Menuju konten utama
Mesin Waktu

Gedung Arsip Nasional: Oasis Sejarah di Belantara Beton Ibu Kota

Gedung Arsip Nasional yang kita kenal kini semula adalah rumah peristirahatan Gubernur Jenderal VOC, Reinier de Klerk.

Gedung Arsip Nasional: Oasis Sejarah di Belantara Beton Ibu Kota
Header Mesin Waktu Gedung Arsip Nasional. tirto.id/Fuad

tirto.id - Jika Pembaca hendak berkunjung ke Kota Tua Jakarta dari kawasan Monumen Nasional (Monas), salah satu opsi transportasi yang tersedia adalah Transjakarta. Pembaca bisa naik dari dari Halte Monas yang berada tepat di depan Museum Nasional. Naiklah bis koridor 1 ke arah Kota Tua.

Kala melintasi Jalan Gajah Mada, Pembaca bakal mendapati sebuah bangunan tinggalan kolonial yang cukup mencolok. Selain karena fasadnya yang khas, ia mencolok karena amat kontras dengan lingkungan sekitarnya.

Bangunan kuno itu memiliki taman yang terbilang luas—jelas sangat berbeda ketimbang jejeran bangunan pertokoan dan perkantoran yang berjubelan di kanan-kirinya. Eksistensinya seakan jadi jeda dari sumpeknya jalanan dan hutan beton.

Kini, kita mengenal bangunan itu sebagai Gedung Arsip Nasional. Jika tertarik mengunjunginya, Pembaca bisa turun di Halte Mangga Besar dan berjalan kaki ke sana. Ia telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya dan terbuka untuk umum.

Sejak September 2023 lalu, Gedung Arsip Nasional ini mendapat fungsi baru sebagai Pusat Studi Arsip Statis Presiden Pertama RI Ir. Sukarno.

Kembali soal bangunannya, tentu mudah mengira bahwa Gedung Arsip Nasional itu dibangun oleh orang Belanda dengan selera arsitektur Eropa. Namun, tahukah Pembaca sejarahnya? Tahukah Pembaca bahwa Gedung Arsip Nasional itu adalah salah satu tengara perluasan pemukiman kolonial di luar Benteng Batavia?

Nah, marilah kita telisik sejarahnya yang merentang panjang hingga abad ke-18.

Villa Reinier de Klerk

Gedung Arsip Nasional yang semula merupakan villa milik Gubernur Jenderal VOC, Reinier de Klerk. (sumber: jakartahistory.tumblr.com)

Keluar dari Tembok Batavia

Saat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) didirikan pada pada 20 Maret 1602, markas utamanya bukanlah di lokasi yang kini kita kenal sebagai Jakarta alias Batavia. Gubernur Jenderal pertama VOC, Peter Both, menjalankan maskapai dagang ini pada periode 1610-1614 dari Ambon.

VOC baru memindahkan markasnya ke Batavia pada masa pemerintahan Jan Pieterszoon Coen (1618-1623). Sebelum direbut oleh J.P. Coen dari tangan Kesultanan Banten pada 1619, kawasan pelabuhan ini dikenal dengan nama Jayakarta. Coen pulalah yang kemudian mengubah namanya menjadi Batavia.

Sejak itulah, Batavia mulai dikembangkan menjadi markas baru VOC.

“Awalnya, Kompeni membangun Batavia sebagai tempat pertemuan kapal-kapal Belanda di Asia yang berlayar dari dan ke Belanda. Saat Batavia berkembang, kota ini menjadi salah satu pusat perdagangan besar di Asia,” tulis sejarawan Bondan Kanumoyoso dalam Ommelanden: Perkembangan Masyarakat dan Ekonomi di Luar Tembok Kota Batavia1684-1740 (2023).

Secara bertahap, VOC membangun Batavia dengan mengambil imaji Kota Amsterdam yang dikelilingi kanal. Tak hanya kanal, sebagaimana kelaziman tata kota di Eropa zaman itu, Batavia juga dikelilingi tembok benteng.

