tirto.id - Sejarah masjid Gedhe Kauman terkait erat dengan konteks kebudayaan Jawa dan Islam. Masjid ini dibangun pada 29 Mei tahun 1773 M. Pendiriannya diprakarsai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kyai Fakih Ibrahim (penghulu keraton). Sedangkan, perancang arsitektur masjid yaitu Kiai Wiryokusumo.
Masjid Gedhe Kauman menegaskan bahwa Kerajaan Mataram sebagai kerajaan bercorak Islam yang masih mempertahankan nilai budaya Jawa. Masjid ini terletak di barat Alun-Alun Utara dan barat daya Pasar Beringharjo berdekatan dengan keraton, yang identik dengan konsep tata ruang di pusat pemerintahan Jawa.
Dalam konsep tata ruang kota ini, masjid ditempatkan di dekat pusat pemerintahan dan ekonomi.
Dari sisi arsitekturnya, bangunan Masjid Gedhe Kauman terdiri dari bangunan utama (Liwan), serambi dan emperan. Sedangkan sisi tata ruang, masjid terdiri ruang luar dan dalam. Tata luar berupa pagar pembatas seperti umumnya bangunan kerajaan di masa era Majapahit. Sedangkan, ruang dalam terdiri dari jagang (kolam keliling). Bermakna sebagai pengaman setelah benteng.
Sejarah Masjid Gedhe Kauman
Dikutip dari laman DPAD DIY (2019), Masjid Gedhe Kauman dibangun pada hari Ahad Wage 6 Rabi'ul Akhir 1187 Hijriah atau tahun Alip 1699 menurut penanggalan Jawa. Pada prasasti serambi masjid tertulis candra sengkala yang berbunyi “Gapura Trus Winayang Jalma” sebagai bukti pendirian masjid.
Dikutip dari laman Kemdikbud (2019), Masjid Kauman menunjukan secara simbolis bahwa Sultan selain sebagai penguasa pemerintahan atau senapati ing ngalaga. Namun, Sultan juga berperan sebagai wakil Allah, sayidin panatagama khalifatullah di dunia dan menjadi pemimpin keagamaan, panatagama di Kasultanan.
Akulturasi Masjid Gedhe Kauman
Dikutip dari Prosiding Seminar Nasional Sustainable Architecture and Urbanism oleh Endang Setyawati (2016), Konstruksi Tajug bersusun tiga bermakna tingkatan kehidupan manusia berhubungan dengan Allah SWT. Pada tingkat terendah, manusia bersifat duniawi. Manusia menjalin hubungan yang baik kepada sesama manusia dan memelihara alam.
Bentuk atap Tajug merupakan bagian sejarah rumah Jawa. Simbol Islam berbentuk persegi pada denah, bermakna kesederhanaan dan derajat yang sama di hadapan Allah SWT.
Pada tingkat kedua, manusia sudah banyak meninggalkan kegiatan duniawi. Manusia tetap menjaga kegiatan duniawi dan meningkatkan hubungan kepada Allah SWT.
Pada tingkatan ketiga berbentuk kerucut bermakna, manusia mengurangi kegiatan dunia dan lebih banyak mengarah pada akhirat. Secara Islam tingkatan ini disebut, hablumminannas (hubungan dengan sesama manusia) dan hablumminallah (hubungan dengan Allah SWT).
Dalam filosofi Jawa, dikenal dengan “Hamemayu Hayuning Bawana” atau membuat alam menjadi harmonis.
Dikutip dari seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) oleh Endang Setyowat dkk, ada dua macam hasil dan pembahaan akulturasi budaya pada bangunan Masjid Gedhe Mataram Yogyakarta yaitu sebagai berikut,
1. Tata Ruang
Tata ruang masjid terdiri ruang luar dan dalam dan juga pagar pembatas yang dikelilingi kolam, bermakna sebagai pengaman setelah benteng.
Jagang di sekeliling masjid, berguna untuk membersihkan kaki. Dinding pagar keliling memiliki 3 gapura sebagai pintu masuk. Gapura berbentuk Paduraksa seperti gapura candi.
Pada halaman masjid terdapat dua jalur yaitu menuju kompleks makam dan Sendang (kolam). Berdiri 2 bangunan Bangsal Pacaosan berdenah segi empat di halaman masjid sebelah kanan dan kiri.
Lantai memiliki tinggi 20 cm dari tanah halaman. Bangunan terbuka tanpa dinding dengan atap berbentuk limasan. Kolom kayu berguna menyangga atap berjumlah 6 buah.
Berdiri juga bangunan tugu sebagai penunjuk waktu sholat di halaman masjid. Pada puncak tugu terdapat hiasan berbentuk kupluk/peci raja, menunjukkan bangunan milik kerajaan.
2. Tata Bangunan
Bangunan Masjid Gedhe Kauman terdiri dari bangunan utama (Liwan), serambi dan emperan.
Denah Liwan berbentuk persegi berukuran 30x30 meter2. Terdiri atas 4 buah kolom kayu utama (Soko Guru) setinggi 5 meter. Pada ruang liwan bermotif sulur daun dan tiang semu dengan bingkai di bagian atasnya. Mimbar terbuat dari bahan kayu jati merupakan ciri arsitektur Islam.
Liwan dan Serambi dihubungkan dengan 5 pintu. Pawestren (tempat sholat putri) dan bangsal di sebelah utara. Pada atas pintu tengah terdapat ornamen huruf Jawa dan Arab. Semua material kayu di datangkan dari Bojonegoro melalui darat atas perintah Wali.
Bangunan serambi masjid beratap limasan. Antara atap Tanjung Lambang Gantung dengan atap limasan serambi menggunakan talang plat besi berbentuk cekungan setengah bola. Soko Serambi yaitu Soko Pangarep dan Soko Penanggap ditopang pondasi umpak dari batu alam hitam. Atas tiang pangarep ditutup papan ornamen kaligrafi penuh keliling serambi.
Bangunan emper merupakan lanjutan dari serambi, menggunakan atap limas. Lantai emper lebih rendah dari serambi. Kolam dengan kedalaman 0,6 meter dan lebar 1,5 meter mengelilingi emper.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Agung DH