Menuju konten utama

Masjid Pathok Negara Dongkelan: Dari Diponegoro hingga Gus Dur

Salah satu masjid kagungan ndalem (milik raja) di Yogyakarta ini menerakan sejumlah jejak kisah tentang pahlawan dan tokoh nasional.

Masjid Pathok Negara Dongkelan: Dari Diponegoro hingga Gus Dur
Header Mozaik Masjid pathok negara dongkelan. tirto.id/Tino

tirto.id - Masjid Pathok Negara Dongkelan bukan cuma kondang karena statusnya sebagai bangunan cagar budaya, sejumlah tokoh populer juga punya keterkaitan dengan tempat bersejarah ini.

Tak kurang Pangeran Diponegoro (1785-1855) pernah bersentuhan dengannya. Tokoh lain muncul ratusan tahun kemudian: KH. Ali Maksum (1915-1985), figur kharismatik pengasuh Pondok Pesantren Krapyak yang juga mentor salah satu Presiden Indonesia, Gus Dur.

Dari Tempat Ibadah hingga Basis Militer

Masjid Pathok Negara merupakan masjid kagungan ndalem (milik raja) yang tersebar di empat penjuru mata angin, yakni di Mlangi, Sleman (barat), Plosokuning, Sleman (utara), Babadan, Bantul (timur), dan Dongkelan, Bantul (selatan).

Tugas Tri Wahyono dalam “Melihat dari Dekat Masjid Pathok Negara Dongkelan” mengemukakan pendapat sejumlah ahli terkait makna Pathok Negara.

Dalam “Sekilas tentang Pathok Negara”, Samrotul Ilmi Albiladiyah mengidentifikasi Pathok Negara sebagai jabatan abdi dalem di lingkungan Reh Kawedanan Pangulon Karaton Ngayogyakarta (semacam Departemen Agama).

Karena eratnya hubungan para Pathok Negara dengan masjid-masjid yang menjadi tanggung jawab mereka, masyarakat kemudian menggunakan istilah yang sama untuk menyebut masjid-masjid itu.

Para peneliti lain mengemukakan pandangan yang berbeda. Menurut Indal Abror dalam “Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Masjid Pathok Negoro”, Pathok Negara adalah penanda batas Nagari Ngayogyakarta yang merupakan ibu kota kasultanan.

Sementara menurut R. Aris Hidayat dalam “Masjid Sebagai Pelestari Tradisi”, Pathok Negara adalah status sebuah desa.

Sejak didirikan, Masjid Pathok Negara memainkan fungsi yang beragam. Selain untuk tempat ibadah, masjid-masjid tersebut juga digunakan sebagai tempat pendidikan agama, upacara perkawinan dan kematian, pemerintahan, pengadilan, juga basis militer.

Ide pembangunan Masjid Pathok Negara muncul setelah Perjanjian Giyanti (1755) diteken. Sultan Hamengkubuwono I menimbang lembaga peradilan yang sudah ada pada era Mataram Islam, salah satunya Pengadilan Surambi, tetap laik dipertahankan.

Pengadilan Surambi adalah lembaga peradilan yang mengurusi perkara pidana dan hukum perkawinan, perceraian, serta hukum waris Islam. Kurang lebih sama dengan perkara-perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama saat ini.

Pengadilan Surambi dipimpin oleh Penghulu Hakim yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh empat Pathok Negara. Masing-masing Pathok Negara juga bertanggung jawab dalam mengelola masjid milik raja.

Para Pathok Negara adalah orang-orang yang sangat dihormati di lingkungan mereka tinggal. Selain karena jabatannya, juga karena kapasitas ilmu agama dan peran aktif mereka dalam membentengi masyarakat dari pengaruh kolonialisme Belanda.

Masjid Pathok Negoro Dongkelan

Masjid Pathok Negoro Dongkelan. tirto.id/Firdaus Agung

Dibakar Pasukan Belanda

Masjid Pathok Negara Dongkelan dibangun pada tahun 1775 oleh Kyai Syihabuddin atas perintah Sultan Hamengkubuwono I. Kyai Syihabuddin adalah Penghulu Hakim yang pertama. Setelah wafat ia dimakamkan di sebelah barat masjid.

Masjid Nurul Huda, nama lain Masjid Pathok Negara Dongkelan, memiliki panjang 14,40 meter dan lebar 9,38 meter. Ruang utama ditopang empat pilar yang berdiri di atas umpak (pondasi) batu andesit tanpa pola hiasan. Bagian mihrab berbentuk semi-circular dengan jendela berteralis kayu di bagian barat, utara, dan selatan.