“Ciri kota Batavia yang menonjol meniru Kota Amsterdam abad Pertengahan yang dikelilingi kanal dan tembok kota,” tulis Aryandini Novita dan M. Irfan Mahmud yang mengutip Soekmono dalam studi “Tata Ruang Etnis dan Profesi dalam Kota Batavia Abad XVII-XVIII” (Berkala Arkeologi, 1999).

Di dalam tembok kota, VOC membangun berbagai bangunan untuk mendukung roda pemerintahan dan bisnisnya. Sementara itu, daerah di luar benteng yang kemudian disebut Ommelanden, dimanfaatkan VOC sebagai daerah sumber pemenuhan segala kebutuhan di dalam tembok kota.

“Wilayah yang dapat memenuhi peran ini adalah daerah pedalaman, yaitu suatu area di luar tembok kota,” tulis Bondan (2023).

Seiring berjalannya waktu, kehidupan penduduk di dalam tembok Kota Batavia mulai terganggu karena beberapa masalah. Salah satunya adalah maraknya wabah penyakit karena buruknya sanitasi di Batavia. Kondisi itu membuat banyak penduduk Batavia kemudian memilih membangun pemukiman di luar tembok kota yang dinilai lebih sehat.

Menurut Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007), daerah yang menjadi tujuan mereka antara lain di bagian selatan dan timur tembok kota. Bahkan, sejak 1750-an, sudah banyak para pembesar VOC yang membangun rumah peristirahatan di selatan Kota Tua Batavia, seperti di Molenvliet (daerah Jalan Gajah Mada-Jalan Majapahit), Weltevreden (Gambir), Gunung Sahari, dan Meester Cornelis (Jatinegara).

Rumah Peristirahatan Reinier de Klerk

Salah satu pembesar VOC yang disebut Mona Lohanda membangun villa di selatan Batavia adalah Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1777-1780). Rumah de Klerk itu tepatnya dibangun di kawasan Molenvliet.

Rumah peristirahatan de Klerk itulah yang kini kita kenal sebagai Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada.

Villa itu tepatnya dibangun pada 1760, jauh sebelum de Klerk menjadi orang nomor satu di VOC. Villa itu pada masanya berdiri di tepian Kanal Molenvliet yang sebelumnya dikenal dengan Bingamvaart. Kanal Molenvliet itu sendiri telah ada sejak 1648 dan menjadi penghubung antara Batavia dan Ommelanden.

“Saluran ini diperuntukkan bagi pengangkutan hasil hutan dari bagian selatan,” tulis buku Ekspedisi Ciliwung Laporan Jurnalistik Kompas: Mata Air, Air Mata (2009).

Rumah peristirahatan Reinier de Klerk itu dibangun dengan gaya Eropa. Buku Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia (2009) menjelaskan bahwa villa de Klerk itu mengaplikasikan langgam arsitektur baroque-rococo pada fasadnya.

Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta (1982) menulis bahwa bangunan utama villa de Klerk itu adalah contoh dari gaya closed Dutch style. Secara fisik, ia memang “tertutup” lantaran tidak memiliki serambi, baik di depan ataupun dibelakang bangunan.

Gaya tertutup itu sekilas memang terlihat tak umum dan tak cocok dengan iklim tropis Nusantara. Namun, ia toh tetap punya beberapa penyesuaian fitur untuk mengompensasi iklim tropis, yaitu langit-langit yang dibuat tinggi dan lantai berbahan marmer.

Villa de Klerk dibangun berlantai dua dengan jendela-jendela yang lebar dan memenuhi sekujur bangunan. Jendela-jendela lebar itu juga merupakan salah satu ciri bangunan kolonial di alam tropis.

De Klerk, seturut Heuken, tak sekadar memfungsikan rumahnya sebagai tempat tinggal belaka. Villa itu juga dipakainya sebagai kantor. Pun ia tak hanya ditempati oleh keluarga de Klerk saja.

Cor Passchier dalam artikel “Het huis Reinier de Klerk, een voormalige buitenplaats in Jakarta” (Bulletin Knob, 2005, PDF) menulis bahwa de Klerk juga menampung beberapa tentara dan budak-budak di rumah itu.

De Klerk menempati rumah itu hingga akhir hayatnya pada 1780. Dia meninggal dunia saat masih menjabat sebagai Gubernur Jenderal. Lima tahun kemudian, tepatnya pada 1785, istrinya juga meninggal dunia. Sejak saat itu, rumah ini beberapa kali berpindah kepemilikan.

Infografik Mesin Waktu Gedung Arsip Nasional

Infografik Mesin Waktu Gedung Arsip Nasional. tirto.id/Fuad

Berganti Kepemilikan dan Direnovasi

Semula, kepemilikan rumah de Klerk itu tentu jatuh ke tangan ahli warisnya. Namun, mereka lalu menjualnya pada 1786. Adolf Heuken mencatat pergantian kepemilikan bangunan itu secara lengkap.

Pembeli pertama rumah itu adalah Johannes Siberg, seorang anggota Raad van Indie yang kelak juga menjadi Gubernur Jenderal VOC (1801-1802). Setelah Siberg meninggal dunia, rumah itu dijual pada 1817.

Sejak 1844, villa de Klerk menjadi aset milik College of Deacons of the Reformed Church. Tahun itu juga menandai berakhirnya fungsi rumah itu sebagai tempat tinggal. Pasalnya, organisasi itu mengubah fungsinya menjadi panti asuhan.

Pada akhir abad ke-19, villa de Klerk disebut dalam kondisi rusak sehingga pemiliknya memutuskan untuk menjual rumah itu. Villa itu pun terancam dibongkar. Kemudian, Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen—organisasi sains dan kebudayaan yang berdiri di masa de Klerk menjabat Gubernur Jenderal VOC—mengambil tindakan untuk menyelamatkannya dari kehancuran.

“Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen membunyikan alarm, hingga akhirnya Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mengakuisisi situs dan bangunan tersebut pada 1899,” tulis Cor Passchier.

Villa Reinier de Klerk

Tampak depan villa Reinier de Klerk sekitar 1930-an (difungsikan sebagai kantor Landsarchief) koleksi National Museum of World Cultures Belanda. (sumber: Wikipedia.org)

Villa Reinier de Klerk

Halaman belakang gedung Landsarchief (villa Reinier de Klerk) sekitar 1920-an karya fotografer Georg Friedrich Johannes Bley, koleksi National Museum of World Cultures Belanda. (sumber: Wikipedia.org)

Setelah itu, Pemerintah Kolonial memperbaiki gedung itu secara bertahap dan dipakai sebagai kantor Departemen Pertambangan Kolonial. Pada 1925, bangunan itu mulai digunakan sebagai kantor Lands Archief—yang kemudian bertransformasi menjadi Arsip Nasional RI.

Di masa Indonesia Merdeka, bangunan ini masih digunakan sebagai tempat menyimpan arsip sehingga dikenal dengan sebutan Gedung Arsip Nasional. Fungsi itu berlangsung hingga 1974.

Memasuki dekade 1990-an, kondisi bangunan ini kembali mengalami penurunan sehingga kembali memerlukan penyelamatan. Usaha untuk menyelamatkan bangunan ini dimulai pada 1994.

Cor Passchier menulis bahwa saat itu para perwakilan komunitas bisnis di Belanda mulai mengumpukan dana melalui Stichting Nationaal Cadeau. Pada 22 Agustus 1995, mereka mengumumkan bahwa dana perbaikan telah terkumpul. Uniknya, pengumuman ini dilakukan dihadapan Ratu Beatrix yang pada saat itu melakukan kunjungan ke Jakarta.

Pemugaran pun dilakukan dan berhasil diselesaikan pada 1998. Kini, sebagaimana telah disebut di awal artikel, Gedung Arsip Nasional alias villa de Klerk itu difungsikan sebagai Pusat Studi Arsip Statis Presiden Sukarno.

Baca juga artikel terkait BANGUNAN CAGAR BUDAYA atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - News
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi