tirto.id - Bendara Raden Ayu Surjengdjurit akhirnya meninggalkan Trayu, tempatnya tetirah, menuju keabadian. Namun, masjid yang menjadi tonggak keberadaannya di dusun itu masih tegak berdiri.
Masjid tinggalan menantu Paku Alam I itu tidak menggunakan nama Arab. Sebagaimana banyak ditemui pada masjid-masjid kuno, masjid tersebut menjadikan Trayu, sebuah dusun kecil di Kulon Progo, sebagai nama.
Kantor Urusan Agama Desa Galur pernah mengusulkan agar masjid itu diberi nama seperti masjid-masjid pada umumnya. Usulan yang masuk, salah satunya, adalah Masjid As-Sulthon. Usulan itu ditolak dan nama Masjid Trayu dipertahankan.
Menurut Isman P. Nasution dalam "Nama-nama Masjid Kuno di Nusantara dan Aspek yang Melatarbelakangi: Tinjauan Toponimi dan Arkeologis" (PDF), digunakannya istilah lokal sebagai nama masjid menunjukkan kearifan para penyebar Islam pada zaman dulu.
Dipertahankannya Trayu sebagai nama masjid boleh jadi untuk memudahkan masyarakat mengingatnya. Kemungkinan lain karena Trayu diambil dari Turayu, panggilan singkat Raden Roro Ratu Ayu, yang merupakan nama lain Surjengdjurit.
Tiga Versi Titimangsa Pendirian
Tradisi lisan di masyarakat menyebut angka 1700-an sebagai masa pembangunan Masjid Trayu. Lantaran tidak ada catatan resmi, tahun tersebut tidak dapat dikonfirmasi. Demikian menurut Muhajan, yang sejak 2013 menjabat Ketua Takmir.
Kesimpangsiuran itu membuat sebagian warga menyebut Masjid Trayu sebagai masjid tiban, alias masjid yang tahu-tahu sudah ada. Menurut pria 70 tahun tersebut, anggapan itu mungkin disebabkan usia masjid yang sudah sangat tua.
Sementara Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta punya informasi lain. Tahun pembangunan masjid disebutkan antara 1813 hingga 1829. Pendirinya adalah Bendara Pangeran Harya Natakusuma alias Paku Alam I. Tahun itu tampaknya mengacu pada masa pemerintahan Paku Alam I, yakni 1813-1829.
Versi lain, terdapat pada papan informasi di depan Masjid Trayu yang menyatakan masjid itu didirikan oleh Paku Alam V. Keterangan ini dirilis oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Kulon Progo.
Berdasarkan versi ini maka usia Masjid Trayu lebih muda lagi. Sebab, Paku Alam V atau Kanjeng Pangeran Harya Suryadilaga baru dilahirkan pada 1833.
Lepas dari kesimpangsiuran tahun berapa Masjid Trayu didirikan dan siapa yang menginisiasi pembangunannya, keberadaan bangunan itu menunjukkan kuatnya identitas keislaman menak Pakualaman.
Bentuk Sederhana, Tahan Gempa
Masjid Trayu didominasi warna putih pada dinding dan putih gading pada pintu, jendela, dan tiang-tiangnya. Di bagian barat ruang utama terdapat mihrab tempat imam memimpin salat, juga mimbar tempat khatib menyampaikan khotbah.
Arsitektur Masjid Trayu tergolong unik, terutama pada ruang utama yang terdapat empat saka guru (tiang utama) dan 12 saka ruwa (tiang pendukung). Tiang-tiang itu berbentuk tabung alias tidak bersudut dan diameternya tidak terlalu besar.
Di pucuk-pucuk tiang terdapat ornamen geometris paduan warna hijau dan putih gading. Ornamen lain berupa garis-garis berwarna sama terletak pada blandar atau balok kayu yang menghubungkan antar tiang.
Lazimnya masjid-masjid kuno di Jawa, Masjid Trayu memiliki atap berbentuk limas, bukan umbi bawang khas masjid Timur Tengah. Sebagaimana masjid-masjid Pathok Nagari milik Kasultanan Yogyakarta, ruang utama Masjid Trayu memiliki atap dua tumpang.
Di sebelah timur ruang utama terdapat serambi yang cukup luas. Keberadaan bedug dan kentongan seperti menceritakan tradisi yang pernah hidup di masjid itu. Menurut Muhajan, dulu bedug dan kentongan dipukul setiap masuk waktu salat, sebelum azan dikumandangkan. Demikian pula pada malam hari selepas Tarawih di bulan puasa.
Sementara itu, di halaman masjid tumbuh sepasang pohon sawo kecik (Manilkara kauki). Posisi kedua pohon yang berjajar tak ubahnya sebuah gapura. Meski pengunjung tidak selalu melintasinya, dua pohon sawo kecil seperti menyimpan makna tertentu.
Dalam budaya Jawa, sawo kecik berarti sarwa becik atau serba baik. Pohon ini banyak ditanam sekaligus dijadikan simbol oleh keraton-keraton pecahan Mataram, termasuk Kadipaten Pakualaman.
Sawo kecik juga dijadikan kode rahasia pengikut Pangeran Diponegoro. Setelah sang pangeran ditangkap Belanda, pengikutnya melarikan diri dan bersembunyi. Untuk saling mengenali, pohon sawo kecik ditanam di kanan dan kiri rumah mereka.
Mengingat usianya yang sudah ratusan tahun, Masjid Trayu pernah beberapa kali dipugar. Berdasarkan catatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, pemugaran dilakukan pada 1985 (serambi) dan 1990 (ruang utama).
Ketika gempa mengguncang Yogyakarta pada pertengahan 2006, Masjid Trayu yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya pada 2021 itu tidak mengalami kerusakan berarti.
Padahal, sejumlah rumah Indis peninggalan Pabrik Gula Sewugalur yang berlokasi satu kilometer arah timur masjid sangat terdampak. Beberapa rumah yang dibangun pada 1918 itu rusak parah.
Hal ini menunjukkan masjid yang didirikan ratusan atau paling tidak puluhan tahun sebelum rumah-rumah Indis tersebut dibangun relatif lebih tahan gempa.
Menurut Yulianto P. Prihatmaji dkk dalam "Penyuluhan Bangunan Rumah Tahan Gempa Sebagai Optimalisasi Mitigasi Gempa Bumi", konstruksi bangunan tahan gempa meliputi denah yang sederhana dan simetris serta sistem penahan beban yang memadai.
Bentuk Masjid Trayu sangat sederhana, yaitu persegi panjang dan simetris. Memang ada ruangan khusus untuk wudu di sisi utara yang membuatnya tampak tidak simetris jika dilihat melalui citra satelit, tapi ruangan itu terpisah dari bangunan utama.
Keberadaan tiang-tiang berdiameter kecil dalam jumlah banyak agaknya juga berhasil menyalurkan gaya inersia gempa dari tiap-tiap elemen bangunan ke pondasi dan tanah, sehingga dampak getaran bisa diminimalisasi.
Makam Keluarga Pakualaman
Bagian yang juga menyatu dengan area masjid adalah permakaman. Menurut Budhi, salah seorang marbot Masjid Trayu, di permakaman itu sejumlah anggota keluarga Pakualaman dikuburkan.
Jumlah makam-makam itu cukup banyak, sekitar dua puluhan. Makam yang paling penting terlihat dari bangunannya yang lebih besar dan warnanya yang mencolok, yang tidak lain adalah makam Surjengdjurit.
Di bagian lain terdapat makam Resminingdyah, wanita asli Trayu yang juga ibunda Paku Alam V (memerintah: 1878-1900). Sebagaimana disinggung di atas, sosok inilah yang oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Kulonprogo disebut sebagai pendiri Masjid Trayu.
Anggota keluarga Pakualaman sesekali berkunjung untuk berziarah dan menelusuri jejak leluhur mereka yang dikonfirmasi lewat sisa-sisa setanggi di beberapa makam.
Hingga kini makam-makam di kawasan Masjid Trayu dirawat oleh para marbot. Selain memastikan kebersihan area masjid dan makam, mereka juga mengumandangkan azan dan layang lelayu (kabar duka cita) warga setempat.
Marbot di Masjid Trayu berjumlah tujuh orang. Semuanya ditunjuk langsung oleh keluarga Pakualaman. Mereka secara rutin mereka menerima gaji dari pihak Pakualaman selaku pemilik Masjid Trayu.
“Kalau sekarang lumayan,” ujar Budhi saat ditanya besaran gaji yang ia terima.
“Dulu cuma Rp5000 setahun,” lanjutnya.
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi