Menuju konten utama
Mesin Waktu

Museum Situs Semedo, Rumah Fosil Hominid & Primata Raksasa Jawa

Temuan paling spektakuler dan penting secara saintifik dari Semedo adalah fosil primata raksasa Gigantopithecus blacki.

Museum Situs Semedo, Rumah Fosil Hominid & Primata Raksasa Jawa
Header Mesin Waktu Museum Situs Semedo. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pada masa Prasejarah, manusia belum mengenal tulisan. Meskipun demikian, bukan berarti manusia pada masa ini tidak meninggalkan jejak kehidupan dan kebudayaan. Di Indonesia, ada banyak temuan arkeologis yang berasal dari masa Prasejarah yang menarik secara ilmiah—bahkan penting.

Berbagai macam temuan itu di antaranya serbaneka fosil, seni cadas (rock art), hingga alat-alat batu. Maka tak heran di Indonesia juga terdapat cukup banyak museum yang menampilkan tinggalan dari masa prasejarah.

Museum-museum itu di antaranya Museum Manusia Purba Sangiran, Museum Trinil, Museum Manusia Purba Gilimanuk, dan Museum Semedo. Museum yang disebutkan terakhir adalah yang paling baru.

Museum Semedo mulai dibangun pada 2015 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia bersama dengan Pemerintah Kabupaten Tegal. Ia diresmikan pembukaannya pada 12 Oktober 2022. Sesuai namanya, museum yang khusu menampilkan tinggalan-tinggalan masa Prasejarah ini berlokasi di Desa Semedo, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal—sekira 27 km dari pusat Kabupaten Tegal.

Museum Semedo didirikan untuk melestarikan tinggalan kehidupan dan budaya manusia purba serta ragam fauna yang pernah menjejaki bumi Tegal. Lantas, apa saja yang membuatnya menarik dan penting secara saintifik?

Dari Homo erectus hingga Gigantopithecus blacki

Museum Semedo berlokasi tak jauh dari titik-titik penemuan fosil manusia dan fauna prasejarah. Potensi arkeologis situs ini mulai tersingkap pada 2005. Salah satu fosil dari Semedo yang kemudian menarik perhatian publik adalah fosil fragmen atap tengkorak Homo erectus.

“Pada bulan Mei 2011, sebuah fragmen tengkorak Homo erectus ditemukan oleh seorang penduduk desa bernama Pak Dakri, ketika ia berjalan di sekitar anak sungai Kawi,” tulis Sofwan Noerwidi dan Siswanto dalam “Alat Batu Situs Semedo: Keragaman Tipologi dan Distribusi Spasialnya” yang terbit pada Berkala Arkeologi (Vol. 34, No.1, 2014).

MUSEUM SITUS PURBAKALA SEMEDO

Warga berjalan di halaman Museum Situs Semedo di Desa Semedo, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (20/6/2019). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/pd.

Setelah diteliti, fosil temuan Dakri itu rupanya termasuk Homo erectus bertipe tipik (klasik) dan berasal dari 700 ribu tahun lampau. Melalu beberapa kali penelitian lanjutan, para arkeolog menyimpulkan bahwa Semedo merupakan situs dari masa Pleistosen Tengah (774.000 hingga 129.000 tahun lalu).

Seturut penelusuran dua arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta itu, beberapa warga lain rupanya juga melakukan penggalian dan berhasil menemukan fosil dan temuan artefaktual lain. Temuan-temuan mereka lalu di simpan di rumah Dakri yang kemudian disebut Pondok Informasi Situs Semedo.

Fosil Homo erectus seperti temuan Dakri sendiri merupakan fosil hominid yang cukup banyak ditemukan di Indonesia. Selain di Semedo, fosil Homo erectus pernah ditemukan di situs lain, seperi Sangiran, Trinil, dan Patiayam.

Tak hanya Homo erectus, beberapa fosil fauna pun juga ditemukan di situs ini. Dama Q. Arjanto dan Intan Kemala Dewi dalam studinya “Kajian Awal Artefak Tulang Situs Semedo di Tegal, Jawa Tengah,” yang terbit pada Berkala Arkeologi (Vol. 44, No. 1, 2024) menyebut bahwa temuan fauna di Semedo terdiri dari tiga filum fauna avertebrata dan 14 familia fauna vertebrata.

“Berdasakan data koleksi Museum dan Cagar Budaya Semedo, setidaknya terdapat 8000 koleksi fosil, baik fauna perairan maupun fauna darat,” demikian tulis Arjanto dan Dewi dalam studinya.

Museum Situs Semedo

Museum Situs Semedo. foto/ Indonesian Heritage Agency/iha.kemdikbud.go.id

Itu pun belum menghitung tinggalan-tinggalan alat batu yang jumlahnya juga tergolong masif. Seturut perhitungan Arjanto dan Dewi, dari Situs Semedo setidaknya telah tersingkap 544 buah alat batu berbagai jenis. Jenis-jenis alat batu yang terlah terindentifikasi sejauh ini berupa kapak perimbas, kapak penetak, kapak genggam, bola batu, dan alat serpih.

Di antara banyaknya temuan paleontologis dan arkeologis, temuan paling spektakuler dan penting secara saintifik dari Semedo adalah fragmen-fragmen fosil primata raksasa Gigantopithecus blacki.

“Situs Semedo juga menghadirkan fosil primata besar yang diidentifikasi sebagai Gigantopithecus blackii.Spesies ini merupakan primata besar yang telah dilaporkan penemuan fosilnya di wilayah China, Himalaya, dan bagian subtropis Vietnam serta diidentifikasi berasal dari kala Plestosen awal,” tulis Arjanto dan Dewi.

Fosil primata purba berukuran raksasa ini ditemukan oleh Dakri pada 2014. Fosil Gigantopithecus blacki ditemukan di Petak 33 Situs Semedo. Saat menemukan fosil ini, Dakri mengira bahwa itu fosil rahang dan gigi manusia purba.

Buku Menguak Misteri Arkeologi Manusia Purba Asal Jawa (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2020) menulis bahwa Dakri sempat mempertanyakan ukuran temuannya yang tak lazim. Ia kemudian melaporkan temuannya pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tegal untuk kemudian diteruskan ke Balai Arkeologi Yogyakarta.

Dari hasil penelitiannya, Balai Arkeologi Yogyakarta menyimpulkan bahwa fosil temuan Dakri itu merupakan fragmen dari Gigantopithecus blacki, primata atau kera raksasa yang hidup pada masa Pleistosen Awal (sekitar 1-1,8 juta tahun silam).

Dengan melimpahnya jumlah dan keragaman temuan di sana, menjadi lebih terang bahwa Situs Semedo menjadi “rumah” bagi kehidupan purba dalam rentang zaman yang amat panjang. Maka tak berlebihan bila Indonesia Heritage Agency menyebut Museum Semedo sebagai salah satu pusat edukasi dan penelitian prasejarah terkemuka.

Gigantopithecus blacki dan G.H.R von Koenigswald

Sebagaimana penjelasan Arjanto dan Dewi, sebelum adanya temuan fosilnya di Semedo, habitat Gigantopithecus blacki diketahui hanyalah kawasan Cina dan Vietnam. Oleh karena itu temuan fosil Gigantopithecus blacki di Semedo menjadi menarik.

“Penemuan di Semedo ini mengajarkan kepada kita bahwa mahluk ini ternyata juga hidup di Pulau Jawa, sebuah tempat yang jauh dari habitat umum mereka di China dan Vietnam,” tulis Harry Widianto dalam Poros Bumiayu-Prupuk-Semedo, Migrasi Fauna dan Manusia Tertua di Pulau Jawa (2019).

Temuan itu, menurut Harry Widianto, kemudian menimbulkan berbagai macam pertanyaan lanjutan. Misalnya, kapan spesies primata purba itu tiba di Jawa? Juga, apa yang menyebabkan kepunahannya?

Gigantopithecus blacki merupakan nama spesies yang pertama kali dideskripsikan oleh paleontologis G.H.R von Koenigswald. Penamaan itu berangkat dari temuan fosil tiga gigi geraham saat mengunjungi Cina pada 1935.

Kisah penemuannya ditulis sendiri oleh von Koenigswald dalam risalah berjudul Gigantopithecus blacki von Koenigswald, a Giant Fossil Hominoid from the Pleistocene of Southern China terbitan American Museum of Natural History (1952).

Dalam risalah itu, von Koenigswald menjelaskan bahwa temuan pertamanya berupa fosil gigi molar (geraham) kanan bagian bawah yang kondisinya telah aus. Temuan pertama itu diperolehnya dari Hongkong. Temuan kedua, juga berupa gigi geraham kanan bagian bawah, dia temukan di Hongkong pula, tepatnya di toko obat dekat Western Market.

Sementara temuan ketiga, berupa gigi geraham atas diperoleh von Koenigswald di Kanton. Selain itu, pada 1939, von Koenigswald rupanya menemukan lagi satu fosil gigi geraham kiri bagian bawah. Von Koenigswald lantas meneliti lebih lanjut temuan-temuan itu sampai pada kesimpulan bahwa fosil-fosil itu adalah sisa-sisa dari spesies primata raksasa yang dinamainya Gigantopithecus blacki.

Von Koenigswald menjelaskan bahwa salah satu fosil temuannya diperoleh dari sebuah toko obat di Hongkong. Orang-orang Cina saat itu menyebut fosil semacam itu sebagai “gigi naga” dan dipercaya berkhasiat sebagai obat. Ia disebut “gigi naga” karena ukurannya yang memang cukup besar.

“Selama ribuan tahun, ahli obat Cina telah menggunakan ‘gigi naga’ sebagai obat,” tulis Parkler Dickson dalam “Gigantopithecus: A Reappraisal of Dietary Habits” yang terbit pada Totem: The University of Western Ontario Journal ofAnthropology (Vol. 11, 2003).

Sofwan Noerwidi, Siswanto, dan Harry Widianto dalam “Primata Besar di Jawa: Spesimen Baru Gigantopitechus dari Semedo” yang terbit pada Berkala Arkeologi (Vol. 36, No. 2, 2016) menulis bahwa genus Gigantopithecus sejauh ini telah diidentifikasi memiliki dua spesies. Dua spesies itu adalah Gigantopithecus blacki dan Gigantopithecus bilaspurensis (kemudian diubah jadi G. giganteus).

Baca juga artikel terkait SITUS ARKEOLOGI atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - News
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi