tirto.id - Pada 17 Agustus 1945—tepat hari ini 79 tahun lalu, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Di halaman rumahnya di Pegangsaan Timur, dalam sebuah upacara nan sederhana, Sukarno didampingi Mohammad Hatta membacakan pernyataan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.”
Demikian bunyi Teks Proklamasi yang dibaca Sukarno. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa teks yang dia baca merupakan hasil tikan Sayuti Melik. Namun, berapa orang yang tahu bahwa redaksi teks hasil tikan Sayuti Melik itu berbeda dari draf Proklamasi yang ditulis Sukarno.
Teks Proklamasi memang punya dua versi. Teks yang dibaca Sukarno pada 17 Agustus 1945 itu adalah satu versi. Versi lain tentu adalah draf tulisan tangan Sukarno. Keduanya sama-sama otentik, tapi punya cerita dan perjalanan sejarah yang unik satu sama lain.
Lantaran nilai sejarahnya yang penting, kedua versi Teks Proklamasi itu pada 2013 telah ditetapkan menjadi Cagar Budaya Peringkat Nasional oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Lantas, seperti apa cerita di balik dua versi Teks Proklamasi tersebut? Lalu, di mana kedua benda cagar budaya itu kini disimpan?
Tulisan Tangan Sukarno
Teks Proklamasi versi tulisan tangan Sukarno “lahir” di rumah dinas Laksamana Maeda, seorang perwira tinggi Jepang yang bersimpati pada perjuangan orang Indonesia.
Pada 16 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta sempat “diamankan” kelompok aktivis muda ke Rengasdengklok. Mereka baru bisa kembali ke Jakarta usah dijemput oleh Achmad Soebardjo, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Itu setelah kelompok Sukarno-Hatta dan kelompok pemuda pimpinan trio Chaerul Saleh-Sukarni-Wikana bersepakat bahwa kemerdekaan Indonesia akan diproklamasikan keesokan harinya.
Dini hari 17 Agustus 1945 adalah saat sibuk dan menegangkan bagi para aktivis kemerdekaan Indoensia itu. Sukarno dan Hatta selaku pimpinan PPKI segera bergegas melobi pihak Jepang dan mempersiapkan proklamasi di rumah dinas Laksamana Maeda Tadashi.
Di rumah Maeda itu, berkumpullah beberapa anggota PPKI dan eksponen pemuda. Seturut sejarawan Susanto Zuhdi, kediaman Laksamana Maeda dipilih sebagai tempat rapat karena dorongan dari Ahmad Subardjo dan kesediaan Maeda sendiri.
“Hal itu didukung pula oleh Laksamana Tadashi Maeda untuk menyediakan rumah tinggalnya sebagai tempat pertemuan dan bersedia menjamin keselamatan mereka,” tulis Susanto dalam Indonesia dalam Arus Sejarah 6, Perang dan Revolusi (2012).
Tanpa berpanjang omongan, Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subardjo bersama-sama menyusun teks proklamasi di ruang tamu kediaman Maeda. Di antara mereka, Sukarno-lah yang diminta untuk menuliskan hasil rumusan teks proklamasi.
Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku, Menuju Gerbang Kemerdekaan (2011) menulis bahwa Sukarno-lah yang mempersilakannya untuk membuat redaksi proklamasi yang ringkas karena kemampuan bahasanya yang paling baik.
Seturut cerita Hatta, kalimat pembuka naskah proklamasi berasal dari alinea terakhir yang tertulis di Piagam Jakarta. Soebardjo-lah yang mengusulkan kalimat itu. Kalimat kedua merupakan hasil pemikiran Hatta.
Buku Khasanah Cagar Budaya Indonesia (2018) terbitan Kemendikbud menjelaskan bahwa Sukarno menulis draf naskah proklamasi itu pada kertas blocknote warna putih berukuran panjang 25,8 cm, lebar 21,3 cm, dan tebal 0,55 mm. Setelah itu, isi draf naskah ini diperdengarkan ke para tokoh yang hadir dalam rapat dini hari itu.
Saat itulah, perdebatan muncul. Susanto Zuhdi dalam bukunya menyebut bahwa Sukarni merasa redaksi naskah itu masih kurang tegas. Sukarni lalu memberi masukan, tapi ditolak lantaran kalimatnya agak keras dan konfrontatif.
