tirto.id - Siang itu, Surakarta dan sekitarnya terasa sangat terik. Namun, hal itu tidak mengendurkan niat saya dan beberapa kawan untuk berkendara menyusuri Jalan Raya Solo-Purwodadi ke arah utara. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari pusat Kota Surakarta, kami tiba di daerah penting dalam sejarah penelitian manusia dan kehidupan prasejarah di Indonesia, Sangiran.
Beberapa temuan penting yang melambungkan nama Sangiran di antaranya fosil Homo erectus, fosil hewan purba, dan alat-alat bantu yang terbuat dari tulang dan batu.
Wilayah Sangiran sendiri terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Sragen dan Karanganyar. Tak buang waktu kami segera menuju ke Museum Manusia Purba Sangiran Klaster Krikilan. Klaster Krikilan yang kami tuju itu merupakan satu dari lima klaster museum yang tersebar di sekitar wilayah Sangiran. Selain Klaster Krikilan, ada pula Klaster Dayu, Bukuran, Ngebung, dan Manyarejo.
Klaster Krikilan merupakan museum yang berfungsi sebagai visitor center yang merangkum kekayaan temuan kehidupan purba di Sangiran. Ia adalah museum yang pertama kali dibangun di antara lima klaster museum di Sangiran.
Lantas, bagaimana mulanya Sangiran mengemuka sebagai salah satu situs penting bagi riset evolusi manusia purba, khususnya Homo erectus?
Dari Wajak Sampai Sangiran
Kajian soal tinggalan fosil manusia purba di Indonesia bermula sejak akhir abad ke-19. Itu diawali dengan temuan fosil di daerah Wajak pada 1889.
“Tiba-tiba pada tahun 1889, pada penggalian marmer di gua di perbukitan Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur, B.D. van Rietschoten menemukan sebuah tengkorak manusia (Wajak. 1),” ungkap arkeolog senior Truman Simanjuntak dalam Manusia-Manusia dan Peradaban Indonesia (2021, hlm. 36).
Setelah penemuan itu, temuan fosil manusia purba lain mulai banyak dilaporkan. Pada 1890, giliran Eugene Dubois yang menemukan fosil manusia purba di Kedungbrubus dekat Madiun. Setahun kemudian, Dubois kembali menemukan fosil manusia purba di Desa Trinil yang terletak di tepian Bengawan Solo dekat Ngawi.
Dubois menyebut temuannya dengan nama ilmiah Pithecantropus erectus.Temuan itu kemudian jadi fenomenal di masanya.
“Penemuan Dubois membuat para ahli berlomba-lomba melakukan penelitian di Indonesia, khususnya Jawa” tambah Simanjuntak.
Dari wilayah Jawa bagian timur, penelitian manusia purba bergeser ke wilayah bagian tengah, tepatnya daerah Sangiran. Sangiran telah diteliti sejak 1893, tapi penelitiannya tidak berlanjut.
“Pada musim panas tahun 1893, Dubois sempat datang ke Sangiran, setelah itu tidak ada lagi laporan mengenai penelitian di sana,” tulis Truman Simanjuntak, Bagyo Prasetyo, dan Retno Handini dalam Sangiran: Man, Culture, and Environment in Pleistocene Times (2001, hlm. 8).
Penelitian di Sangiran semarak kembali sejak Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald mengadakan penelitian di sana pada 1934. Dalam penelitiannya, von Koenigswald menemukan banyak alat serpih yang terkait dengan kehidupan purba di wilayah itu. Puncaknya, dua tahun kemudian, von Koenigswald menemukan fosil tempurung tengkorak Homo erectusyang kemudian diberi kode Sangiran II.
Usia fosil Sangiran II ditaksir mencapai 1,5 juta tahun. Selain bagian tempurung tengkorak, von Koenigswald juga menemukan bagian rahang Homo erectus. Von Koenigswald melakukan penelitian di Sangiran hingga dekade 1940-an.
Sempat terhenti akibat pendudukan Jepang, penelitian purbakala di Sangiran dilakukan kembali usai Kemerdekaan Indonesia.
Harry Widianto, seperti dilansir laman Kompas.id, menyebut bahwa Sangiran merupakan situs yang banyak sekali menyimpan potensi untuk dieksplorasi. Masih banyak data yang bisa diungkap dari situs legendaris ini.
“Yang baru dieksplorasi (di Sangiran) sekarang baru 40%. Sekitar 60% lainnya masih di perut bumi Sangiran,” pungkasnya.
Situs Pucung dan Penemuan Fosil Sangiran 17
Setelah puas berkeliling di Klaster Krikilan, saya dan kawan-kawan lalu mengunjungi Situs Pucung di dekat Klaster Dayu (masuk Kabupaten Karanganyar). Situs Pucung punya signifikansi ilmiah lantaran menjadi lokasi penemuan fosil Sangiran 17.
Sangiran 17 atau S17 atau Pithecanthropus VIII adalah fosil Homo erectus tipik. Ia merupakan jenis Homo erectus yang paling banyak di temukan di Indonesia. Ia juga merupakan tipe perkembangan lebih lanjut dari Homo erectusarkaik.
Fosil Sangiran 17 ditemukan oleh dua pemuda dari Dusun Pucung bernama Tukimin dan Towikromo pada 1969. Fosil Sangiran 17 ini kerap disebut sebagai temuan terbaik dari Sangiran. Ia punya signifikansi ilmiah lantaran merupakan fosil tengkorak Homo erectus tipik yang relatif lengkap dan utuh.
“Sangiran 17 memiliki dahi yang sangat datar, tulang kening menonjol, orbit mata persegi, pipi lebar menonjol, mulut menjorok ke depan, tengkorak pendek memanjang, morfologi tengkorak dengan superstruktur yang berat dan insersi otot-otot yang sangat berkembang yang menujukkan individu laki-laki dewasa,” jelas Harry Widianto dalam Indonesiadalam Arus Sejarah I, Prasejarah (2012, hlm. 84).
Saat ditemukan, ia masih memiliki 5 buah gigi yang tertanam di rahang atasnya. Itu menjadikannya fosil istimewa. Selain sebagai fosil Homo erectus tipik terlengkap di Asia Tenggara, Sangiran 17 juga menjadi acuan bagi rekonstruksi “wajah” Homo erectus yang kita kenal sekarang.
Situs Pucung—secara resmi disebut Situs Pucung Tanah Subur (PCTS)—yang menjadi lokasi penemuan Sangiran 17 itu tidak bisa dijangkau dengan kendaraan. Dari jalan desa terakhir, kami mesti berjalan kaki menyusuri tegalan dan hutan jati. Kami pun mesti melintasi sebuah sungai kecil sebelum sampai di tujuan.
Di ujung perjalanan, kami sampai di suatu bangunan sederhana yang berada tak jauh di pinggir sungai. Itulah Museum Nano Situs Pucung. Di bagian depannya, kami mendapati baliho yang berisi penjelasan singkat tentang riwayat Situs PCTS.
Secara geografis, Situs PCTS dan Museum Nano berada di sebelah tenggara Sangiran. Masuklah ke dalam museum kecil itu dan Anda akan menemukan beberapa dokumentasi kegiatan ekskavasi yang dilakukan beberapa tahun lalu. Museum Nano sendiri menyimpan beberapa potongan tulang dan serpihan perkakas kehidupan dari zaman Prasejarah.
Sesuai namanya, memang tak banyak benda atau temuan arkeologis yang disimpan oleh Museum Nano. Temuan-temuan berukuran besar dari Situs Pucung kebanyakan disimpan di Museum Manusia Purba Klaster Dayu. Fosil asli Sangiran 17 pun tak disimpan di situ, melainkan di Museum Geologi Bandung.
Meski begitu, pengunjung masih bisa menengok jejak kegiatan penggalian arkeologis di sekitar Museum Nano. Terdapat kotak ekskavasi yang berada tak jauh dari lokasi Museum Nano berdiri. Di kotak ekskavasi itulah, para arkeolog dulu menemukan beberapa ragam fosil. Di antaranya ada fosil Stedogon sp dan hewan purba lain.
Jika Anda ingin merasai pengalaman “berburu” artefak arkeologis dan seketip petualangan ala Indiana Jones, bolehlah icip-icip berkunjung ke Situs Pucung.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi