tirto.id - Sejarah penerapan Demokrasi Pancasila di Indonesia dimulai sejak meredupnya Orde Lama lalu digantikan oleh Orde Baru. Lantas, apa pengertian Demokrasi Pancasila, prinsip-prinsip dianut, dan apa saja ciri-cirinya?
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata demos yang berarti "rakyat" dan kratos yang berarti "pemerintahan". Secara harfiah, demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Ajat Sudrajat melalui tulisan bertajuk "Demokrasi Pancasila dalam Perspektif Sejarah" (2015) mengungkapkan, dasar-dasar konstitusional demokrasi di Indonesia sudah ada dan berlaku jauh sebelum tahun 1965, tetapi istilah Demokrasi Pancasila itu baru dipopulerkan sesudah lahirnya Orde Baru setelah tahun 1966.
Pada hakikatnya, rumusan Demokrasi Pancasila tercantum dalam sila ke-4 Pancasila, yaitu "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."
Sejarah & Pengertian Demokrasi Pancasila
Masih dalam tulisannya, Ajat Sudrajat menyebut bahwa istilah Demokrasi Pancasila lahir sebagai reaksi terhadap Demokrasi Terpimpin di bawah pemerintahan Presiden Sukarno. Pengaruh Sukarno dan Orde Lama mulai meluruh usai terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965.
Saat Orde Baru lahir, Demokrasi Terpimpin mendapat penolakan keras. Suharto yang kemudian menjadi Presiden RI setelah Sukarno, dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967 menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya.
Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi harus selalu disertai
dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Nugroho Notosusanto merumuskan, Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab, yang mempersatukan Indonesia, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kendati begitu, dalam penerapannya selama era Orde Baru, Demokrasi Pancasila tidak berjalan sebagaiman yang didamba-dambakan. Suharto menjalankan
pemerintahan yang represif dan terkesan manipulatif.
Dalam sistem politik Orde Baru, tulis Ajat Sudrajat, jajaran militer yang tidak ikut memilih langsung diberi jatah wakil di DPR/MPR sebanyak 100 orang atau sekitar 20 persen.
Selain itu, mereka juga banyak menduduki jabatan strategis baik di kabinet, birokrasi, maupun kegiatan ekonomi. Pemerintahan Orde Baru yang banyak melibatkan militer berusaha membatasi ruang gerak partai politik maupun organisasi yang pro demokrasi.
Prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila
Dikutip dari buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (2014) terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, azas atau prinsip utama Demokrasi Pancasila adalah pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat.
Musyawarah berarti bahwa pengambilan keputusan dengan pembahasan bersama untuk menyelesaikan masalah bersama. Mufakat adalah hasil yang disetujui dari pembahasan bersama untuk membulatkan pendapat bersama.
Jadi, musyawarah mufakat berarti pengambilan keputusan berdasarkan kehendak (pendapat) orang banyak (rakyat) sehingga tercapai kebulatan pendapat bersama.
Musyawarah mufakat harus berpegang teguh pada hal-hal sebagai berikut:
- Musyawarah mufakat bersumberkan inti kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
- Pengambilan keputusan harus berdasarkan kehendak rakyat melalui hikmat kebijaksanaan.
- Cara mengemukakan hikmat kebijaksanaan harus berdasarkan akal sehat dan hati nurani luhur serta mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa serta kepentingan rakyat.
- Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan.
- Keputusan harus dilaksanakan secara jujur dan bertanggung jawab.
Terdapat 10 pilar atau prinsip demokrasi konstitusional Indonesia menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni sebagai berikut:
1. Demokrasi yang Berketuhanan Yang Maha Esa
Seluk beluk sistem serta perilaku dalam menyelenggarakan kenegaraan RI harus taat asas, konsisten, atau sesuai dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Demokrasi dengan Kecerdasan
Mengatur dan menyelenggarakan demokrasi menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu bukan dengan kekuatan naluri, kekuatan otot, atau kekuatan massa semata-mata. Pelaksanaan demokrasi itu justru lebih menuntut kecerdasan rohaniah, kecerdasan aqliyah, kecerdasan rasional, dan kecerdasan emosional.
3. Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat
Kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Secara prinsip, rakyat memiliki/memegang kedaulatan itu. Dalam batas-batas tertentu kedaulatan rakyat itu dipercayakan kepada wakil-wakil rakyat di MPR (DPR/DPD) dan DPRD.
