tirto.id - Ada keguncangan yang berusaha diredam di dalam Kraton Yogyakarta pada 5 Juni 1855 itu. Sultan Hamengkubuwana (HB) V ditemukan tewas terhunus di salah satu ruangan istana. Usut punya usut, si pembunuh raja ternyata sang selir sendiri, istri ke-5 yang konon paling disayang, Kanjeng Mas Hemawati.
Hamengkubuwana V memang menjalani hidup bak cerita sinetron. Ia dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta ketika umurnya baru menginjak 3 tahun, masih di bawah umur. Takhtanya pun sempat “diambil” lagi oleh pendahulunya, Hamengkubuwana II (1750-1828), atas campur tangan dan kepentingan Belanda.
Naik singgasana lagi setelah HB II wafat pada awal tahun 1828, pemerintahan HB V justru kehilangan banyak dukungan dari internal kraton maupun sebagian rakyat Yogyakarta. Situasi ini berlangsung hingga nantinya sang raja mati tragis, ditikam dari belakang oleh selirnya.
Korban Politik Istana dan Belanda
Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Gathot Menol yang kemudian bergelar Pangeran Mangkubumi, anak keenam sekaligus putra mahkota Sultan Hamengkubuwana IV dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono, yang lahir pada 24 Januari 1820 di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sama seperti putra tersayangnya, hidup Sultan HB IV juga berlangsung singkat, ihwal kematiannya juga masih menyisakan misteri. Diduga, mangkatnya sang raja yang belum mencapai usia 20 tahun itu karena diracun (G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualam: Tinjauan Historis Dua Praja Kejawen, 1994:18).
Kematian mendadak Sultan HB IV itulah yang membuat putra mahkota harus segera naik tahta meskipun masih berusia balita. Kurang dari dua pekan setelah wafatnya sang raja, 19 Desember 1823, Gusti Raden Mas Gathot Menol dikukuhkan sebagai penguasa Yogyakarta yang selanjutnya dengan gelar Sultan Hamengkubuwana V.
Inilah awal drama kehidupan HB V. Sang sultan belia diturunkan dari singgasananya pada 17 Agustus 1826. Raja yang pernah menjadi pendahulunya, HB II atau yang berjuluk Sultan Sepuh karena memang sudah renta, dinobatkan sebagai raja lagi sehari berselang. Ini adalah kali ketiga HB II naik takhta setelah periode 1792-1810 dan 1811-1812.
Pengaruh Belanda sangat kuat dalam suksesi paksa ini. Belanda yang saat itu terlibat konflik melawan Pangeran Diponegoro berusaha memecah-belah internal kraton dan rakyat Yogyakarta sekaligus untuk menambah kekuatan. Diponegoro adalah putra sulung Sultan HB III (1769-1814) yang memilih keluar dari istana dan tidak bersedia menjadi raja (Purwadi & Kawuryan, Pangeran Diponegoro, 2005:49).
Naik takhtanya kembali Hamengkubuwana II untuk menggeser Sultan Hamengkubuwana V diusulkan langsung oleh Hendrik Merkus de Kock (1779-1845), perwira tinggi militer yang sempat mengampu jabatan sementara sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan merupakan tokoh berpengaruh dalam Perang Jawa (1825-1830) melawan pasukan Diponegoro.
HB II sebenarnya masih menjalani masa pengasingan di Maluku, sebelumnya dibuang ke Pulau Pinang (kini termasuk wilayah Malaysia), hukuman yang dijatuhkan oleh pemerintah pendudukan Inggris pada 1812. Belanda, yang akhirnya berkuasa lagi di Hindia (Indonesia), memulangkan HB II tentunya dengan misi khusus.
Selain karena HB V kurang cakap karena masih belum cukup umur, Belanda ingin HB II bertahta lagi karena ia dikenal dekat dengan rakyat. Pengaruh HB II sangat diperlukan untuk memecah dukungan rakyat yang sebagian besar berpihak kepada Diponegoro (Purwadi, Perjuangan Kraton Yogyakarta, 2003:54). Taktik licik itu cukup berhasil dan akhirnya tipu-daya Belanda pula yang mengakhiri perlawanan Diponegoro pada 1830.
Taktik Aman Sultan HB V
Periode ketiga era Sultan Hamengkubuwana II akhirnya purna pada 3 Januari 1828 seiring wafatnya sang raja tua. Sebagai gantinya, Hamengkubuwana V didudukkan kembali ke tampuk kekuasaan Kesultanan Yogyakarta, kendati tentu saja pengaruh Belanda masih kuat dalam prosesi ini.
Sultan HB V cenderung main aman selama berkuasa. Ia tidak ingin terjadi lagi pertumpahan darah yang harus mengorbankan rakyat, terutama setelah usainya Perang Jawa. HB V juga meneken kontrak politik dengan Belanda yang berlaku bahkan hingga era Sultan HB IX yang berakhir pada 1988 (Woro Miswati, Kerajaan-Kerajaan Nusantara, 2011:48).
Ketimbang cari gara-gara dengan Belanda, Sultan HB V memilih fokus ke sektor-sektor lain, termasuk dalam hal kesenian dan kebudayaan. Sumandiyo Hadi (2007:32) dalam buku Pasang Surut Pelembagaan Tari Klasik Gaya Yogyakarta menyebutkan bahwa telah dihelat pagelaran wayang orang dalam skala megah sebanyak 5 kali selama masa pemerintahan Sultan HB V.
Selain itu, HB V juga menciptakan beberapa jenis tarian khas kraton, salah satu yang paling terkenal adalah Tari Serimpi dengan berbagai variannya, termasuk Serimpi Kandha, Serimpi Renggawati, Serimpi Ringgit Munggeng, Serimpi Hadi Wulangun Brangta atau Serimpi Renggowati, dan lainnya.
Akan tetapi, ternyata tidak semua pihak sepakat dengan strategi kooperatif yang diambil oleh Sultan HB V, termasuk saudaranya sendiri yakni Gusti Raden Mas Mustojo. Pangeran ini adalah putra ke-12 Sultan HB IV dari permaisuri Ratu Kencono atau adik kandung Sultan HB V (Bambang Sularto, KGPA Mangkubumi: Karya dan Pengabdiannya, 1986:13).
Misteri Pembunuhan Raja
Oleh sebagian warga istana dan rakyat Yogyakarta, Sultan HB V dinilai lembek, pengecut, dan mempermalukan nama kraton terlalu patuh kepada Belanda. Dukungan kepada Raden Mas Mustojo pun menguat, terlebih setelah ia berhasil menjalin ikatan kuat dengan Kesultanan Brunei setelah memperistri putri dari kerajaan seberang pulau itu.
Di tengah situasi yang tidak menguntungkan karena semakin kencanganya suara-suara ketidakpuasan yang dialamatkan kepadanya, Sultan HB V semakin terdesak dengan munculnya konflik internal antara sesama penghuni istana. Salah seorang istri sultan, yaitu Kanjeng Mas Hemawati, disebut-sebut terlibat dalam polemik yang detailnya masih menjadi teka-teki ini.
Hingga akhirnya, pada 5 Juni 1855, tepat hari ini 164 tahun lalu, terjadilah aksi pembunuhan yang nantinya mengubah alur trah kepemimpinan Kesultanan Yogyakarta itu. Sultan HB V ditikam dari belakang oleh sang sang selir hingga tewas. Pihak kraton menutup rapat-rapat segala hal tentang kasus ini, termasuk tentang keberadaan Kanjeng Mas Hemawati setelah menghabisi nyawa suaminya sendiri.
Sampai kini, alasan Kanjeng Mas Hemawati melakukan tindakan tersebut belum terkuak, masih menjadi misteri tersendiri dalam riwayat sejarah raja-raja Dinasti Mataram Islam. Peristiwa tragis yang rincinya hanya diketahui oleh kalangan terbatas itu dikenang dengan istilah “wereng saketi tresno” atau “mati di tangan yang dicintai”.
Ketika insiden pembunuhan itu terjadi, permaisuri Sultan HB V yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sedang hamil tua. Dan, 13 hari pasca sultan tewas, lahirlah anak yang dikandungnya itu dan seharusnya menjadi penerus tahta Yogyakarta. Putra mahkota Sultan HB V tersebut diberi nama Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad.
Seperti yang telah diperkirakan, Raden Mas Mustojo dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta berikutnya, bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VI kendati mulanya hanya sementara sembari menunggu putra mahkota sudah siap memimpin sebagai sultan.
Namun, yang terjadi kemudian bukan sesuai kesepakatan. Setelah Sultan HB VI wafat pada 20 Juli 1877, yang dinaikkan ke singgasana justru anaknya sendiri, yakni Gusti Raden Mas Murtejo atau yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VII (1839-1931).
Hal ini tentu saja mendapat tentangan dari permaisuri Sultan HB V, Ratu Sekar Kedaton, dan Gusti Timur Muhammad yang seharusnya naik tahta. Keduanya lalu ditangkap dengan tudingan telah melakukan pembangkangan terhadap raja dan istana.
Hukuman pun dijatuhkan, sekaligus untuk menghapus trah Sultan HB V demi melanggengkan kekuasaan Sultan HB VII beserta keturunannya nanti. Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Timur Muhammad harus menjalani hukuman buang ke Manado, Sulawesi Utara, hingga keduanya meninggal dunia di sana.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 5 Juni 2017 dengan judul "Hamengkubuwana V: Sultan Jawa yang Dibunuh Istrinya Sendiri". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Ivan Aulia Ahsan