Menuju konten utama

Patok, Tombak dan Meledaknya Perang Jawa

Sebab khusus meletusnya Perang Jawa adalah pembangunan jalan raya oleh Belanda.

Patok, Tombak dan Meledaknya Perang Jawa
Ilustrasi perang Jawa. FOTO/Wikimedia Commons

tirto.id - Pangeran Dipanegara kaget bukan kepalang mendengar kabar kebun-kebun miliknya bakal digusur. Patok-patok telah menancap di sepanjang kebun yang telah ia rawat selama bertahun-tahun sejak muda. Nyai Ageng, mbah buyutnya, mewariskan kebun-kebun yang luas untuk Sang Pangeran.

Sejak bayi Dipanegara memang sudah nunut dengan mbah buyutnya itu. Permaisuri Pangeran Mangkubumi, yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana I, ini adalah perempuan kuat dengan hati yang lembut. Ia mendidik buyut kesayangannya dengan etos dan disiplin seorang santri. Ketika Dipanegara masih balita, ia meminta sendiri agar si bocah dipelihara olehnya di Tegalrejo.

Dipanegara kaget soal penggusuran itu karena tidak menerima pemberitahuan lebih dulu. Tidak Residen, tidak juga Patih, atau utusan siapapun, yang mengabari tanah-tanah miliknya bakal dilewati jalan raya. Tanah-tanah tersebut begitu berharga bukan hanya karena menjadi sumber pemasukan, tapi juga, di beberapa bagian, menjadi tempat pemakaman leluhurnya.

Baca juga:
Sebulan sebelum pematokan tanah, Residen Yogyakarta Anthonie Henrik Smissaert memberi perintah agar jalan lingkar di luar kota Yogyakarta, yang melintasi daerah Tegalrejo, diperbaiki dan diperlebar. Tujuannya: meningkatkan laju perdagangan sehingga pendapatan negara meningkat. Meski Smissaert tidak punya pengalaman bertugas di keraton-keraton Jawa Tengah, ia dianggap sosok yang tepat: dikenal sebagai pejabat yang ahli dalam urusan olah-olah duit.

Ada dua alasan penting mengapa Gubernur Jenderal Van der Capellen menunjuk Smissaert. Pertama, agar dia punya pendapatan tambahan dari jabatan barunya sehingga dia bisa menghidupi anggota keluarga yang berjumlah puluhan orang. Kedua, Smissaert diharapkan bisa mengelola urusan persewaan tanah di Yogyakarta yang sering tersendat di tangan residen sebelumnya. Dan orang tamak macam Smissaert tentu saja lebih fokus pada yang pertama ketimbang kedua.

Di balik kejeliannya soal duit, penampilan Smissaert sangat komikal. Willem van Hogendorp, pejabat tinggi Belanda, menggambarkan Smissaert sebagai seorang “bertubuh kecil, gemuk, dan pemalu”. Pelukis Belgia A.A.J. Payen punya perbandingan menarik: Smissaert digambarkan bak Sancho Panza, punakawan yang satir dan konyol dalam novel karya Miguel Cervantes Don Quixote de la Mancha (1615).

Kedatangan Tuan Residen yang gempal dan pemalu inilah yang membuat hubungan Dipanegara dengan keraton Yogyakarta dan pemerintah kolonial makin runyam. Lima tahun menjelang Perang Jawa, terjadi berbagai konflik internal dalam tubuh keraton, terutama sejak diangkatnya Danureja IV menjadi Patih. Smissaert membuat keadaan itu kian rumit.

Dipanegara tidak diberitahu Danureja bahwa tanahnya akan dilewati jalan raya. Tindakan ini adalah kesengajaan. Semua orang di Yogyakarta tahu, Danureja memendam kedongkolan tersendiri terhadap sang pangeran. Danureja menganggap Dipanegara selalu menghalangi langkah-langkahnya yang korup dan memperkaya diri.

Bagi Dipanegara, Danureja terlalu pro-Belanda dan hanya memikirkan kesenangan diri sendiri: mabuk-mabukan, main perempuan, bergaya ke-Belanda-Belanda-an. Danureja dipandang sebagai simbol paling nyata dekadensi moral yang terjadi di keraton Yogyakarta selama bertahun-tahun.

Orang alim seperti Dipanegara tentu saja gelisah melihat kebobrokan macam itu. Baginya keraton sudah tidak layak lagi memegang otoritas moral untuk membimbing rakyat Jawa. Situasi itu pula yang membuatnya berpikir untuk menuntut kekuasaan Jawa dibagi dua: penguasa politik dan penguasa spiritual.

Dalam konsepsi kekuasaan Jawa, penguasa politik dan penguasa spritual digabung jadi satu. Tercermin dalam gelar raja-raja Jawa “senopati ing alaga khalifatullah sayidin panatagama”. Secara ringkas artinya “panglima perang sekaligus pemimpin agama”. Dipanegara ingin meraih kepemimpinan yang kedua.

Pada 17 Juni 1825, tukang-tukang mulai berdatangan ke perkebunan Dipanegara untuk memasang patok-patok di tanah yang akan digunakan sebagai ruas jalan. Mereka datang atas perintah Danureja.

Dipanegara dan para pengikutnya jadi repot dengan adanya patok-patok itu. Para pengikutnya, yang sebagian besar merupakan petani penggarap kebun yang merasa nyaman bekerja di atas lahan Dipanegara karena bebas dari pungutan, tidak bisa pergi ke sawah dengan leluasa.

Beberapa hari kemudian terjadi cekcok keras antara para petani dengan tukang-tukang pemasang patok. Penduduk dari desa-desa sekitar Tegalrejo juga berduyun-duyun membantu para petani.

Suasana makin memanas sebab pengikut Dipanegara yang berdatangan kian bertambah. Niat mereka yang paling utama adalah membela sang pangeran dari tindakan sewenang-wenang Belanda dan Danureja. Pada awal Juli 1825, konsentrasi massa semakin bertumpuk di Tegalrejo dan menyebabkan pemerintah kolonial mulai mengkhawatirkan kericuhan yang lebih besar.

Sang Pangeran, sementara itu, semakin sering menyepi dan bertapa untuk memohon petunjuk Yang Maha Kuasa. Agaknya dia masih bimbang dengan opsi perang dan mencari jalan spiritual, barangkali pertolongan Tuhan segera datang. Tapi keributan antara para pengikutnya dengan tukang-tukang patok makin membulatkan tekadnya bahwa perang memang tak bisa dihindari. Rencana pemberontakan yang sudah ia susun sebelumnya dan akan dikobarkan pada Agustus sepertinya harus dipercepat.

Pada pertengahan Juli, menyaksikan keadaan yang makin ruwet dan kejengkelannya terhadap Belanda sudah berada di puncak, Sang Pangeran akhirnya memilih jalan yang subtil tapi tegas: memerintahkan patok-patok jalan diganti dengan tombak. Dan dalam dunia ksatria Jawa, dipasangnya tombak adalah pesan yang jelas: sebuah tantangan perang.

infografik jalan raya perang jawa

Sejarawan Inggris Peter Carey, yang menghabiskan empat puluh tahun karier kesejarawanannya untuk meneliti Dipanegara, menyimpulkan begini dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (hlm. 704): Pangeran tersebut menganggap pembangunan jalan raya yang tanpa pemberitahuan itu sebagai casus belli (penyebab perang).

Di hari patok-patok itu diganti tombak, ia memerintahkan anak-anak, para istri dan kerabat yang lain mengungsi dari Tegalrejo ke Selarong. Mereka dibekali sejumlah besar uang dan barang-barang berharga. Uang ini kelak dipakai untuk membiayai Perang Jawa.

Danureja dan Smissaert tentu saja mengetahui keadaan genting itu dan mereka berdua tampaknya juga merasa jika pemberontakan sudah di ambang pintu. Pada 18 Juli 1825, Smissaert mengeluarkan ultimatum agar Sang Pangeran mesti datang ke Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan kelakuannya.

Justru ultimatum Smissaert ini semakin mempersempit ruang Dipanegara untuk memilih opsi di luar perlawanan bersenjata. Sang Pangeran, menurut Peter Carey, “kini menjadi tawanan pendukungnya sendiri, yang telah bersumpah untuk bertempur dan tidak membiarkan dia pergi ke Yogya untuk berunding dengan Smissaert” (hlm. 705).

Baca juga:

Lantaran Dipanegara tetap keras kepala, Smissaert mengirimkan pasukan besar ke Tegalrejo pada 20 Juli 1825. Mereka dilengkapi atribut dan alat kemiliteran penuh. Harapannya: Dipanegara segera ditangkap dan diseret ke Yogyakarta.

Setibanya di Tegalrejo, pasukan itu dihadang pengikut Dipanegara yang sudah bersiap. Pertempuran sengit pun tak terelakkan. Pasukan akhirnya berhasil mengepung kediaman Sang Pangeran dan membakarnya.

Sementara Dipanegara dan para pengikutnya berhasil lolos lewat gerbang barat Tegalrejo. Mereka mengambil rute jalan setapak melalui daerah persawahan sehingga pasukan penyerbu sulit mengejar. Beberapa jam kemudian bahkan mereka masih sempat salat maghrib berjamaah di jalan raya dekat Sentolo.

Esok harinya, Kamis 21 Juli 1825, mereka sudah sampai di Selarong, berkumpul dengan sejumlah pasukan dan para kerabat yang sudah lebih dulu tiba. “Dan di sana,” tutur Peter Carey, “dekat gua tempat Pangeran sering bersemadi dan tinggal berhari-hari dalam kesenyapan, mereka menancapkan panji pemberontakan."

Dari sinilah dentum Perang Jawa pun meledak.

Baca juga artikel terkait JALAN TOL atau tulisan lainnya dari Ivan Aulia Ahsan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ivan Aulia Ahsan
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS