Menuju konten utama

Sejarah Puasa Ramadhan & Perintah Berpuasa di Surah Al-Baqarah 183

Sejarah singkat puasa Ramadhan yang dimulai pada tahun ke-2 Hijriah, dengan perintah Allah dalam Surah al-Baqarah:183.

Sejarah Puasa Ramadhan & Perintah Berpuasa di Surah Al-Baqarah 183
ilustrasi anak berdoa. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Puasa selama sebulan penuh pada Ramadan hukumnya wajib bagi umat Islam yang balig dan berakal sehat. Kaum muslimin diwajibkan untuk berpuasa selama 29 atau 30 hari sepanjang Ramadan sejak tahun kedua Hijriah.

Puasa, dengan menahan lapar dan dahaga, sudah dilakukan oleh umat-umat terdahulu di berbagai belahan dunia. Namun, dengan praktik dan waktu yang beragam. Bagi umat Islam, perintah berpuasa tercantum dalam Surah Al-Baqarah:183 sebagai berikut.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Arab-Latin:

Yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba 'alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba 'alallażīna ming qablikum la'allakum tattaqụn

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Sebelum adanya kewajiban puasa sebulan penuh pada Ramadan, Nabi Muhammad saw. menjalankan puasa hari Asyura (10 Muharam) seperti umumnya orang-orang Quraisy.

Hal ini diriwayatkan dari Aisyah, "Dahulu, hari Asyura adalah hari dipergunakan orang-orang Quraisy untuk berpuasa pada masa jahiliyah. Rasulullah saw. melakukan puasa itu."

Kala sampai ke Madinah, Nabi juga berpuasa pada hari tersebut dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa pada hari itu pula. Lalu ketika perintah puasa Ramadan turun, maka puasa 'Asyura ditinggalkan.

Dalam Kasyifah al-Saja karya Syekh Nawawi al-Bantani disebutkan, "Puasa Ramadhan diwajibkan atau difardukan pada Sya’ban tahun 2 Hijriah. Setelah mendapat perintah wajib tersebut, Rasulullah saw. berpuasa sebanyak 9 kali bulan Ramadan."

Setelah turunnya Surah al-Baqarah:183, Rasulullah membebaskan umat Islam, barang siapa yang ingin berpuasa 'Asyura maka hendaklah ia berpuasa, sedangkan siapa yang tidak ingin berpuasa, maka puasa hari Asyura itu dapat ditinggalkan.

Pada awal dijalankannya ibadah puasa, umat Islam diwajibkan berpuasa sampai waktu magrib. Setelah berbuka mereka diperbolehkan makan, minum, dan melakukan hubungan suami-istri hingga melaksanakan salat Isya dan tidur. Namun, setelah itu, mereka tidak makan dan minum hingga tiba saatnya berbuka.

Saat itu umat belum mengetahui batas kapan dimulainya puasa dalam sehari. Ada seorang sahabat dari kalangan Anshar, Qais bin Shirmah Al Anshari. Ketika tiba waktu berbuka, ia mendatangi sang istri, dan bertanya "apakah kamu punya sesuatu yang bisa dimakan?"

Tidak ada makanan di rumah Qais. Sang istri kemudian berinisiatif untuk mencari sesuatu untuknya. Namun, ketika istri tersebut pergi, Qais yang kelelahan karena bekerja dan menahan lapar seharian, ketiduran. Ketika terjaga, otomatis Qais mengira ia tidak diperbolehkan makan lagi. Ia mesti berpuasa hinga tiba waktu berbuka esok harinya.

Qais kemudian kembali bekerja di lahannya, tetapi ia pingsan sebelum tengah hari. Ia lantas mengadukan kejadian ini kepada Nabi Saw. Dari sinilah turun Surah al-Baqarah ayat 187.

Dalam ayat tersebut, Allah memperbolehkan umat Islam makan, minum, dan berhubungan intim dengan para istrinya sepanjang malam bulan puasa hingga terbit fajar.

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Arab-Latin:

Uḥilla lakum lailataṣ-ṣiyāmir-rafaṡu ilā nisā`ikum, hunna libāsul lakum wa antum libāsul lahunn, 'alimallāhu annakum kuntum takhtānụna anfusakum fa tāba 'alaikum wa 'afā 'angkum, fal-āna bāsyirụhunna wabtagụ mā kataballāhu lakum, wa kulụ wasyrabụ ḥattā yatabayyana lakumul-khaiṭul-abyaḍu minal-khaiṭil-aswadi minal-fajr, ṡumma atimmuṣ-ṣiyāma ilal-laīl, wa lā tubāsyirụhunna wa antum 'ākifụna fil-masājid, tilka ḥudụdullāhi fa lā taqrabụhā, każālika yubayyinullāhu āyātihī lin-nāsi la'allahum yattaqụn

Artinya:

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampunimu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2021 atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fitra Firdaus