tirto.id - Di kota pusat pemerintahan Kerajaan Belanda, Den Haag, setiap tahun sekali diadakan Pasar Malam yang saat ini dikenal sebagai Festival Tong Tong. Untuk tahun ini, salah satu festival terbesar di Belanda tersebut diselenggarakan pada 28 Mei hingga 5 Juni 2016. Festival ini unik karena menyajikan beragam kebudayaan dari luar Belanda, termasuk dari bekas koloni Belanda, Indonesia.
Festival Tong Tong mulai diadakan sejak 1959. Namun, nama Tong Tong belum dipakai ketika awal-awal penyelenggaraan. Orang menyebutnya Pasar Malam saja. Sejak 2009, mulai disebut sebagai Festival Tongtong. Semula, Pasar Malam ini diadakan untuk menggalang dana bagi Indische Kunst Kring Tong Tong (Lembaga Kebudayaan Hindia). Festival ini tak sebenarnya tak hanya melibatkan kebudayaan Indonesia tapi juga Asia.
Ada yang menyebut, Festival Tong Tong ini didukung juga oleh orang-orang Indo Belanda yang baru datang dari Indonesia pada 1959. Konsep acara ini konon meniru Festival Pasar Gambir Jakarta yang belakangan jadi Pekan Raya Jakarta. Tak hanya makanan, festival ini juga mempertontonkan seni pertunjukan, sastra dan tentu saja kerajinan tangan Indonesia.
Festival Tong Tong mampu menyedot perhatian puluhan ribu orang di Negeri Belanda ini. Di tahun 2015, menurut koran The Telegraph edisi 28 Mei 2015, selama dua belas hari, Festival Tong Tong telah menarik 100 ribu pengunjung.
Setelah Sinterklas Hitam
Eksodus besar-besaran orang Belanda dan Indo dari Indonesi ke Belanda terjadi beberapa tahun sebelum Pasar Malam pertama kali diselenggarakan. Sejak 5 Desember 1957, sentimen Anti Belanda dikorbankan, sehingga banyak orang-orang Belanda yang dipulangkan ke negerinya. Kebencian pada orang-orang Belanda itu meledak sebelum Natal 1957. Sebagian orang-orang Belanda malang yang sudah nyaman di Indonesia menyebut masa-masa itu sebagai Sinterklas Hitam.
Mereka yang pergi ke Belanda, sebagian kemudian ada yang meraih sukses di dunia hiburan. Sebut saja anak-anak Indo dari pasangan Herman Tielman asal Kupang dengan Flora Lorine Hess yang keturunan Jerman: Reggy, Andy, Ponthon, Loulou. Belakangan terkenal dengan nama Tielmans Brothers. Daniel Sahuleka juga masih bocah ketika dibawa orangtuanya ke Belanda. Belakangan, Daniel dikenal sebagai penyanyi pop terkenal.
Begitu pun Louisa Johanna Theodora van Dort alias Wieteke van Dort alias Tante Lien. Dia masih 14 tahun ketika ikut liburan bersama keluarganya ke Belanda di tahun 1957. Tante Lien yang sempat sekolah di Surabaya ini tak bisa kembali ke Indonesia lagi karena bisnis keluarganya ditutup.
Pengalamannya meninggalkan Indonesia dan kerinduannya pada masakan-masakan Indonesia dia tuangkan dalam sebuah lagu. Geef Mij Maar Nasi Goreng (beri aku nasi goreng) yang dia gubah itu masuk dapur rekaman dan populer sejak 1979. Lagu itu kemudian terkenal dan masih sering diputar sampai sekarang, bahkan di Indonesia.
“Saat kami tiba dari Indonesia. Kami tidak pernah tahu bahwa Holland (Belanda) begitu dingin. Yang paling buruk adalah makanannya, lebih buruk dari makanan yang kami dapat selama di perjalanan,” tulis Tante Lien dalam lagunya. Makanan di Belanda ketika itu tak cocok untuknya yang baru saja tiba dari Indonesia.
“Tidak ada lontong, sate babi, tidak ada rasa pedas tidak ada terasi, serundeng, bandeng, dan tahu petis,” lanjutnya pada bait berikutnya. Selera makan orang Belanda di Indonesia tak jauh beda dengan orang-orang bumiputra Indonesia sendiri.
Setelah mereka menetap di Negeri Belanda, makanan Indonesia tetap dirindukan. Tante Lien, Daniel dan Tielman bersaudara hanya segelintir orang yang pernah hidup di Indonesia dan tiba-tiba harus naik kapal ke Negeri Belanda karena suasana politik di Indonesia. Saat ini, banyak orang keturunan Indonesia, termasuk penggerak Republik Maluku Selatan, tinggal di Negeri Belanda.
Daniel Sahuleka, Tielmans Brother juga Tante Lien pernah ikut meramaikan Festival Tong Tong. Tak jarang, seniman-seniman asal Indonesia, yang bukan orang yang sejak di Belanda, juga sering meramaikan diundang meramaikan Festival Tong Tong. Ada Didik Nini Thowok, Wadjinah, Sundari Sukotjo, juga Anggun.
Bukan Pasar Malam Biasa
Setidaknya, ada 20 orang Indonesia yang berangkat mewakili Indonesia dalam Festival Tong Tong di Negeri Belanda di tahun 2016 ini. Dalam Festival Tong Tong, tidak hanya ada pameran budaya Indonesia dan Belanda, tetapi juga Tiongkok, Vietnam, Thailand, Malaysia, Polinesia, India dan lainnya. Acara pembukaan, dengan pemukulan kentongan, dilakukan di Paviliun Indonesia.
Paviliun Indonesia atau Indonesie Paviljoen merupakan area yang berisi seluruh produk dan jasa yang dijual dan ditawarkan berasal dari Indonesia. Nuansa Indonesia terlihat di sebagian besar ornamen dan jenis kegiatan: Indische tuin (taman Indonesia), Bengkel (workshop budaya/kesenian Indonesia).
Di Paviliun Indonesia, ditampilkan pertunjukan Indonesia seperti keroncong, pencak silat, gamelan Jawa, Indopop dan tari-tarian tradisional Indonesia. Untuk kuliner, demo masak makanan Indonesia bisa disaksikan di area Eetwijk.
Kentongan sendiri, yang menjadi tanda dibukanya acara merupakan alat komunikasi khas Indonesia. Artinya dalam Festival Tong Tong, Indonesia punya tempat yang cukup terhormat. Hal ini membuat pemerintah Indonesia tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dinas Pariwisata bahkan ikut mempromosikan tempat-tempat wisata di Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya dengan membuat ratusan brosur berbahasa Belanda.
Tahun ini, kementerian pariwisata mengirimkan delapan agen wisata yakni Jewel Indonesia, Antar Anda, Ravelino, Adventure Sumatera, PT Tri Jaya Wisata Permai, Dewi Wisata, 777 Maluku, Flabmor serta delegasi pariwisata dan kebudayaan dari dua Pemerintah Provinsi tingkat I yaitu Aceh dan Sumatera Barat. Daerah yang mempromosikan wisata dan kebudayaannya itu tiap tahun berganti-ganti.
Tak hanya seni pertunjukan dan makanan, sastra Indonesia pun hadir dalam Festival Tong Tong. Eka Kurniawan, novelis Indonesia yang sedang naik daun di luar negeri, juga mendapatkan undangan sebagai pembicara di Festival Tong Tong.
Ada wacana, novelnya Cantik Itu Luka, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, juga akan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Setelah makanan Indonesia, Festival Tong Tong mulai melirik sastra Indonesia, meski baru Eka Kurniawan. Salah satu alasannya, dalam Cantik Itu Luka, terdapat tokoh-tokoh Belanda kolonial dalam ceritanya. Selain Eka beberapa penulis Indonesia juga pernah diundang ke Festival Tong Tong. Leila S. Chudori, di tahun sebelumnya, 2015, pernah diundang. Novelnya, yang berjudul Pulang, jadi bahan diskusi di sana.
Barangkali, Festival Tong Tong adalah ajang yang tak boleh sedikitpun dilewatkan pemerintah dan pelaku kebudayaan Indonesia. Festival Tong Tong bukan pasar malam biasa. Sebagai pengobat rindu orang-orang di Belanda kepada Indonesia, Festival ini bisa menjadi pintu masuk kebudayaan dan perdagangan Indonesia di Eropa.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti