tirto.id - Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei (beri aku nasi goreng dengan omelet)
Wieteke van Dort alias Tante Lien bernyanyi sambil menunjukkan seporsi nasi goreng di atas meja kepada para tamu yang berkumpul di rumahnya. Ia lalu mengangkat kedua tangannya sambil memegang kerupuk.
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij (dengan sambal dan kerupuk dan segelas bir)
Mengenakan kebaya berkelir biru dan rok kain jarik, tak luput sanggul di kepalanya, Tante Lien mengenalkan berbagai penganan khas Indonesia. Mulai dari lontong, sate, terasi, serundeng, bandeng, tahu petis, kue lapis, onde-onde, bakpao, ketan, hingga gula jawa.
Lagu berjudul "Geef Mij Maar Nasi Goreng" ini dibawakan Tante Lien dalam acara televisi The Late Late Lien Show yang ditayangkan di Belanda pada 1980. Lirik lagu yang digubah Tante Lien pada 1977 ini menggambarkan kerinduannya terhadap Indonesia, khususnya Surabaya, tempat kelahirannya.
Tante Lien merupakan salah satu karakter paling sukses yang diperankan oleh perempuan bernama lengkap Louisa Johanna Theodora Wieteke van Dort. Dalam acara televisi itu, ia mengundang para tamu untuk berkumpul di rumahnya, menghidangkan makanan Indonesia, dan bernostalgia tentang masa lalu di Hindia Belanda. Ia dan banyak orang Belanda dalam acara televisi ini lahir di Indonesia, Hindia Belanda kala itu.
The Late Late Lien Show menjadi satu-satunya acara televisi yang menampilkan budaya Indonesia di Belanda. Program televisi yang tayang pada 1979-1988 ini juga memperkenalkan banyak seniman Indonesia kepada penonton di Belanda, di antaranya pasangan selebritis Rima Melati dan Frans Tumbuan.
Dalam salah satu cuplikan acara televisi tersebut, Tante Lien dan Rima Melati menyanyikan lagu "Ayo Mama" yang berasal dari daerah Maluku.
Ayo mama, jangan mama marah beta
Dia cuma, dia cuma cium beta
Ayo mama, jangan mama marah beta
Lah orang muda punya biasa
Kalau ada sumur di ladang
bolehkah aku menumpang mandi
Kalau ada umurku panjang
bolehlah kita berjumpa lagi
Kala itu, Rima Melati mendapatkan perhatian dari warga Negeri Kincir Angin karena turut membintangi film Max Havelaar of de koffieveilingen der Nederlandsche handelsmaatschappij yang tayang pada 1976.
Tante Lien juga pernah membawakan lagu berjudul "Kerontjong Kemajoran" bersama Guus Becker, biduan keroncong kelahiran Batavia/Jakarta. Lalu lagu "Sepanjang Jalan Kenangan" yang ia tembangkan bersama Willem Nijholt, penyanyi kelahiran Gombong, Jawa Tengah. Ia pun menyanyikan lagu "Boelan Pakai Pajung", "Ajoe Tidur", "Nina Bobo", dan lagu-lagu Indonesia lainnya dengan irama keroncong.
Den Haag yang Malang
Lahir di Surabaya pada 16 Mei 1943, Wieteke van Dort kerap mengangkat kisah masa kecilnya di Indonesia dalam karakter dan lagu-lagu yang dinyanyikannya. Ia pernah tinggal bersama keluarganya di Embongan, Surabaya. Kawasan elite tersebut dihuni orang-orang Eropa pada era kolonial Hindia Belanda.
Pada usia 14 tahun, ia dan keluarganya berlibur ke Belanda, tetapi tidak bisa kembali ke Indonesia. Musababnya, Presiden Soekarno mengusir orang-orang Belanda dan menasionalisasi perusahaan asing secara besar-besaran pada Desember 1957.
Pemerintah Indonesia saat itu turut menasionalisasi perkebunan karet milik ayah tirinya. Keluarganya tidak memiliki apa-apa lagi di Indonesia dan harus membangun kehidupan baru di kota pusat pemerintahan Belanda, Den Haag.
"Ik woon hier nog maar net, want ik kom uit Indië (saya baru saja pindah ke sini karena saya dari Hindia Belanda)." Ia mengatakannya sepanjang waktu selama bertahun-tahun tinggal di Den Haag. Ini melambangkan kerinduan yang dideranya terhadap Indonesia. Nostalgia untuk Indonesia yang membentuk kehidupan dan kariernya.
Baginya, perasaan itu sulit dijelaskan untuk orang lain. "De geuren, de klanken, de Indische mensen, je moet het meegemaakt hebben om het te begrijpen (Baunya, suaranya, orang-orang Indonesia, anda harus mengalami untuk memahaminya)," ujarnya dalam sebuah wawancara di Radio West pada 2022.
Wieteke van Dort paling dikenal karena alter egonya Tante Lien, perempuan tua yang menggunakan pakaian khas dan aksen Indonesia yang terlihat selalu kedinginan. Karakter yang selalu menyapa penonton dengan "orang-orang terkasih" ini meledak bak sebuah bom, bahkan terkenal hingga Tanah Air.
Lewat karakter dan lagu-lagunya, ia memperkenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat Belanda. Ini membantu mengurangi stereotipe dan memperkaya pemahaman tentang Indonesia.
Kehidupannya mencerminkan perjalanan budaya dan sejarah antara dua negara, yakni Indonesia dan Belanda. Hal ini tergambar dalam lagu berjudul "Arm Den Haag (Den Haag yang Malang)" dengan lirik oleh Willem Wilmink dan musik oleh Harry Bannink. Lagu ini mengungkapkan kesedihan dan kerinduan banyak orang Belanda yang pernah tinggal di Indonesia.
Kalimat pembuka lagu tersebut diterjemahkan menjadi “Den Haag yang malang, kau tak mungkin melupakannya, bunyi keroncong dan gamelan. Di restoran Indonesia, percakapan berdengung dari segala penjuru: tempo doeloe, tempo doeloe di negeri nun jauh di sana.”
“Oh, kasihan, sudah berakhir. Kasihan, sudah berakhir. Den Haag, Den Haag, kau adalah janda Hindia Belanda.” Begitu terjemahan dari penggalan refrain lagu tersebut.
Wieteke van Dort menerima penghargaan Ksatria Bintang Jasa Oranye-Nassau atas kontribusinya dalam memperkenalkan budaya Indonesia melalui karya-karyanya. Penghargaan ini diberikan oleh Ratu Beatrix pada 29 April 1999.
Dia juga menerima Silver Harp dari Conamus Foundation dan penghargaan Edison untuk “Noise Parrot Record” atas prestasinya di bidang radio dan televisi.
Selain itu, ia juga memperoleh penghargaan atas karakter Tante Lien yang populer hingga kini. Pada 2007, Wieteke van Dort memperoleh Medali Perak Merit dari Menteri Pertahanan Belanda.
Seniman Sejati hingga Akhir Hayat
Selain dalam The Late Late Lien Show, ia juga muncul di televisi dalam program anak-anak seperti Oebele dan J.J. de Bom--sebelumnya De Kindervriend. Juga bermain di De Stratemakeropzeeshow dan Het Klokhuis.
Wieteke van Dort menjadi pengisi suara untuk De Efteling--sampai hari ini suaranya dapat didengar di taman dongeng sebagai penyihir Hansel and Gretel. Ia juga menjadi narator untuk dongeng Little Red Riding Hood, The Red Shoes, Rapunzel, The Well of Mother Holle, dan The Six Swans. Di luar dongeng, suaranya dapat didengar di Loerhuys van het Volk van Laaf.
Ia pernah menjadi pemain kabaret di ABC Cabaret of Wim Kan dan Corry Vonk yang tampil di Kurhaus, Scheveningen.
Selain seni peran dan tarik suara, ia sempat mengikuti kursus menggambar di Vrije Academie dan belajar sablon dengan seniman Georg Handler. Ia pernah menunjukkan karyanya di Biennale International Seniman Muda Seni Visual ke-4 di New York dan Grand Prix Seni Kontemporer ke-12 di Monte Carlo pada tahun 1977.
Di kemudian hari, Wieteke van Dort mulai melukis dan menggambar porselen. Dia telah memamerkannya secara teratur.
Saat usia delapan puluh tahun, ia membintangi film Verliefd op Bali (2024). Ia berada di Indonesia pada musim panas 2023 untuk syuting film terakhirnya tersebut. Setelah itu, dia berjuang dengan kesehatan yang memburuk selama berbulan-bulan.
Pada Mei 2024, Wieteke van Dort didiagnosis menderita kanker metastasis--fase saat kanker menyebar melalui tempat awalnya ke area lain di tubuh penderita.
"Saya dirawat oleh dokter progresif dan terampil, yang akan melakukan segala yang mereka bisa untuk menyelamatkan hidup saya. Dan saya percaya itu," ujarnya pada Privé saat itu.
Wieteke van Dort meninggal dunia pada Senin, 15 Juli 2024, di Den Haag, pada usia 81 tahun. Pemakamannya berlangsung pada Selasa sore.
Ia wafat beberapa hari setelah suaminya, Theo Moody, meninggal dunia. Ia tidak bisa mengikuti upacara pemakaman Moody karena kondisi kesehatannya. Moody yang telah dinikahinya selama 55 tahun itu meninggal dunia setelah berjuang melawan sakit komplikasi usus dan pneumonia sejak 2023.
Wieteke van Dort dan Theo Moody meninggalkan tiga anak.
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Irfan Teguh Pribadi