Seperti umumnya masjid-masjid di Jawa, atap Masjid Pathok Negara Dongkelan berbentuk limas. Di pucuknya terdapat mustaka atau hiasan berbentuk gada dan sulur. Di samping kanan dan kiri masjid terdapat pawestren atau ruang untuk jemaah perempuan.

Pada bagian timur terdapat serambi yang ditopang delapan pilar dengan umpak batu andesit berhias pola padma ganda. Di ruangan ini terdapat beduk buatan tahun 1901 berbahan kayu nangka yang hingga kini masih bisa difungsikan.

Rijal Mumazziq Z. dalam “Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro di Pesantren” mencatat bahwa sejak usia 20 tahun Pangeran Diponegoro berkelana ke masjid-masjid dan pesantren-pesantren. Perjalanan itu ia maksudkan untuk menyempurnakan ilmu agama dan mencari guru-guru spiritual yang bisa membimbingnya.

Ia pun mengubah penampilannya: memotong rambutnya yang panjang--kebiasaan kaum ningrat kala itu--dan mengganti busananya yang terbuat dari kain batik tulis yang mahal dengan baju tanpa kancing dan bawahan sarung kasar. Ia juga menyamarkan identitasnya dan memperkenalkan diri dengan nama Abdurrahim atau Seh Durakhim.

Satu dari sekian masjid atau pesantren yang pernah disinggahi Pengeran Diponegoro adalah Masjid Pathok Negara Dongkelan.

Bertahun-tahun kemudian ketika meletus Perang Jawa, masjid ini dimanfaatkan oleh Pangeran Diponegoro dan pasukannya sebagai basis pertahanan. Untuk membasmi gerakan mereka, pada 1825 pasukan Belanda membakar masjid ini hingga rata dengan tanah, menyisakan umpak dan mustakanya saja.

Masjid Pathok Negara Dongkelan kemudian dibangun kembali dengan sederhana. Baru pada 1901 Sultan Hamengkubuwono VII memerintahkan agar bangunan masjid direstorasi dan dikembalikan seperti bentuknya semula.

Infografik Mozaik Masjid pathok negara dongkelan

Infografik Mozaik Masjid pathok negara dongkelan. tirto.id/Tino

Pondok Krapyak, KH. Ali Maksum, dan Gus Dur

Di bagian barat Masjid Pathok Negara Dongkelan terdapat kompleks makam yang cukup luas. Selain makam Kyai Syihabuddin, Penghulu Pertama masjid tersebut, juga ada makam sejumlah tokoh terkenal.

Kebanyakan tokoh-tokoh tersebut adalah keluarga Pondok Pesantren Krapyak. Beberapa di antaranya adalah KH. Muhammad Munawwir, KH. Ahmad Warson Munawwir, dan KH. Ali Maksum. Nama yang terakhir adalah menantu KH. Muhammad Munawwir.

KH. Muhammad Munawwir adalah putra KH. Abdullah Rosyad, seorang abdi dalem keraton untuk urusan keagamaan. Ia mendirikan Pondok Pesantren Krapyak yang jaraknya hanya dua kilometer dari Masjid Pathok Negara Dongkelan pada 1909-1910.

Setelah KH. Muhammad Munawir wafat, Pondok Pesantren Krapyak dipimpin oleh KH. Ali Maksum. Dalam perkembangannya sejumlah tokoh lahir di pesantren ini, salah satunya KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Sebelum menjabat sebagai presiden, Gus Dur adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Kontroversi mengiringi perjalanannya baik selama memimpin NU maupun saat menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia.

Sikap Gus Dur yang nyeleneh salah satunya karena pengaruh KH. Ali Maksum. Jauh hari sebelum memimpin Pondok Pesantren Krapyak, yaitu saat masih tinggal di Pesantren Tremas, Pacitan, Kyai Ali Maksum telah mendobrak tradisi kaum santri kala itu.

Menurut Ahmad Athoillah dalam KH. Ali Maksum: Ulama, Pesantren, dan NU (2019), di pesantren milik KH. Dimyati tersebut, KH. Ali Maksum merupakan tenaga pengajar yang menjadi penggerak modernisasi pendidikan. Salah satu program yang ia inisiasi adalah dimasukkannya pelajaran bahasa Inggris dan Belanda ke dalam kurikulum pesantren.

Ahmad Athoillah menambahkan, jika Gus Dur disebut-sebut menggemari musik klasik, utamanya The Symphony No. 9 in D minor karangan Beethoven, maka jauh sebelum itu KH. Ali Maksum sudah mendengarkan musik-musik tersebut saat masih berada di Pesantren Tremas.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MASJID atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi