Menuju konten utama
Mozaik

Kisah Kiai Cokro, Tongkat Pusaka Pangeran Diponegoro

Kiai Cokro berada di Belanda karena dibawa oleh Gubernur Jenderal Jean Chretien Baud yang ia peroleh dari tentara koalisi Jawa-Belanda pada 1834.

Kisah Kiai Cokro, Tongkat Pusaka Pangeran Diponegoro
Header Mozaik Tongkat Pangeran Diponegoro. tirto.id/Tino

tirto.id - Usai dipastikan tidak ikut bertarung dalam Pilkada 2024, pekan lalu, tepatnya pada 30 Agustus, Anies Baswedan akhirnya memberikan pernyataan lewat kanal Youtube-nya. Dalam video itu ia membeberkan beberapa keterangan terkait apa yang sedang ramai diperbincangkan dalam beberapa waktu terakhir.

Dalam video itu juga tampak beberapa benda yang berada di belakang Anies Baswedan. Ada tiga benda, yaitu Gold Button dari Youtube, lukisan Pangeran Diponegoro, dan sebuah tongkat yang merupakan pemberian dari warga Kotagede saat Anies Baswedan berkunjung ke daerah itu pada Agustus 2023 lalu.

Kehadiran tongkat dan lukisan Pangeran Diponegoro dalam video tersebut membuat publik kembali teringat salah satu tinggalan pahlawan Perang Jawa itu, yakni tongkat pusaka yang bernama Tongkat Kiai Cokro. Foto saat Anies Baswedan menerima kembali tongkat itu dari Belanda segera ramai di internet, yakni saat ia menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Kiai Cokro dikembalikan oleh Kerajaan Belanda ke Pemerintah Indonesia pada 2015. Tak hanya tongkat, benda-benda lain milik sang pangeran seperti pelana kuda, tombak, dan catatan yang dibuat sendiri oleh pangeran juga dikembalikan.

Konflik yang Meruncing

Pangeran Diponegoro atau Raden Mas Ontowiryo, merupakan seorang pejuang kelahiran 11 November 1785. Ia anak dari Gusti Raden Mas Surojo yang kelak dikenal dengan Sri Sultan Hamengkubuwono III dengan istrinya yang seorang selir, Raden Ayu Mangkarawati, yang berasal dari Pacitan.

Pada usianya yang ke-27, ia mulai muncul dalam percaturan politik di Kesultanan Yogyakarta. Saleh As’ad Djamhari dalam Indonesia dalam Arus Sejarah 4, Kolonisasi dan Perlawanan (2012), menulis berdasarkan Babad Diponegoro ing Nagari Yogyakarta Adiningrat, kemunculan Raden Mas Ontowiryo terjadi saat ia membantu ayahnya dalam perebutan kekuasaan melawan kakeknya (Sultan Hamengkubuwono II).

Sang ayah berhasil menduduki singgasana Kasultanan Yogyakarta setelah ada campur tangan dari Inggris, penguasa Jawa saat itu. Raden Mas Ontowiryo merupakan anak lak-laki tertua dari Sri Sultan Hamengkubuwono III. Namun, ia tidak bisa menjadi raja karena lahir bukan dari permaisuri.

Setelah peristiwa itu, Diponegoro sempat ditawari posisi sebagai putra mahkota oleh Inggris. Tetapi, ia menolak. Tak hanya itu, Diponegoro juga sadar suatu saat ia akan diadu domba dengan ayahnya jika sang ayah tidak mematuhi kontrak kepada Inggris. Saat sang adik diangkat menjadi sultan (Sri Sultan Hamengkubuwono IV), meski sudah tidak berada di lingkungan istana, ia tetap memberikan masukan dan saran.

Begitu juga saat keponakannya, Raden Mas Gathot Menol menjadi Hamengkubuwono V pada 1823. Raden Mas Gathot Menol saat diangkat sebagai sultan masih belum cukup umur, oleh karena itu pemerintah menunjuk beberapa wali sultan, termasuk Pangeran Diponegoro. Pada periode ini, benih-benih konflik antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda selaku penguasa Hindia Belanda mulai meruncing.

Meletusnya Perang Jawa

Konflik semakin memuncak saat Belanda dengan sengaja memasang patok-patok di tanah milik Pangeran Diponegoro di sekitar Tegalrejo tanpa izin. Patok-patok ini dipasang sebagai penanda dibangunnya jalan raya.

"Pada 20 Juli 1825 Belanda mengirim serdadu-serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro," tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2009 (2022). Pertempuran antara serdadu Belanda dan pasukan Diponegoro pun terjadi hingga Tegalrejo berhasil direbut oleh Belanda. Sementara itu, usaha Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro kandas karena sang pangeran berhasil menyelamatkan diri.

Dalam melawan Belanda, Diponegoro dibantu dan didukung oleh beberapa tokoh, seperti Kiai Mojo, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, Nyi Ageng Serang, beberapa pangeran, bupati, dan para pejabat senior keraton.

"Diponegoro menggunakan gelar Erucakra; dengan begitu ia telah mengklaim sebagai Ratu Adil yang telah dinanti-nanti," tambah Ricklefs (2022). Seturut dengan penjelasan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Jilid 2 (2016), bahwa kondisi sosial ekonomi di Jawa yang semakin parah membuat timbulnya sejumlah gerakan Ratu Adil di beberapa daerah, seperti Bagelen bagian timur, Kedu, dan sekitar Mojokerto-Malang.

Perlawanan yang dilakukan Diponegoro berlangsung selama kurang lebih lima tahun, 1825-1830. Diponegoro ditangkap di Magelang pada 28 Maret 1830 saat menemui Jenderal de Kock untuk membicarakan penghentian perang.

Hal itu diakui oleh Jenderal de Kock dalam catatan hariannya, seperti ditulis oleh Peter Carey dalam bukunya, "Saya menyadari bahwa cara bertindak seperti itu dipihak saya tidak terpuji, tidak ksatria, dan licik (onedel en onererlijk) karena Diponegoro telah datang ke Magelang menemui saya dengan niat baik."

Peter Carey juga menulis perasaan Diponegoro terhadap apa yang terjadi hari itu. Seharusnya jika tidak ada kesepakatan, ia bebas pergi. Namun, yang terjadi malah penangkapan terhadap dirinya.

Tongkat Pusaka Tinggalan Sang Pangeran

Perlawanan Diponegoro tak hanya meninggalkan sejumlah kisah, tapi juga beberapa benda tinggalan sang pangeran, baik yang berhubungan langsung dengan perang ataupun benda yang biasa digunakan olehnya. Beberapa benda ini sempat tersimpan di Belanda sebelum akhirnya satu per satu kembali ke Indonesia.

Pada tahun 2020, Belanda menyerahkan Keris Nogo Siluman bersamaan dengan kunjungan Raja Willem Alexander. Selain itu, masih ada pelana kuda dan tombak milik sang pangeran yang berhasil diambil Belanda pada Perang Jawa.

Satu benda lain yang beberapa waktu ini ramai dibahas adalah tongkat dengan panjang 1.4 meter dikenal dengan sebutan Kiai Cokro. Tongkat ini biasa digunakan oleh Diponegoro saat berziarah. Menurut Peter Carey dalam Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Jilid 1 (2016), tongkat ini diperoleh Diponegoro pada tahun 1815.

Tongkat ini konon dibuat sekitar abad ke-16 untuk Raja Demak. Tongkat dengan gagang besi berukir cakra yang dikenal sebagai senjata Dewa Wisnu ini terkait dengan Ratu Adil atau Erucokro. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro mendapat gelar Ratu Adil selama mengobarkan perlawanan terhadap Belanda.

Infografik Mozaik Tongkat Pangeran Diponegoro

Infografik Mozaik Tongkat Pangeran Diponegoro. tirto.id/Tino

Sama seperti benda-benda milik Diponegoro yang lain, Tongkat Kiai Cokro sempat tersimpan lama di Belanda sebelum akhirnya diserahkan kembali ke Indonesia pada 2015 lalu. Tongkat ini berada di Belanda karena dibawa oleh Gubernur Jenderal Jean Chretien Baud.

"Mungkin sekitar tahun 1829, tongkat tersebut diambil oleh tentara koalisi Jawa-Belanda sebagai rampasan perang dan dipersembahkan kepada Gubernur Jenderal J.C. Baud pada 1834," tulis Ghamal Satya Mohammad dalam laporan yang tidak diterbitkan berjudul Tracking The Pilgrim Staff of Java: Its Origin, Function, and the Search of Identity in the staff Kanjeng Kyai Cokro. J.C. Baud menjabat sebagai gubernur jenderal dari 1834 hingga 1836.

Setelah tak lagi menjabat, ia kembali ke Belanda dengan membawa tongkat tersebut. Sebelum akhirnya diserahkan ke J.C. Baud, tongkat ini sempat dibawa lari oleh salah seorang pengikut Diponegoro pada periode akhir masa perang, sebelum akhirnya dipegang oleh Pangeran Notoprojo.

"Pengikut yang tidak diketahui ini membawa tongkat itu dalam pelariannya dari medan perang setelah pasukan Diponegoro kalah telak di akhir Perang Jawa," tulis Pauline Lunsingh Scheurleer dalam “Prince Dipanagara’s Pilgrim’s Staff” yang terbit pada Archipel (Vol. 97, 2019).

Proses yang cukup panjang harus dilalui oleh tongkat ini sebelum akhirnya kembali ke Indonesia. Menurut Ghamal Satya Mohammad dalam laporannya, pada 2014, keturunan dari J.C. Baud, Erica dan Michiel Baud mengontak Harm Stevens, seorang kurator di Rijkmuseum Amsterdam. Erica dan Michiel memberikan informasi kepada Harm Stevens mengenai sebuah tongkat peninggalan keluarga mereka.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Harm Stevens, diketahui bahwa tongkat ini milik Pangeran Diponegoro. Pihak keluarga lalu memberikan tongkat ini kepada Indonesia karena sadar betapa pentingnya tongkat ini bagi sejarah Indonesia.

Baca juga artikel terkait PANGERAN DIPONEGORO atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - News
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Irfan Teguh Pribadi