Menuju konten utama
Hari Ganja Internasional 2021

Hari Ganja Sedunia: Sejarah Kode 420 & Alasan Dilarang di Indonesia

Sejarah Hari Ganja Internasional setiap tanggal 20 April kerap dikaitkan dengan kode 420.

Hari Ganja Sedunia: Sejarah Kode 420 & Alasan Dilarang di Indonesia
Polisi menunjukkan tersangka dan barang bukti tanaman ganja di Perum Wisma Lidah Kulon, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (4/3/2020). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.

tirto.id - Di Indonesia, ganja termasuk narkotika golongan I yang dilarang penyalahgunaannya. Di sisi lain, ada peringatan Hari Ganja Internasional setiap tanggal 20 April. Sejarah perayaan Hari Ganja Sedunia ini kerap dikaitkan dengan kode 420, apakah itu?

Sebutan umum untuk ganja adalah cannabis, namun sering pula disebut sebagai marijuana. Menurut Textbook of Forensic Medicine And Toxicology: Principles and Practice (2012), obat psikoaktif dari tanaman Cannabis digunakan terutama untuk tujuan medis, juga rekreasi.

Di sejumlah negara di dunia, penggunaan ganja atau marijuana mulai dilegalkan, ada yang diperbolehkan secara keseluruhan maupun dengan beberapa pertimbangan tertentu atau sebagian.

Perayaan Hari Ganja Sedunia kerap dikait-kaitkan dengan kode 420 yang merujuk pada bulan dan tanggal peringatannya, yakni bulan ke-4 (April) dan tanggal 20. Apakah memang benar demikian?

Beberapa Versi Asal-Usul Kode 420

Tulisan Olivia B. Waxman bertajuk “Here's the Real Reason We Associate 420 With Weed” dalam website Majalah TIME (19 April 2016) menelusuri asal-usul kode 420 di kalangan pengguna ganja, termasuk dalam perayaan Hari Ganja Internasional.

Salah satu versi yang muncul adalah bahwa 420 merupakan kode di internal aparat kepolisian untuk menunjukkan informasi bahwa ada pesta ganja yang sedang berlangsung dan menjadi target operasi.

Penerjemahan lain yang lebih liar bahkan meyakini bahwa 420 terinspirasi dari hari kelahiran pemimpin NAZI, Adolf Hitler. Diktator Jerman itu lahir pada 20 April 1889.

Ada pula yang menafsirkan 420 dari kutipan lagu Bob Dylan yang berbunyi "Rainy Day Women # 12 & 35". Menurut versi ini, 12 dikalikan dengan 35 sama dengan 420.

Akan tetapi, menurut Waxman, semua spekulasi tersebut salah.

Versi yang paling dapat dipercaya untuk menelusuri 420 adalah sebuah kisah mengenai geng Waldos pada 1971 di California, Amerika Serikat.

Geng Waldos beranggotakan 5 orang remaja dari SMA San Rafael, California, yakni Steve Capper, Dave Reddix, Jeffrey Noel, Larry Schwartz, dan Mark Gravich.

Kelima anak muda itu menggunakan angka 420 sebagai kode untuk berkumpul dan memakai ganja bersama-sama. Angka 420 adalah kode jam pertemuan mereka, yakni 16.20 atau pukul 4 sore lebih 20 menit.

Kode 420 itu pada akhirnya menjadi sinyal khusus yang populer di kalangan anak muda pengguna ganja di Amerika Serikat bahkan hingga beberapa puluh tahun kemudian.

Tahun 1991, atas andil seorang jurnalis bernama Steve Bloom, Majalah High Times mencetak dan menyebarkan brosur terkait kode 420 tersebut.

Segera sejak saat itu, 420 semakin dikenal di seluruh dunia sebagai kode untuk berpesta ganja alias mariyuana, bahkan dijadikan sebagai momen perayaan Hari Ganja Sedunia.

“Mereka ingin orang-orang di seluruh dunia berkumpul pada satu hari [20 April] setiap tahun dan secara kolektif merokok ganja pada saat yang sama,” sebut Bloom kepada Celebstoner.com pada 2015.

Mengapa Ganja Dilarang di Indonesia?

Meskipun Komisi Obat Narkotika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menghapus cannabis atau marijuana dari kategori obat paling berbahaya di dunia untuk keperluan medis, namun penyalahgunaan ganja di Indonesia tetap dilarang.

Dikutip dari laman Hukum Online, menurut Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Narkotika, ganja termasuk narkotika golongan I yang:

"Hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.”

Lebih tegas, mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Komjen Pol (Purn) Drs. Ahwil Luthan, mengatakan, “Ganja itu baik akar, daun, biji, bahkan yang sudah diekstrak tetap tidak diperbolehkan.”

Mengenai penggunaan ganja untuk medis, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Frans D. Suyatna, menjelaskan, kalau pun ada manfaat ganja sebagai obat, sebaiknya memakai jenis bahan lainnya dengan fungsi yang sama.

“Ganja sebagai obat hanya bersifat simtomatik bukan bersifat menyembuhkan, jadi lebih pada keinginan untuk menikmati euforia, halusinasi, yang disebut psikoaktif yang pada akhirnya mempengaruhi kejiwaan,” tandas Frans dilansir laman resmi BNN.

Baca juga artikel terkait TANAMAN GANJA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH