Menuju konten utama

Biografi Soekarno: Kisah Tragis Sukarno, Kesepian di Akhir Hidupnya

Biografi Soekarno yang mengalami kisah tragis di hari-hari terakhir hidupnya. Berikut selengkapnya.

Biografi Soekarno: Kisah Tragis Sukarno, Kesepian di Akhir Hidupnya
Sukarno. FOTO/ Istimewa

tirto.id - Soekarno atau akrab disapa Bung Karno adalah Presiden Republik Indonesia pertama yang lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901. Ia adalah ayah dari Presiden ke-5 sekaligus Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua DPR RI Puan Maharani.

Hingga saat ini, sosok Bung Karno seolah-olah tak selesai dibicarakan. Mulai dari sisi humor, drama sampai tragedi kehidupannya. Namun, yang tak kalah menarik adalah pesona sejarahnya.

Sukarno atau Bung Karno berperan penting dalam memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia seorang aktifis pergerakan yang berulangkali di penjara dan diasingkan. Dari Sukarno pula gagasan konsep Pancasila sebagai dasar negara Indonesia lahir. Namun menjelang senjakala hidupnya, Soekarno disingkirkan dengan tidak hormat.

Peter Carey, akademisi Inggris yang menghabiskan 40 tahun karier kesejarawanannya untuk meneliti Pangeran Diponegoro melihat, Bung Karno punya banyak kesamaan dengan Diponegoro.

“Saya merasa mereka punya semacam hubungan yang menarik, walaupun terpisah sekira seratus tahun. Mereka berdua punya beberapa persamaan yang membuat Sukarno tertarik pada Diponegoro,” kata pria lulusan Oxford University itu.

Menurut Carey, kesamaan itu adalah Sukarno dan Diponegoro sama-sama lahir di saat fajar. Bahkan, saat masih usia kanak-kanak, kedua tokoh besar ini sama-sama diramal akan menjadi pengganggu Belanda. Selain itu, keduanya juga punya leluhur non-Jawa: Bung Karno dari Bali dan Diponegoro dari Bima.

Sukarno dan Diponegoro menjadi pemimpin besar tapi bukan sekadar mengandalkan garis keturunannya. Carey bilang, Diponegoro memang lahir sebagai pangeran. Ia adalah anak dari sultan Yogyakarta Hamengkubuwana III. Tapi kapasitas kepemimpinannya diasah oleh eyang buyutnya di Tegalrejo.

Sementara Sukarno dikirim ke Dalem Pojok, Kediri, dari 1906 sampai 1908, kemudian ke Tulungagung. “Keduanya lahir di keraton dan di kota besar, tapi diasah di perdesaan,” tutur Peter.

Selain itu, kedua tokoh ini punya kemampuan dalam komunikator massa. Sukarno mahir pidato dan pandai memanfaatkan kisah wayang melalui bahasa sehari-hari untuk menggaet perhatian rakyat. Sedangkan Diponegoro pandai merangkul petani dan orang-orang desa untuk ikut berjuang bersamanya selama Perang Jawa berlangsung.

Biografi Soekarno: Dipenjara Berkali-kali

Sukarno sudah berjuang sejak dari usia 14 tahun sebagai anggota organisasi kepemudaan Jong Java ketika ia sekolah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya. Saat di HBS, Sukarno tinggal di rumah tokoh Sarekat Islam bernama Cokroaminoto.

Cokroaminoto adalah guru, bapak kos yang kelak menjadi mertuanya sendiri. Sebagaimana diketahui, Sukarno menikahi Oetari, anak Cokroaminoto, di usia 22 tahun. Usai dari HBS Surabaya, ia melanjutkan kuliah di jurusan teknik sipil Technische Hoogeschool (sekarang ITB) di Bandung ITB Bandung.

Di Bandung sekitar 1926, Sukarno mendirikan kelompok studi intelektual bernama Algemeene Studie Club (ASC). Setahun kemudian, ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Oleh karena pergerakannya, pada 29 Desember 1929 Sukarno dijebloskan ke dalam penjara Banceuy, sebelum akhirnya pindah ke Sukamiskin. Ia baru dibebaskan pada 31 Desember 1931.

Keluar dari penjara, Sukarno ikut dengan Partai Indonesia (Partindo) pada 1932. Lagi-lagi, ia ditangkap dan diasingkan ke Ende, Flores, tepatnya pada Agustus 1933 sampai sekitar tahun 1938. Tak cukup sampai di sana, Sukarno kemudian diasingkan lagi oleh Kolonial ke Gading Cempaka, Bengkulu. Ia baru dibebaskan pada 1942 menjelang Jepang menduduki Indonesia.

Selama masa pendudukan Jepang, sejumlah tokoh pergerakan Indonesia, termasuk Soekarno, diwadahi dalam Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Di sidang BPUPKI pertama itulah pada 1 Juni 1945, Sukarno melahirkan gagasan konsep tentang dasar negara. Sukarno menamainya Pancasila. Belakangan, gagasan inilah yang dipakai menjadi dasar negara Indonesia.

Setelah BPUPKI dibubarkan dan diganti menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus 1945, Sukarno terpilih sebagai Ketua. PPKI inilah yang melahirkan Undang-Undang Dasar (UUD). Sampai di sini Indonesia sudah sampai pintu gerbang kemerdekaan.

Pada 16 Agustus 1945, Sukarno dan Mohammad Hatta diculik dan dibawa ke Rengasdengklok, Karawang. Di sana Sukarno terus didesak untuk memerdekakan Indonesia. Sukarno dan Hatta akhirnya setuju. Pagi di tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, akhirnya, Sukarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Saat itu Indonesia merdeka dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sementara pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara yang seksama. Hal ini terbukti dalam masa-masa awal kemerdekaan Indonesia.

Sehari setelah merdeka, PPKI kembali bersidang dengan agenda menetapkan Sukarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada 29 Agustus 1945 Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), cikal bakal Dewan Perwakilan Rakyat, mengukuhkan Sukarno dan Moh Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.

Tersisih dan Akhirnya Meninggal

Seperti dikutip dari artikel berjudul Hari-Hari Terakhir Sukarno: Sepi, Tersisih, Diasingkan Orde Barutulisan Fadrik Aziz Firdausi, Sukarno mulai kehilangan kendali penuh atas politik sejak peristiwa G30S.

Setelah PKI dan semua onderbouw-nya disikat habis, politik keseimbangan yang Soekarno mainkan sejak 1960 runtuh dan Angkatan Darat menjadi tak terbendung. Jenderal Soeharto perlahan-lahan mengambil alih panggung dan menyisihkan Sukarno.

Kemudian, Sukarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966. Esoknya Soeharto membubarkan PKI dan pada 18 Maret menangkap 15 menteri loyalis Sukarno.

Lalu pada 27 Maret, Sukarno dengan sangat terpaksa mengumumkan kabinet baru bentukan Soeharto. Setelah segala kewenangannya dipereteli, Sukarno diperlakukan tak lebih sebagai tukang teken dokumen.

John D. Legge dalam Sukarno: Sebuah Biografi Politik (1996) menyebut itulah tengara kematian karier politik Sukarno. Selanjutnya Soeharto yang pegang kendali dan mulai menjalankan kebijakan-kebijakan yang sebagian besar bertolak belakang dengan kebijakan Sukarno. Ia bahkan dibatasi berbicara di hadapan publik.

"'Saya diam dalam seribu bahasa,' katanya ketika melihat kekuasaannya mulai berangsur-angsur diambil dari tangannya, sedangkan ia sangat ingin menyatakan pendapatnya," tulis Legge (hlm. 464).

Sukarno bukannya tak berbuat apa-apa. Pada 22 Juni 1966, di hadapan MPRS, ia menyampaikan pidato pertanggungjawaban selama jadi presiden dan soal Peristiwa G30S. Pidato berjudul Nawaksara itu ditolak MPRS.

Sukarno lalu menyampaikan Pelengkap Nawaksara pada 10 Januari 1967 yang lagi-lagi ditolak MPRS. Itu adalah usaha terakhirnya untuk mempertahankan diri dan ia kalah. Pada 12 Maret 1967 MPRS mengumumkan secara resmi pencabutan mandat Sukarno sebagai presiden dan kemudian menunjuk Soeharto sebagai pejabat presiden.

Meski Soeharto baru dilantik jadi presiden betulan setahun kemudian, jelas bahwa Sukarno kini bukanlah siapa-siapa. Tak lagi punya kuasa, dunia Sukarno seperti dijungkirbalikkan. Atas perintah Soeharto, Sukarno dan keluarganya diultimatum untuk angkat kaki dari Istana Merdeka dan Istana Bogor sebelum 17 Agustus 1967.

Statusnya kini adalah tahanan Orde Baru. Mulanya ia ditahan di rumahnya di daerah Batu Tulis, Bogor, lalu dipindahkan ke Wisma Yasoo, Jakarta pada 1969. Penahanan itu rupanya berefek buruk bagi kesehatan Sukarno. Ini karena tim dokter kepresidenan sebelumnya, yang tahu detail soal kondisi medis Bung Karno, telah dibubarkan.

Padahal Sukarno diketahui mengidap sakit ginjal parah. Ginjal kanannya sudah mati, sedangkan ginjal kiri hanya berfungsi 25 persen. Lain itu, ia juga mengidap sakit jantung dan darah tinggi. Sejak ditahan, diagnosis baru muncul: rematik dan gejala katarak.

Dalam kondisi demikian, ia pun masih harus menjalani interogasi dari Kopkamtib soal keterlibatannya dalam G30S. Tapi yang paling tragis dari Sukarno kini adalah kenyataan bahwa ia harus menghadapi semua itu nyaris sendirian. Ia dijaga demikian ketat dan diputus dari dunia luar. Bahkan anak-anak dan istrinya harus dapat ijin khusus untuk sekadar menemuinya—itu pun dengan waktu terbatas.

“Sampai akhirnya Bung Karno terkena depresi. Setiap hari hanya duduk sambil termenung. Malah kadang-kadang ngomong sendirian. Memorinya berubah, kesehatannya terus-menerus semakin merosot,” kenang Ketua Tim Dokter Kepresidenan yang merawat Bung Karno, Mahar Mardjono, sebagaimana dikutip Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2011: 80).

Pada 6 Juni 1970 Sukarno merayakan ulang tahunnya yang ke-69. Kelima anaknya dari Fatmawati serta Hartini dan dua anaknya, Bayu dan Taufan, hadir di Wisma Yasoo di hari bahagia itu. Tak ada karangan bunga, ucapan selamat, atau hadiah-hadiah sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Yang ada hanyalah Sukarno yang semakin ringkih digerogoti penyakit dan depresi.

Tak ada yang menyangka itu adalah ulang tahun terakhir Sukarno. Pada 11 Juni Sukarno dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto karena kondisi tubuhnya memburuk.

“Sukarno terbaring lemah di sebuah ruangan yang terletak di ujung rumah sakit, bercat kelabu. Untuk mencapai kamar itu harus melalui beberapa koridor yang dijaga militer dengan persenjataan lengkap,” tulis Peter Kasenda dalam Hari-hari Terakhir Sukarno (2013: 230).

Setelah menjelang tengah malam ia koma. Keesokan paginya, 21 Juni 1970 Sukarno meninggal dunia.

Karir Soekarno
  • Arsitek Arsitek (1926-1942)
  • Penasehat Militer Penasehat Militer Jepang (3A, POETERA, BPUPKI) (1942-1945)
  • Presiden RI (1945-1967)
Pendidikan Soekarno
  • Sekolah Menengah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya (1915-1920)
  • Sekolah Dasar di Europeesche Lagere School (ELS) Mojokerto (1908-1915)
  • Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung) (1920-1926)

Baca juga artikel terkait SUKARNO atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Politik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Yulaika Ramadhani