Selain itu, Sukarni juga memberikan ide mengenai siapa yang harus menandatangani naskah proklamasi tersebut. Dia menyarankan bahwa cukup dua orang saja yang menandatangani naskah itu mewakili bangsa Indonesia, yaitu Sukarno dan Hatta.
Tentang hal itu, Hatta justru mengungkapkan rasa kecewa dalam autobiografinya.
“Aku merasa kecewa karena kuharapkan mereka serta menandatangani suatu dokumen yang bersejarah, yang mengandung nama mereka untuk kebanggaan anak cucu di kemudian hari,” tulis Hatta.
Draf Sempat Dibuang
Salah satu tokoh yang hadir pada malam genting itu adalah wartawan Burhanuddin Mohammad Diah. Bersama tokoh-tokoh pemuda lain, Diah ikut menunggu di ruang tengah rumah Maeda manakala Sukarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo menyusun draf teks proklamasi.
Setelah draf itu disetujui para wakil pemuda dan anggota PPKI yang hadir, Sukarno meminta Sayuti Melik mengetiknya. Diah pun ikut menemani Sayuti mengetik.
Setelah naskah tikan itu ditandatangani Sukarno dan Hatta, Sayuti membuang begitu saja draf proklamasi tulisan tangan Sukarno tersebut. Tak seorang pun menaruh peduli pada draf, toh sudah ada naskah tikan yang lebih resmi dan diteken langsung Sukarno-Hatta. Tapi, Diah mengambilnya.
"Naluri saya sebagai wartawan mengambil itu untuk diumumkan lewat suratkabar," aku Diah di kemudian hari sebagaimana dikutip Kompas (20/5/1992).
BM. Diah merupakan orang yang berjasa dalam penyebaran berita proklamasi. Saat orang-orang berkumpul untuk mendengarkan Sukarno membacakan Teks Proklamasi, B.M. Diah sibuk mencari percetakan di daerah Pecenongan. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menyebarkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan cara memperbanyak draf tulisan tangan Sukarno yang dipungutnya.
Di Pecenongan, Diah menggunakan jasa percetakan milik Ili Sasmita. Sebelum diperbanyak, Diah menuliskan kata-kata pemberitahuan di balik kertas.
“Berita Istimewa. Berita Istimewa, Pada hari ini, tgl 17 bln 8, 2605 di Djakarta telah dioemoemkan proklamasi kemerdekaan Indonesia jg boenjinja….. Proklamasi,” demikian redaksi pemberitahuan itu, dikutip dari buku Catatan B.M. Diah: Peran “Pivotal” Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-’45 (2018).
Teks Proklamasi tulisan tangan Sukarno itu lalu disimpan Diah hingga akhirnya diserahkan kepada negara pada 1993. Kini, Naskah Proklamasi tulisan tangan Sukarno itu disimpan dan dirawat di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Naskah yang Ditik Sayuti Melik
Setelah disetujui, draf Teks Proklamasi tulisan tangan Sukarno lantas diserahkan pada Sayuti Melik untuk ditik. Dalam mengetik naskah itu, Sayuti Melik tidak sendirian. Ia ditemani oleh B.M. Diah. Naskah itu ditik menggunakan mesin tik milik seorang perwira Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine), Kolonel Kandeler.
Sebenarnya, di rumah Laksamana Maeda juga tersedia mesin tik. Namun, mesin tik itu tidak bisa digunakan karena menggunakan huruf kanji.
Teks Proklamasi hasil tikan Sayuti Melik berbeda dari hasil tulisan tangan Sukarno. Pasalnya, dia melakukan beberapa penyuntingan terhadap redaksinya.
Buku Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik (2010) menjabarkan beberapa penyuntingan teks tersebut. Pertama, Sayuti Melik mengganti kata “tempoh” dalam draf Sukarno menjadi “tempo”. Sayuti juga mengganti kata “hal2” menjadi “hal-hal”.
Kedua, redaksi “wakil-wakil bangsa” dibagian akhir teks diganti menjadi “atas nama Bangsa Indonesia”. Ketiga, Sayuti juga mengganti format penulisan tanggal teks itu, dari semula “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05”.
Naskah Proklamasi hasil tikan Sayuti Melik itu sekarang disimpan di Istana Negara, Jakarta.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi