tirto.id - Gangguan gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang bergerilya dan menakutkan di Jawa Barat tentu saja masalah besar bagi Panglima Siliwangi di Jawa Barat. Panglima Siliwangi ketika itu, Kolonel Alexander Evert Kawilarang, teringat idenya bersama almarhum Slamet Riyadi untuk mendirikan pasukan khusus.
Dalam autobiografinya, AE Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih (1989), Kawilarang menulis: “Untuk melawan gerakan-gerakan gerombolan yang mobil itu, saya perhitungkan, perlu dibentuk suatu kesatuan yang terlatih bertempur, secara kesatuan kecil sampai dengan dua orang saja dan all round. Dan itu harus diciptakan, diadakan.”
Indonesia, menurutnya, harus punya pasukan khusus. Dia memulai dari kesatuan yang dipimpinnya dahulu.
Kawilarang beruntung. Orang yang cocok untuk melatih pasukan impiannya tinggal di Lembang, dekat dengan markas Divisi Siliwangi. Orang itu adalah bekas perwira pasukan khusus Belanda yang sudah menjadi warga Indonesia. Ia seorang bule bernama Mohammad Idjon Janbi.
Sekitar 1952, Kawilarang memanggil laki-laki yang usianya 5 tahun lebih tua darinya itu. Laki-laki bule tersebut datang dengan pakaian khaki drill ala tentara pula. Kawilarang menjelaskan niatnya untuk membentuk satu kompi pasukan komando. Kawilarang meminta Idjon sudi menjadi pelatihnya. Permintaan itu disambut jawaban iya. Idjon pun beroleh pangkat mayor.
Bermula dari Divisi Siliwangi
Pada 16 April 1952 Kesatuan Komando (Kesko) terbentuk di Divisi Siliwangi. Setelah pasukan Kesko lulus pelatihan, setiap anggotanya memakai badge bertuliskan "Komando" di lengan kirinya. Pasukan ini diujicobakan pada 1953 untuk menghalau DI/TII di Jawa Barat. Kawilarang cukup puas dengan aksi pasukan di Gunung Rakutak.
Beberapa anggota awal pasukan khusus itu adalah mantan anggota Korps Speciale Troepen (KST) Belanda, salah satunya yakni Nicholas Sulu. Ia belakangan terjebak dalam kemelut Permesta di Sulawesi Utara. Jadi, tak hanya Idjon saja bekas tentara Belanda yang jadi bagian dari pasukan proto-Kopassus ini.
Menurut Kawilarang, semula Idjon hanya dibantu Letnan Hang Haryono dan Sersan Mayor Trisno Yuwono. Keduanya pernah mengikuti Combat Intelligence dan memiliki wing penerjun. Nama terakhir belakangan terkenal sebagai penulis novel—Laki-laki dan Mesiu serta Pagar Kawat Berduri—yang doyan terjun payung. Dua pelatih itu dirasa kurang seiring berkembangnya pasukan khusus tersebut. Akhirnya, tenaga pelatih ekstra diambil dari Sekolah Kader Infanteri dan Depot Batalyon.
Pasukan ini bersalin nama berkali-kali. Dari Kesko Siliwangi, pasukan itu lalu berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD) pada 18 Maret 1953, lalu berganti lagi menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada 22 Juli 1955. Nama Pusat Pasukan Khusus AD (Puspassus AD) dan Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassanda) juga pernah dipakai pasukan yang sekarang dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus ini.
Ketika pasukan itu sudah berkompi-kompi jumlahnya, Idjon Djanbi sempat menjadi komandan. Dia menjabat sampai 1956. Di masa bertugas, Idjon sempat terluka dan digantikan wakilnya, Mayor R.E. Djailani. Setelah itu laki-laki yang bernama asli Rokus Bernadus Visser ini kembali jadi orang sipil yang dipekerjakan di Perkebunan Nusantara.
Bekas Supir Ratu Wilhelmina
Menurut catatan Ken Conboy dalam Kopassus: Innside Indonesia’s Special Forces (2003), Rokus Bernardus Visser adalah orang Belanda yang lahir pada 1915 sebagai anak petani bunga tulip sukses. Selepas kuliah, Visser muda membantu ayahnya berjualan bola lampu di London.
Setelah Belanda diduduki Jerman pada 1940 yang membuatnya tak bisa pulang, Visser bergabung dengan militer Belanda yang sedang mengungsi di Inggris. Setahun pertama di dinas militer, Visser menjadi sopir mobil Ratu Wilhelmina yang ikut mengungsi di Inggris juga. Pangkatnya ketika itu sersan.
Selepas dari posisi supir sang ratu, Visser masuk Pasukan Belanda ke-2 sebagai pembawa radio. Sempat pula dia mendapatkan latihan komando di Inggris. Pengalaman tempur penting Visser adalah didaratkan dengan glider ke Belanda yang sedang diduduki Jerman dalam Operasi Market Garden September 1944.
Pasukan Belanda ke-2 dimasukkan bersama Divisi Lintas Udara 82 Amerika Serikat. Dua bulan setelahnya, Visser digabungkan dengan pasukan Sekutu lain dan melakukan operasi pendaratan amfibi di Walcheren, sebuah kawasan pantai di Belanda. Di tahun 1945, dia mendapat promosi pangkat letnan dan dimasukkan ke Sekolah Pasukan Para di India.
Setelah Jepang kalah, Visser masuk ke Indonesia sebagai pasukan khusus Belanda pada Maret 1946. Atas kemampuannya, dia memimpin School voor Opleiding van Parachutisten di Jayapura, yang kala itu disebut Hollandia. Dia menempati bangunan bekas rumah sakit Amerika peninggalan pasukan Douglas MacArthur. Sekolah terjun payung itu kemudian pindah ke Cimahi. Di tahun 1947 pangkatnya sudah kapten.
Visser ternyata betah di Indonesia dan setelah Tentara Belanda angkat kaki, dia memilih tinggal di Indonesia. Bahkan, ia bercerai dengan istrinya yang orang Eropa. Visser kemudian tinggal di Pacet, Lembang, sebagai petani bunga. Dia juga menikahi perempuan Sunda dan memakai "nama Islam": Mochammad Idjon Janbi.
Idjon Djanbi meninggal di Yogyakarta pada 1 April 1977, tepat hari ini 42 tahun lalu.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 17 April 2017 dengan judul "Idjon Janbi, Bule Mualaf Pendiri Kopassus". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik,
Editor: Maulida Sri Handayani & Ivan Aulia Ahsan