Menuju konten utama
Hari Raya Imlek 2020

Pangeran Diponegoro dan Sentimen Anti-Tionghoa dalam Perang Jawa

Diponegoro menganggap kekalahannya dalam sebuah pertempuran disebabkan perselingkuhannya dengan perempuan Tionghoa. Sejak itu sentimen anti-Tionghoa kian menjadi-jadi.

Pangeran Diponegoro dan Sentimen Anti-Tionghoa dalam Perang Jawa
Pangeran Diponegoro. tirto.id/Sabit

tirto.id - Perang Diponegoro merupakan salah satu episode dalam sejarah Indonesia yang—jika kita pakai perspektif masa kini—sangat rasialis. Perasaan antipati kepada orang asing di antara para pengikut Diponegoro mewujud dalam bentuk kekerasan dan pembunuhan. Orang Belanda dibenci karena mereka dianggap sebagai penguasa asing kafir yang berusaha memeras kekayaan tanah Jawa. Sementara orang Tionghoa dimusuhi lantaran stereotip sebagai kaki tangan Belanda.

Kala perang baru berlangsung beberapa bulan, sebuah komunitas Tionghoa di Ngawi sudah menjadi sasaran serangan pasukan Diponegoro. Peter Carey, sejarawan yang lebih dari 40 tahun meneliti Perang Jawa (nama lain Perang Diponegoro), menjelaskan bahwa penyerangan pada September 1825 itu dipimpin seorang panglima perempuan bernama Raden Ayu Yudokusumo.

Yudokusumo dikenal memiliki watak yang keras. Disebutkan bahwa ia tidak sedikitpun menaruh welas asih kepada orang-orang Tionghoa. “Tidak peduli pada tangisan menyedihkan dari para wanita dan anak-anak, seluruh komunitas Cina di Ngawi dihancurkan dengan pedang, mayat-mayat yang dimutilasi dibiarkan berbaring di tempat mereka jatuh, darah berlumuran di pintu-pintu rumah dan jalan-jalan,” tulis Carey dalam penelitiannya.

Laporan penelitian berjudul “Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central Java 1755-1825” yang terbit di jurnal Indonesia (April 1984, PDF) itu juga menjelaskan bahwa kekerasan terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti sampai di Ngawi saja. Pembantaian juga menyebar ke penjuru Jawa Tengah di sepanjang aliran Bengawan Solo. Anggota komunitas yang selamat terpaksa mengungsi ke pesisir utara Jawa diikuti penghancuran sebuah pemukiman Tionghoa terbesar di Bagelen timur.

Menurut Carey, watak xenofobia (kebencian terhadap orang asing) yang bertaut dengan chaunivisme memang sudah menjadi bagian dari diri bangsawan Jawa sejak permulaan abad ke-19. Tidak sedikit pula di antara mereka yang secara terbuka mengeluhkan pengangkatan orang Tionghoa sebagai pamong praja. Perasaan cemburu semakin besar tatkala orang-orang Tionghoa—yang umumnya cakap mengelola keuangan—mulai diangkat menjadi operator utama di kantor-kantor bea cukai sebagai dampak kenaikan tuntutan fiskal.

Sistem fiskal buatan Belanda memungkinkan sebagian orang Tionghoa memeras rakyat. Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008: 320) menyebut bentuk pemerasan ditunjukkan oleh peraturan pajak tol jalan raya yang tidak masuk akal. Tak hanya para petani dan pedagang yang terkena pajak, bahkan terdapat cerita yang menyebut ibu Jawa yang menggendong anak di punggung juga diminta membayar cukai karena dianggap sedang membawa barang. Lama kelamaan kegelisahan berubah menjadi kemarahan hingga memicu tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa penjaga gerbang cukai.

Saat kondisi di mancanegara (wilayah luar kerajaan) semakin kacau, lanjut Vlekke, Gubernur Jenderal van der Capellen memperparahnya dengan mengubah sistem sewa lahan pedesaan milik para bangsawan Jawa. Para pemilik tanah menuduh van der Capellen hanya memperhatikan wiraswasta asing yang sebagian adalah orang Tionghoa. Bermula dari sini, para bangsawan Jawa, khususnya para pengikut Kesultanan Yogyakarta, memutuskan mengangkat senjata di bawah komando Pangeran Diponegoro.

Tapi betapapun watak xenofobia memainkan peran besar, Peter Carey dalam karya lainnya tentang Perang Diponegoro, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2019: 727), menyebut adalah sebuah kekeliruan jika perang sabil Diponegoro diasosiasikan secara mutlak dengan pembantaian yang bersifat anti-Tionghoa. Seiring perang yang semakin berkecamuk, keadaan berubah dan orang-orang Tionghoa mulai dianggap seperti mitra bisnis. Selain menjadi pemasok mesiu dan candu untuk keperluan perang, ada pula yang memeluk Islam dan bertempur bersama tentara Diponegoro.