4. Demokrasi dengan Rule of Law
Hal ini mempunyai empat makna penting. Pertama, kekuasaan negara Republik Indonesia harus mengandung, melindungi, serta mengembangkan kebenaran hukum (legal truth) bukan demokrasi ugal-ugalan, demokrasi dagelan, atau demokrasi manipulatif.
Kedua, kekuasaan negara memberikan keadilan hukum (legal justice) bukan demokrasi yang terbatas pada keadilan formal dan pura-pura.
Ketiga, kekuasaan negara menjamin kepastian hukum (legal security) bukan demokrasi yang membiarkan kesemrawutan atau anarki.
Keempat, kekuasaan negara mengembangkan manfaat atau kepentingan hukum (legal interest), seperti kedamaian dan pembangunan, bukan demokrasi yang justru mempopulerkan fitnah dan hujatan atau menciptakan perpecahan, permusuhan, dan kerusakan.
5. Demokrasi dengan Pemisahan Kekuasaan Negara
Demokrasi menurut UUD 1945 bukan saja mengakui kekuasaan negara Republik Indonesia yang tidak tak terbatas secara hukum, melainkan juga demokrasi itu dikuatkan dengan pembagian kekuasaan negara dan diserahkan kepada badan-badan negara yang bertanggung jawab.
Jadi, demokrasi menurut UUD 1945 mengenal semacam pembagian dan pemisahan kekuasaan (division and separation of power), dengan sistem pengawasan dan perimbangan (check and balances).
6. Demokrasi dengan Hak Asasi Manusia
Demokrasi menurut UUD 1945 mengakui hak asasi manusia yang tujuannya bukan saja menghormati hak-hak asasi manusia, melainkan terlebih-lebih untuk meningkatkan martabat dan derajat manusia seutuhnya.
7. Demokrasi dengan Pengadilan yang Merdeka
Demokrasi menurut UUD 1945 menghendaki diberlakukannya sistem pengadilan yang merdeka (independen) yang memberi peluang seluas-luasnya kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mencari dan menemukan hukum yang seadil-adilnya.
Di muka pengadilan yang merdeka penggugat dengan pengacaranya, penuntut umum dan terdakwa dengan pengacaranya mempunyai hak yang sama untuk mengajukan konsideran (pertimbangan), dalil-dalil, fakta-fakta, saksi, alat pembuktian, dan petitumnya.
8. Demokrasi dengan Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara, khususnya kekuasaan legislatif dan eksekutif di tingkat pusat, dan lebih khusus lagi pembatasan atas kekuasaan presiden.
UUD 1945 secara jelas memerintahkan dibentuknya daerah-daerah otonom pada provinsi dan kabupaten/kota.
Dengan peraturan pemerintah, daerah-daerah otonom itu dibangun dan disiapkan untuk mampu mengatur dan menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya sendiri yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
9. Demokrasi dengan Kemakmuran
Demokrasi bukan hanya soal kebebasan dan hak, bukan hanya soal kewajiban dan tanggung jawab, bukan pula hanya soal mengorganisir kedaulatan rakyat atau pembagian kekuasaan kenegaraan. Demokrasi itu bukan pula hanya soal otonomi daerah dan keadilan hukum.
Bersamaan dengan itu semua, demokrasi menurut UUD 1945 ternyata ditujukan untuk membangun negara kemakmuran (welfare state) oleh dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
10. Demokrasi yang berkeadilan Sosial
Demokrasi menurut UUD 1945 menggariskan keadilan sosial di antara berbagai kelompok, golongan, dan lapisan masyarakat. Tidak ada golongan, lapisan, kelompok, satuan, atau organisasi yang jadi anak emas, yang diberi berbagai keistimewaan atau hakhak khusus.
Ciri-ciri Demokrasi Pancasila
Pada dasarnya Demokrasi Pancasila memiliki kesamaan dengan demokrasi secara universal. Namun, terdapat ciri-ciri demokrasi Pancasila yang membedakan dengan demokrasi lainnya sebagai berikut:
- Penyelenggaraan pemerintahan berjalan sesuai dengan konstitusi yang berlaku.
- Dilakukan kegiatan Pemilihan Umum (Pemilu) secara berkesinambungan.
- Menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan melindungi hak masyarakat minoritas.
- Proses demokrasi dapat menjadi ajang kompetisi berbagai ide dan cara menyelesaikan masalah.
- Ide-ide yang paling baik bagi Indonesia akan diterima, bukan berdasarkan suara terbanyak.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Iswara N Raditya