tirto.id - Banyak bukti jejak kehidupan prasejarah di Indonesia diketahui melalui penemuan fosil manusia purba maupun hewan vertebrata. Temuan-temuan di Indonesia tersebut memberikan sumbangan besar untuk kemajuan ilmu paleontologi dan paleoantropologi di dunia.
Fosil kerangka hewan vertebrata dan manusia purba selama ini ditemukan menyebar di berbagai wilayah Indonesia. Namun, paling banyak memang ditemukan di Pulau Jawa.
Penelitian fosil manusia purba di Indonesia pertama kali dilakukan oleh B.D van Reitschotten pada tahun 1890 saat ia menemukan tengkorak manusia di daerah Wajak. Riset tentang manusia purba di Indonesia lantas dilanjutkan oleh Von Voenigswald di antara tahun 1931-1933.
Hingga kini, fosil manusia purba yang ditemukan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu meganthropus paleojavanicus, pithecanthropus, dan homo.
Di wilayah Jawa, contoh temuan sisa kehidupan prasejarah yang paling populer ialah fosil manusia purba jenis Homo Erectus Sangiran 17 dan Homo Erectus Skull IX yang berada di Desa Pucung dan Desa Tanjung, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Dikutip dari laman ITB, fosil tertua ditemukan pada formasi Sangiran yang diperkirakan hidup pada masa Plestosen awal (1,8-1,5 juta tahun lalu). Fosil manusia purba ini diberi nama Paranthropus (Meganthropus) Paleojavanicus.
Kemudian, fosil manusia purba yang diperkirakan hidup pada era Plestosen tengah (1 juta-500 ribu tahun lalu) bernama Pitechantropus Erectus. Fosil manusia purba ini ditemukan berada di lapisan Formasi Bapang dan Kabuh di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Selain contoh tersebut, masih banyak lagi temuan fosil di Indonesia. Mengutip keterangan di situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), terdapat 8 jenis manusia purba yang fosilnya sudah ditemukan di Indonesia.
Meganthropus Paleojavanicus
Manusia purba ini memiliki ciri rahang tegap bergeraham besar, tulang pipi tebal, kening menjorok ke depan, dengan kepala belakang yang menonjol. Manusia purba jenis ini belum memiliki tulang dagu, dan otot tengkuk cukup kuat.
Fosil Meganthropus Paleojavanicusyang sudah ditemukan berupa gigi, rahang, dan tengkorak. Ia ditemukan pertama kali oleh G.H.R von Koenigswald pada tahun 1936-1941. Fosil Meganthropus Paleojavanicusditemukan di Sangiran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Meganthropus paleojavanicus berarti manusia purba bertubuh besar dan tertua dari Jawa. Manusia purba ini diperkirakan hidup antara 2,5 juta sampai 1,25 juta tahun yang lalu.
Prof. Sartono Sastromidjojo berpendapat bahwa pada era permulaan masa Plestosen, Pulau Jawa dihuni oleh hominid spesimen Meganthropus paleojavanicus. Pendapat ini merujuk ke temuan Meganthropus yang ditemukan oleh von Koenigswald di awal 1940-an.
Pithecanthropus Mojokertensis
Sesuai namanya, fosil manusia purba jenis Pithecanthropus Mojokertensis ditemukan di Desa Perning, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Weidenreich dan G.H.R von Koenigswald menemukan fosil manusia purba ini pada tahun 1936. Diperkirakan, Pithecanthropus Mojokertensis hidup pada masa pleistosen awal, tengah, dan akhir, serta menyebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ciri dari manusia purba ini yaitu tinggi badan sekitar 165-180 cm, tegap, gigi kuat, tulang kening tebal menonjol lalu melebar sampai pelipis, belum punya tulang dagu, ada tulang yang menonjol di kepala belakang, dan volume otaknya diperkirakan 750-1.300 cc.
Pitechantropus Erectus
Fosil manusia purba jenis Pitechantropus Erectus ditemukan di lembah Bengawan Solo, Desa Trinil, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Penemuannya terjadi jauh sebelum fosil di Sangiran ditemukan oleh Koenigswald pada tahun 1934.
Penemunya adalah Eugene Dubois pada tahun 1891. Arti Pitechantropus Erectus adalah manusia kera yang berjalan tegak.
Ekskavasi yang telah dilakukan oleh Eugene Dubois, seorang dokter muda Belanda yang terobsesi untuk mencari mata rantai yang hilang (missing link) antara kera dan manusia, pada lapisan seri Kabuh yang ditoreh oleh aliran Bengawan Solo antara tahun 1890-1892, membawa penemuan ke sisa-sisa manusia purba yang sangat berharga bagi dunia pengetahuan.
Dalam ekskavasi ini Dubois menemukan sebuah atap tengkorak berbentuk pendek dan memanjang ke belakang dengan volume otak 900-an cc, sebuah femur (tulang paha) kiri yang menunjukkan bahwa pemiliknya telah berjalan tegak, dan sebuah gigi prageraham manusia. Dubois menduga fosil-fosil ini milik dari satu individu yang sama.