Infografik Anti Tionghoa dalam Perang Diponegoro

Infografik Anti-Tionghoa dalam Perang Diponegoro. tirto.id/Sabit

Diponegoro dan Nyonya Cina

Menurut Carey, pada dasarnya Diponegoro tidak pernah menentang keberadaan orang-orang Tionghoa dalam pasukanya. Ia tidak punya kebencian pribadi terhadap bangsa lain selain Belanda yang selalu ia sebut dengan julukan bangsa kafir. Barangkali Diponegoro teringat pada salah satu panglima terdekatnya, Pangeran Ngabehi, yang lahir dari perkawinan kakeknya, Hamengkubuwono II, dengan perempuan peranakan Tionghoa.

Sikap Diponegoro berubah telak setelah tahun 1826. Ia mulai melarang para komandannya menjalin hubungan dekat dengan orang-orang Tionghoa. Di tahun-tahun selanjutnya, Diponegoro malah bertindak lebih jauh dengan memerintahkan panglima terdekat sekaligus iparnya, Raden Ario Sosrodilogo, agar tidak berhubungan kelamin dengan perempuan peranakan Tionghoa, apalagi mengangkat mereka menjadi selir.

Dalam versi terjemahan Babad Dipanegara (2016: 428), sang pangeran sempat mengakui bahwa ia pernah juga takluk kepada seorang perempuan Tionghoa. Perempuan yang ditangkap di daerah Pajang itu diserahkan ke hadapan Diponegoro sebagai tukang pijat. Carey mencatat peristiwa ini terjadi dua hari sebelum kekalahan Diponegoro yang memalukan dalam Pertempuran di Gawok pada 15 Oktober 1926.

“Di Kedaren kalau malam yang disuruh memijat adalah nyonya Cina. Kanjeng Sultan [gelar resmi Diponegoro] salah sangka karena pikirannya hanya tertuju pada Kanjeng Ratu [sang istri] sebagai penghibur hati yang kasmaran,” aku Diponegoro dalam babad.

Menurut analisis Peter Carey terhadap babad, secara tersirat Diponegoro sudah mengakui bahwa kekalahan dalam pertempuran disebabkan perselingkuhannya dengan nyonya Cina. Ia juga disebut sempat merenungkan dampak dari hawa nafsu yang melemahkan kekuatan batin dan kekebalan dirinya, seperti yang ditulisnya sendiri dalam kelanjutan cerita babad.

“Setelah Sang Raja tahu pakaiannya merah [karena darah], ia ingat dengan permaisurinya, maksud pikiran dan tindakannya. Kalau aku mati dalam keadaan nista, kalau aku mati dahulu seperti belum diizinkan Allah.”

Sejak saat itu Diponegoro percaya hubungan seksual antara orang Jawa dengan perempuan Tionghoa bisa mendatangkan bala. Ia kembali mengungkit masalah ini tatkala pasukan yang dipimpin Raden Sosrodilogo mengalami kekalahan dalam Pertempuran Rembang dan Jipang-Rajegwesi. Diponegoro menuduh kekalahan Sosrodilogo diakibatkan karena ia telah memerkosa seorang perempuan Tionghoa dari Lasem menyusul jatuhnya kota pantai di timur Rembang itu pada 31 Desember 1827.

“[…] Raden Sasradilaga menjadi lupa keinginannya untuk naik haji, lalu selingkuh dengan nyonya Cina. Ini yang menjadi jalan sial perangnya […],” tulis Diponegoro (hlm. 490).

Dalam Mythology and the Tolerance of the Javanese (2009: 13), indonesianis Benedict Anderson menjelaskan sejak raja-raja Jawa masih berkuasa, para bangsawan sudah punya anggapan bahwa perkawinan antara orang Jawa dan perempuan Tionghoa, terutama pada strata sosial yang lebih tinggi, akan berakhir dengan kemalangan.

Menurut kepercayaan tersebut, ungkap Anderson, anak-anak yang lahir dari pernikahan campuran akan lebih terlihat seperti orang Tionghoa ketimbang orang Jawa. Ungkapan lama yang berbunyi “abu orang Cina jauh lebih tua” dipercayai sebagai suatu kebenaran, termasuk oleh Diponegoro. Perasaan takut kehilangan "ke-Jawa-an" itulah yang menjadi dasar kegelisahan hubungan seksual antar-ras di kalangan orang Jawa.

Baca juga artikel terkait IMLEK 2020 atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Ivan Aulia Ahsan