Menuju konten utama
5 Desember 1957

Sejarah Sinterklas Hitam: Pengusiran Orang Belanda dari Indonesia

Gara-gara Irian Barat, Sukarno mengusir orang-orang Belanda. Mereka mengenang peristiwa itu sebagai Sinterklas Hitam.

Sejarah Sinterklas Hitam: Pengusiran Orang Belanda dari Indonesia
Ilustrasi Peristiwa "Sinterklas Hitam" 1957. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Kahar Tjandra adalah laki-laki yang berjasa menyebarluaskan obat luka bermerek Betadine. Bahkan hingga kini semua obat merah disebut Betadine. Kahar lahir di Padang pada 24 November 1929 ketika pemerintah kolonial masih berjaya. Seperti dicatat Agus Purwadianto dalam Kahar Tjandra: Dokter, Pengusaha dan Pengabdiannya (1994: 30), di zaman Hindia Belanda itu tiap tanggal 5 Desember dirayakan sebagai Hari Sinterklas bagi anak-anak. Kahar kecil tak ketinggalan merayakannya.

Wajar belaka bila Kahar Tjandra merayakan Hari Sinterklas yang biasa dirayakan orang-orang Belanda pengikut Kristus. Kahar adalah penganut Katolik, meski tidak tergolong alim. Setelah Belanda tidak lagi berkuasa di Indonesia, Hari Sinterklas ternyata masih dirayakan setidaknya hingga dekade 1950-an.

“Setiap 5 Desember masih dirayakan dengan membagi-bagi atau saling bertukar hadiah,” aku Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja (2008: 75).

Biasanya Hari Sinterklas 5 Desember itu dirayakan orang-orang Indonesia kelas menengah ke atas di Jakarta. Di SD Cikini, yang tidak jauh dari kawasan elite Menteng, tempat tinggal Firman pada awal 1950-an, para siswa juga merayakannya.

“Setiap tanggal 5 Desember adalah hari Sinterklas. Kami memasang sepatu masing-masing diisi rumput dan diletakkan di jendela,” tutur Amelia Yani dalam biografi ayahnya, Achmad Yani Tumbal Revolusi (1988: 74).

Kala itu Amelia Yani masih bocah yang bersekolah di SD Cikini dan pangkat bapaknya masih letnan kolonel.

“Kami percaya bahwa Sinterklas akan datang pada tengah malam melewati jendela dan mengirim hadiah banyak sekali untuk kami,” lanjut Amelia.

Keluarga Yani bukanlah keluarga Kristen, melainkan keluarga yang menganut agama Islam. Yani memang pernah belajar di AMS Christelijke (SMA Kristen) di Salemba. Salah satu kakak kelasnya adalah Tahi Bonar Simatupang (kelak menjadi Kepala Staf Angkatan Perang) yang beragama Kristen.

Orang tua Marini dan Japto Soerjosoemarno—yang pernah tinggal di Belanda—pun merayakan Hari Sinterklas tiap tahunnya. Dolly Zegeriu dan Soetardjo Soerjosoemarno, orang tua mereka, berjodoh di Belanda dan hidup di Indonesia. Soetardjo adalah seorang perwira menengah TNI ahli topografi. Begitu juga keluarga atasan Soetardjo, yakni Kolonel Abdul Haris Nasution. Istri Nasution adalah seorang indo dan ibu mertuanya orang Belanda.

Amarah Sukarno kepada Belanda

Pada 30 November 1957 Presiden Sukarno mendapat serangan granat ketika berkunjung di sekolah milik Perguruan Cikini (Percik). Dia selamat dalam peristiwa itu. Meski selamat, berhari-hari setelah peristiwa tersebut, hal buruk menimpanya. Sukarno dibikin marah oleh ditolaknya Resolusi Indonesia soal Irian Barat pada Sidang Umum PBB. Belanda terus menunda penyerahan Irian Barat sejak 1950.

Bentuk amarah pihak Indonesia, seperti dicatat Hilde Janssen dalam Tanah Air Baru, Indonesia (2016: 156), yang kemudian terlihat adalah: buruh-buruh sayap kiri melumpuhkan perusahaan-perusahaan Belanda; pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan milik Belanda diduduki; kapal-kapal milik KPM ditahan; izin mendarat pesawat KLM dicabut; koran-koran berbahasa Belanda hilang dari peredaran. Dengan kata lain, pemerintah RI melakukan nasionalisasi besar-besaran terhadap aset-aset milik Belanda.

Maka di Hari Sinterklas 5 Desember 1957, tepat hari ini 62 tahun lalu, sebagaimana ditulis Hilde Janssen, “kedutaan dan konsulat [Belanda] ditutup, dan rencana evakuasi dipersiapkan di mana-mana. Bagi banyak orang Belanda di Indonesia, pesta perayaan Sinterklas sudah hancur.”

Tradisi tukar kado ala Belanda pun jadi tak menyenangkan lagi pada akhir tahun itu. Inilah yang kemudian dikenang sebagai Peristiwa Sinterklas Hitam.

Infografik Mozaik Peristiwa Sinterklas Hitam

Infografik Mozaik Peristiwa Sinterklas Hitam. tirto.id/Nauval

Kerinduan Mereka yang Terusir

Banyak dari orang-orang yang terusir itu tidak pernah merasakan tinggal di Belanda. Di antara mereka adalah bocah-bocah yang tidak paham politik ketika Hari Sinterklas diharamkan Sukarno yang sedang benci-bencinya kepada Belanda.

Louisa Johanna Theodora van Dort salah satu dari mereka. Waktu itu dia baru saja lulus SD dan akan masuk ke sekolah menengah pada 1957. Namun gadis 14 tahun kelahiran Surabaya itu tak bisa bersekolah di Indonesia lagi. Sebagai orang berdarah Belanda, dia dipaksa ikut mengungsi ke negeri asalnya. Sekitar dua dekade setelah Sinterklas Hitam itu, Theodora sudah dewasa dan menjadi penyanyi keroncong dengan nama panggung Wieteke van Dort.

“Saat kami tiba dari Indonesia, kami tidak pernah tahu bahwa Holland (Belanda) begitu dingin. Yang paling buruk adalah makanannya, lebih buruk dari makanan yang kami dapat selama di perjalanan,” dendang Wieteke van Dort dalam lagunya yang kesohor, "Geef Mij Maar Nasi Goreng".

Sebagai orang yang terbiasa dengan hawa tropis dan makanan Indonesia, Wieteke belakangan rindu dengan Indonesia. Dalam kerinduannya, terngiang rasanya lontong, sate babi, serundeng, bandeng, tahu petis, kue lapis, onde-onde, atau bakpao. Keroncong membuatnya dekat dengan Indonesia, yang juga tanah kelahirannya.

Selain keluarga van Dort, salah satu famili yang angkat kaki dari Indonesia di masa Sinterklas Hitam adalah keluarga Tielman. Nyonya Flora Laurentine Hess dan suaminya, bekas kapten KNIL Herman Dirk Tielman, juga anak-anak mereka: Reginald (Reggy), Ponthon, Andy, Laurance (Lou Lou), dan Janette Loraine, hijrah ke Breda.

Anak-anak Tielman itu belakangan sohor berkat band mereka yang mengusung Indie Rock, The Tielman Brothers. Andy dikenal karena permainan gitarnya yang tidak biasa pada awal 1960-an. Mereka kerap tampil di televisi Belanda. Seperti Wieteke, anak-anak Tielman itu kadang menyanyikan lagu-lagu bernuansa Indonesia.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan