tirto.id - Salah seorang ulama besar Indonesia yang mendunia adalah Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani. Selain menjadi intelektual Islam yang produktif, Syekh Nawawi al-Bantani juga tercatat dalam sejarah telah berperan menggelorakan perjuangan melawan kolonial Belanda.
Jika dilihat dari nasabnya, Syekh Nawawi al-Bantani masih memiliki pertalian keturunan dengan Sunan Gunung Jati, anggota Wali Songo yang juga Sultan Cirebon pada 1479-1568 M.
Syekh Nawawi al-Bantani lahir dari keluarga agamis di Desa Tanara, Serang, Banten, pada 1813. Ayahnya adalah KH Umar bin Arabi, ulama dan penghulu desa. Nama kecilnya adalah Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi al-Bantani, anak sulung dari tujuh bersaudara keluarga tersebut.
Belajar ke Tanah Suci
Sejak kecil, Muhammad Nawawi sudah tampak kecerdasan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu agama. Pertama kali ia belajar dari ayah kandungnya, KH Umar bin Arabi. Dalam buku 20 Tokoh Tasawuf Indonesia dan Dunia (2019), Munawir menuliskan bahwa Muhammad Nawawi kecil belajar bahasa Arab dan dasar-dasar Islam.
Muhammad Nawawi kemudian berguru kepada Haji Sahal dan Raden Haji Yusuf. Setelah enam tahun menuntut ilmu, ia pulang dan menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin pesantren di Tanara.
Kendati demikian, Muhammad Nawawi hanya bertahan dua tahun mengajar di Tanara. Selanjutnya, ia terinspirasi dari perkataan Imam Syafi'i untuk bepergian menuntut ilmu. Nawawi pun bertolak ke Makkah yang masyhur sebagai pusat pengajaran Islam di Masjid Al-Haram.
Sesampainya di Makkah, Muhammad Nawawi berguru dengan banyak ulama terkenal di Arab, seperti Sayyid Ahmad An-Nahrawi, Sayyid Ahmad Ad-Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, serta Syekh Muhammad Khatib Al-Hanbali.
Muhammad Nawawi belajar ilmu keagamaan di tanah suci selama tiga tahun. Selepas itu, ia kembali ke kampung halamannya dan melanjutkan pengajaran di pesantren ayahnya.
Menentang Penjajahan Belanda
Sekembalinya dari Makkah itulah, Syekh Nawawi kian tegas terhadap penjajah Belanda. Banyak dari ceramah-ceramahnya menggelorakan semangat perjuangan dan mengutuk kolonial Belanda.
Akibatnya, pemerintah Belanda dan banyak pejabat lokal yang bekerja kepada kolonial amat membenci Syekh Nawawi. Sepak terjang Syekh Nawawi kian diawasi karena ceramahnya dianggap bisa memobilisasi massa.
Selain itu, Syekh Nawawi juga muak dengan sikap priyayi lokal yang tunduk kepada penjajah dan melakukan praktek korupsi, serta suap-menyuap.
Lantaran itulah, Syekh Nawawi merasa tidak betah tinggal di tanah air dan kembali ke Makkah untuk menuntut ilmu lagi, demikian dikutip dari buku Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani (2009) yang ditulis Syamsul Munir Amin.
Diceritakan juga bahwa proses menuntut ilmu Syekh Nawawi amat panjang, sekitar 1830-1860. Dalam rentang tahun itu, beliau juga belajar ilmu tasawuf dari Syekh Ahmad Khatib Sambas dan Syekh Abdul Gani Bima.
Ulama Indonesia yang Mendunia
Perjalanan panjang dalam menuntut ilmu itu menjadikan Syekh Nawawi begitu mumpuni, alim ulama terkemuka di bidang keislaman.
Ia menjadi guru yang disegani penuntut ilmu dari pelbagai penjuru dunia. Terlebih ketika Syekh Nawawi dipercaya mengajar di Masjid Al-Haram selama 10 tahun (1860-1970).
Selepas itu, Syekh Nawawi berkonsentrasi menulis sejumlah kitab yang membahas berbagai ilmu keislaman, mulai dari tafsir, fikih, ushuluddin, ilmu tauhid (teologi), tasawuf, sejarah Islam, tata bahasa Arab, hadis, dan akhlak (ajaran moral Islam).
Karyanya amat banyak, bahkan diperkirakan lebih dari 100 kitab keislaman, mencakup kitab Tafsir Al-Munir yang fenomenal, kitab Ats-Tsamar Ay-Yani'ah Syarah Ar-Riyadl Al-Badi'ah, Al-'Aqd As-Samin Syarah Fath Al-Mubîn Sullam Al-Munâjah Syarah Safînah As-Shalâh, dan sebagainya.
Dalam uraian "Biografi Intelektual Syekh Nawawi al-Bantani" yang ditulis Suwarjin, usai mengajar di Masjid Al-Haram, Syekh Nawai membuka pengajaran mandiri di rumahnya.
Sejak itu, ratusan penuntut ilmu berbondong-bondong datang ke rumahnya sejak pagi hingga siang. Setiap hari, setidaknya, Syekh Nawawi memberikan kuliah Islam dalam tiga mata pelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan murid-muridnya.
Guru Tokoh-tokoh Bangsa
Kendati tinggal di Makkah, Syekh Nawawi tetap memberikan suntikan semangat perjuangan kepada murid-muridnya yang berasal dari Nusantara.
Hal ini terbukti dari sebagian muridnya yang menjadi tokoh Islam yang menentang penjajah Belanda seperti Haji Wasith dan Haji Tubagus Ismail yang mengomandoi pemberontakan Cilegon 1888.
Murid kesohornya yang lain adalah Pahlawan Nasional KH Hasyim Asy'ari, pendiri organisasi Islam Nahdhatul Ulama (NU), sekaligus juga pejuang kemerdekaan Indonesia.
Setelah mengabdi pada Islam selama 84 tahun, Syekh Nawawi meninggal dunia pada 1897 di Makkah, Arab Saudi.
Di Indonesia, setiap tahunnya selalu diperingati haul wafatnya Syekh Nawawi di Pondok Pesantren An-Nawawi di Tanara, asuhannya KH Ma'ruf Amin yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden RI periode 2019-2024.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Iswara N Raditya