Pitechantropus Erectus selama ini dianggap sebagai spesies awal di tahap evolusi manusia. Fosil yang ditemukan Dubois menunjukkan Pitechantropus Erectus memiliki tinggi 160-180 cm, tetapi sedikit lebih kecil dari Pitechantropus Mojokertensis. Rahangnya menonjol ke depan, ada tonjolan kening di dahi, tidak punya dagu, hidung lebar, dan leher tegap, menjadi ciri-cirinya yang lain.
Pithecanthropus Soloensis
Fosil Pithecanthropus Soloensis ditemukan oleh G.H.R von Koenigswald, Ter Haar, dan Oppenoorth di Desa Ngandong, Jawa Tengah. Arti nama Pitechantropus Soloensis adalah manusia kera dari Solo. Ciri-cirinya: tengkorak lonjong tebal, dan padat, serta memiliki rongga mata cukup panjang.
Homo Wajakensis
Fosil manusia purba jenis Homo Wajakensisditemukan Van Rietschoten pada tahun 1889. Tempat penemuannya di Desa Wajak, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Manusia purba jenis Homo Wajakensis yang ditemukan di Desa Wajak ini adalah yang pertama di Asia. Ciri Homo Wajakensisadalah memiliki tulang tengkorak, rahang atas, dan rahang bawah, serta tulang paha dan tulang kening. Otaknya bervolume sekitar 1.630 cc. Mukanya terlihat datar dan lebar. Selain itu, manusia purba ini memiliki rahang padat dan gigi besar.
Berdasarkan temuan tulang pahanya, postur tubuh Homo Wajakensis laki-laki (W2) mencapai 173 cm. Manusia Wajak hidup antara 40.000-25.000 tahun yang lalu.
Homo Floresiensis
Fosil manusia purba Homo Floresiensis ditemukan di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Ciri-ciri dari Homo Floresiensis adalah memiliki tinggi satu meter, dahi sempit tidak menonjol, tengkorak kecil,dan tulang rahang menonjol.
Fosil Homo Floresiensis ditemukan di sebuah situs gua bukit karst di Flores, Kabupaten Manggarai, NTT, yang bernama Liang Bua. Karena tubuhnya mini, Homo Floresiensis kerap dijuluki manusia hobbit.
Penelitian di situs ini pertama kali dilakukan oleh Theodore Verhoeven, seorang pastor dari Belanda yang mengajar di Seminari Mataloko, Ngada, Flores Tengah. Riset di situs ini lantas dilanjutkan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Penemuan fosil manusia purba Homo Floresiensis terjadi pada 2003 dan sempat menggemparkan dunia arkeologi internasional. Situs Liang Bua diperkirakan berusia 60.000-100.000 tahun, dan alat baru Homo Floresiensis diduga sudah ada sejak 50.000-190.000 tahun yang lalu.
Homo Soloensis
Fosil manusia purba jenis Homo Soloensis ditemukan oleh Ter Haar, Oppenoorth, dan Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald pada tahun 1931-1933 di Desa Sangiran, Kabupaten Sragen. Diperkirakan manusia purba ini hidup pada 300-900 ribu tahun lalu.
Ciri yang terlihat adalah tinggi badan mencapai 210 cm, struktur tulang wajah tidak mirip dengan manusia kera, dan volume otaknya dari 1.000 cc sampai 1.300 cc.
Homo Sapiens
Homo sapiens ini mendapat sebutan manusia cerdas. Volume otaknya mencapai 1.350-1.450 cc. Tinggi badannya antara 130-210 cm, dengan berat badan 30-150 kg. Diperkirakan homo sapiens hidup sejak 25.000-40.000 tahun lalu. Di Indonesia, sudah ada beberapa lokasi situs penemuan fosil homo sapiens.
Homo erectus dan homo sapiens mempunyai morfologi yang berbeda. Kerangka Homo erectus lebih kekar dan kompak daripada Homo sapiens. Ini mengindikasikan, secara fisik, Homo sapiens lebih lemah dibanding Homo erectus.
Namun, biometrik Homo sapiens menunjukkan karakter yang lebih berevolutif dan lebih canggih daripada Homo erectus. Kapasitas otak homo sapiens jauh lebih besar. Segi-segi morfologi dan tingkatan kepurbaannya menunjukkan perbedaan yang nyata di antara dua spesies yang berada dalam satu genus Homo tersebut. Homo sapiens tampil sebagai spesies sangat tangguh dalam beradaptasi dengan iklim dan sekaligus menyebar di dunia dengan cepat.
Sayangnya, kemunculan Homo sapiens sebagai manusia modern di bumi masih jadi perdebatan di ilmu paleoantropologi. Kapan, di mana, dan bagaimana proses transformasi dari Homo erectus ke Homo sapiens belum terjawab secara utuh.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Addi M Idhom