Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah 18 April Hari Peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA)

Sejarah mencatat, tanggal 18 April adalah hari peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955.

Sejarah 18 April Hari Peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA)
Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri menyaksikan pameran arsip Konferensi Asia Afrika (KAA) dalam rangkaian acara Pameran, Peluncuran Buku, dan Penyerahan Sertifikat "Memory of the World" (MoW) UNESCO 2017 di Kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Selasa (17/4/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Tanggal 18 April adalah hari peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA). Sejarah mencatat, KAA merupakan pertemuan negara-negara Asia-Afrika solidaritas dan persatuan pada 18-24 April 1955 di Bandung, Jawa Barat. Hasil KAA berupa 10 poin penting yakni Dasasila Bandung.

Dikutip dari laman resmi Asian Africa Museum, berakhirnya Perang Dunia II (PD II) pada 1945 bukanlah akhir dari polemik internasional. Belum meratanya kesetaraan antar bangsa-bangsa dunia, terutama negara-negara di Asia dan Afrika, menjadi persoalan penting yang harus ditemukan solusinya.

Sebagian besar negara di Asia dan Afrika merupakan bekas jajahan dari bangsa-bangsa Eropa maupun Amerika. Lebih dari itu, masih ada beberapa negara di Asia maupun Afrika yang belum memperoleh kemerdekaan.

Situasi semakin pelik lantaran terjadinya Perang Dingin antara Blok Barat (kapitalis) yang dimotori Amerika Serikat melawan Blok Timur (komunis) yang digawangi Uni Soviet, usai Perang Dunia II.

Latar belakang digelarnya KAA tidak terlepas dari fakta bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ketika itu belum mampu menuntaskan persoalan tersebut.

Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Sukarno, berinisiatif untuk menciptakan rasa solidaritas serta menjalin persatuan dengan dihelatnya KAA di Bandung.

Latar Belakang Konferensi Asia Afrika

Tanggal 25 April sampai 2 Mei 1954, Ali Sastroamidjojo yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia memenuhi undangan Perdana Menteri Ceylon (Sri Lanka), Sir John Kotelawala.

Dalam pertemuan tersebut, Ali Sastroamidjojo juga bertemu dengan beberapa pemimpin negara di Asia lainnya, juga sejumlah pemimpin bangsa-bangsa dari Afrika.

Dari sinilah tercetus gagasan untuk menghimpun suatu forum di antara negara-negara Asia dan Afrika. Indonesia diusulkan menjadi tuan rumah dalam pertemuan tersebut.

Pada 28-29 Desember 1954, para pemimpin negara-negara tersebut berkumpul di Bogor, Jawa Barat, untuk menyusun kerja sama yang sifatnya netral dan tidak memihak blok mana pun.

Indonesia menyiapkan Kota Bandung sebagai tempat digelarnya pertemuan yang diberi nama Konferensi Asia-Afrika itu. Tanggal 5 Januari 1955, Gubernur Jawa Barat saat itu, Samsi Hardjadinata, membentuk panitia persiapan KAA.

Samsi Hardjadinata beserta panitia bertugas untuk menyediakan akomodasi, transportasi, logistik, keamanan, penerangan, komunikasi, kesehatan, hiburan, dan lain-lain, untuk para perwakilan negara-negara peserta.

Selain itu, Indonesia juga membentuk Panitia Interdepartemental pada 11 Januari 1955. Bandung Indonesia menyediakan Hotel Preanger, Hotel Homman, dan 12 hotel lainnya, serta bungalow di Lembang, Ciumbeleut, dan Cipaganti, untuk tempat menginap para peserta selama KAA berlangsung

Tanggal 7 April 1955, Presiden Sukarno mengubah nama dua gedung di Bandung yang nantinya menjadi tempat KAA. Pertama adalah Gedung Dana Pensiun diubah menjadi Gedung Dwiwarna, lalu Gedung Concordia diganti nama menjadi Gedung Merdeka.

Negara Peserta dan Tokoh KAA

Ahmad Muslih dan kawan-kawan dalam buku ajar Ilmu Pengetahuan Sosial (2015) mengungkapkan, KAA diadakan sejak tanggal 18 hingga 24 April 1955.

Indonesia pun tercatat dalam sejarah sebagai pelopor sekaligus penyelenggara pertemuan pemimpin negara kawasan Asia dan Afrika. Ada 5 tokoh utama selaku pelopor KAA, yaitu:

  1. Ali Sastroamidjojo (Indonesia)
  2. Mohammad Ali Bogra (Pakistan)
  3. JawaharlalNehru (India)
  4. Sir John Kotelawala (Ceylon/Sri Lanka)
  5. U Nu (Burma/Myanmar)
Dilansir situs resmi Kementerian Luar Negeri, KAA diikuti oleh total 29 negara dari Asia maupun Afrika, di antaranya adalah Afganistan, Arab Saudi, Burma (Myanmar)

Ceylon (Sri Lanka), Cina, Ethiopia, India, Indonesia, Irak, Iran, Jepang, Kamboja, Laos, juga Lebanon.

Ada pula Liberia, Libya, Mesir, Nepal, Pakistan, Filipina, Sudan, Suriah, Thailand, Turki

Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara), Republik Vietnam (Vietnam Selatan), Yaman, Yordania, serta Siprus.

Sebagai catatan, Siprus yang kini menjadi bagian dari Eropa saat itu belum sepenuhnya merdeka. Sementara Turki juga belum diputuskan bergabung dengan Eropa.

Isi KAA & Pidato Ir. Sukarno

KAA dibuka oleh Ir. Sukarno selaku Presiden Indonesia. Dalam kesempatan itu, Bung Karno menyampaikan pidato pembukaan sebagai berikut:

"Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia Afrika tidak akan terjamin."

"Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian," tandas Presiden Sukarno.

KAA membuahkan hasil berupa 10 poin yang kemudian disebut sebagai Dasasila Bandung. Berikut ini isi lengkapnya:

Dasasila Bandung

  1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB.
  2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
  3. Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa besar maupun kecil.
  4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam negeri negara lain.
  5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri.
  6. Tidak mempergunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
  7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekuasaan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.
  8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hukum, ataupun lain-lain cara damai menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan yang sesuai dengan Piagam PBB.
  9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
  10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Baca juga artikel terkait KONFERENSI ASIA AFRIKA atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya