

Lalu, mengapa yang dijahit Fatmawati adalah warna merah dan putih? Dari mana inspirasi dwiwarna itu berasal? Berikut kisahnya.

Dwiwarna dalam Lintasan Zaman

Dwiwarna warna yang digunakan sebagai bendera Indonesia punya asal-usul yang panjang menurut beberapa ahli dan tokoh. Kendati demikian, sejarah itu masih diliputi banyak perdebatan.

Mohammad Yamin, misalnya, mencoba mengurai sejarah bendera dwiwarna dalam bukunya 6000 Tahun Sang Merah Putih (1951). Yamin melacaknya hingga ke masa prasejarah dan menelurkan dugaan bahwa warna merah merupakan representasi matahari, sementara putih merepresentasikan bulan.

Ada pula arkeolog Daud Aris Tanudirjo yang menulis buku Inspirasi Majapahit (2014). Seturut studinya, warna merah-putih pernah digunakan pada masa kejayaan Majapahit. Lebih tepatnya, ia digunakan sebagai warna panji dari Hayam Wuruk, raja terbesar Majapahit.

Jejak sejarah penggunaan bendera dwiwarna yang paling jelas diketahui pada awal abad ke-20. Itulah masa ketika organisasi-organisasi pergerakan nasional bermekaran.

Salah satu dari organisasi tersebut adalah Indonesische Vereeniging yang didirikan pada 1908—kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Indonesische Vereeniging merupakan organisasi yang dibentuk oleh mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Negeri Kincir Angin.

Indonesische Vereeniging memiliki bendera kebesaran yang memampang lambang kerbau dengan latar belakang warna merah dan putih.

“Kerbau sendiri dalam lanskap pergerakan politik nasional di awal abad ke-20 adalah lambang nasionalisme Indonesia–di samping Banteng,” tulis Wildan Sena Utama dalam studi “Mempropagandakan Kemerdekaan di Eropa: Perhimpunan Indonesia dan Internasionalisasi Gerakan Antikolonial di Paris” yang terbit dalam Jurnal Sejarah (Vol. 1, No. 2, 2018).

Bendera kerbau dengan latar dwiwarna itu kemudian juga dicetak pada sambul buku peringatan organisasi itu, Gedenkboek Indonesische Vereeniging 1908-1923.

Penggunaan warna merah putih pada bendera Indonesische Vereeniging kemudian juga diikuti oleh Partai Nasional Indonesia. Pada 1928, PNI menggunakan warna merah putih untuk benderanya. Bedanya, PNI menggunakan banteng sebagai lambang, bukan kerbau.

Mengapa banteng? Buku Kisah Merah Putih (2017) yang terbitan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menulis bahwa menurut Sukarno, kerbau terlalu “lunak” untuk bangsa Indonesia. Maka Sukarno memilih banteng yang memberi kesan lebih agresif, siap menyeruduk dan menjungkalkan segala bentuk penjajahan.

Lalu pada 1939, organisasi Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pun turut menggunakan warna merah dan putih pada benderanya.

Dwiwarna merah-putih kemudian ditetapkan menjadi warna bendera kebangsaan pada September 1944. Penetapan dilakukan oleh Panitia Bendera Kebangsaan Merah Putih yang dibentuk oleh Chuo Sangi-In (semacam dewan pertimbangan di bawah pemerintahan militer Jepang).

Sejak itulah warna merah dan putih dilambari dengan arti filosofis yang berkelindan dengan kebangsaan Indonesia. Buku Album Cagar Budaya Nasional I (2013-2016): Khasanah Cagar Budaya Indonesia (2018) menyebutkan bahwa warna merah merepresentasikan sifat berani, sedangkan warna putih berarti suci. Ukuran bendera merah putih pun distandarkan dengan berpatokan pada bendera Jepang, dengan perbandingan panjang dan lebar 3:2.

Infografik mesin waktu Bendera pusaka merah putih

Infografik mesin waktu Bendera pusaka merah putih. tirto.id/Tino

Bendera Pusaka Berkibar 17 Agustus 1945

Sekitar satu bulan setelah penetapan bendera merah putih sebagai bendera kebangsaan, Sukarno mulai menyiapkan kain yang akan digunakan sebagai bendera standar. J.B. Sudarmanto dalam Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia (2007) menyebut kain yang digunakan untuk bendera itu diperoleh dari seorang pemuda bernama Chairul Basri.

Seturut keterangan dari Fatmawati dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Volume 1 (1978), kain bendera itu diperolehnya melalui pemberian Chairul Basri dari perintah Kolonel Shimizu. Kain itu itulah yang kemudian dijahit oleh Fatmawati.

Lalu, bendera hasil jahitan Fatmawati itulah yang dikibarkan dalam upacara usai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pengibaran bendera merah putih pada siang itu dilakukan oleh S. Suhud dan Latief Hendraningrat.

Bendera dwiwarna jahitan Fatmawati itu kemudian terus dipakai dalam upacara peringatan kemerdekaan setiap tahun. Nasibnya pernah terancam pada Desember 1948 karena adanya Agresi Militer II Belanda.

Dalam kondisi yang genting itu, Presiden Sukarno memerintahkan H.S. Mutahar, ajudannya, untuk menyelamatkan Bendera Pusaka.

“Tindakan terakhirku adalah memanggil Mutahar. ‘Apa yang akan terjadi padaku, aku tidak tahu. Namun, dengan ini aku memberimu perintah. Apa pun yang terjadi, aku perintahkan kau untuk menjaga bendera suci ini dengan nyawamu. Bendera itu tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Suatu hari nanti, Insya Allah, kau harus mengembalikannya sendiri kepadaku dan tidak boleh diberikan ke tangan siapa pun kecuali dia adalah pemimpin yang menggantikanku. Jika kau gugur saat menyelamatkan bendera ini, harus ada orang lain yang engkau percayakan untuk melaksanakan kewajiban itu dan dia harus menyerahkannya kepadaku sendiri, seperti yang engkau lakukan’,” kata Sukarno sebagaimana diungkapkan kepada Cindy Adams dalam Sukarno: an Autobiography (1965).

Mutahar berhasil menjalankan tugasnya dengan baik, meskipun dia sempat memisahkan bendera itu menjadi dua bagian karena alasan keamanan.

Sepuluh tahun kemudian, bendera dwiwarna jahitan Fatmawati itu mendapat predikat yang disandangnya sampai sekarang: Bendera Pusaka. Hal itu ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia.

Tak sekadar dinamai Bendera Pusaka, ia juga ditetapkan sebagai salah satu simbol negara Indonesia. Dengan begitu, Bendera Pusaka menjadi lambang kedaulatan dan tanda kehormatan Republik Indonesia.

Sebagaimana sebelumnya, Bendera Pusaka akan rutin dikibarkan pada tiap Upacara 17 Agustus. Namun, ia “dipensiunkan” pada 1969. Yang kemudian digunakan dalam peringatan Kemerdekaan Indonesia setelah itu adalah bendera duplikat.

Laman Kementerian Sekretariat Negara RI menyebutkan bahwa alasan pergantian itu adalah karena kondisi Bendera Pusaka yang semakin rapuh. Bendera duplikat pertama digunakan hingga 1984, lalu duplikat keduanya digunakan dari 1985 hingga 2014. Bendera merah putih yang kita lihat sekarang dalam upacara 17 Agustus adalah duplikat ketiga yang mulai digunakan sejak 2015.

Bersama dengan dua versi Naskah Proklamasi, Bendera Pusaka yang dijahit oleh Fatmawati menjadi bukti peristiwa penting yang menjadi awal perjalanan Indonesia sebagai negara merdeka. Oleh karena itu, Kemendikbudristek pada 2013 menetapkan Bendera Pusaka menjadi Cagar Budaya Peringkat Nasional. Kini, Bendera Pusaka disimpan di Istana Negara, Jakarta.

Baca juga artikel terkait PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - News
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi