Menuju konten utama

Secuplik Cerita dari Sewugalur di Kulon Progo

Kisah sejumlah rumah Indis dan para tokoh di sekitar bekas Pabrik Gula Sewugalur.

Secuplik Cerita dari Sewugalur di Kulon Progo
Rumah Indis Suratidjo. Foto/Firdaus Agung

tirto.id - Artikel sebelumnya: Rumah Indis dan Jejak Pabrik Gula Sewugalur di Kulon Progo

Suwartini melayani pembeli sambil terus menanggapi pertanyaan saya. Tangan kanannya memutar-mutar tembakau di sebuah kantong besar sebelum meletakkannya di timbangan.

“Harus begini, biar nggak pahit,” ujarnya menerangkan cara mengambil tembakau yang benar.

Sang pelanggan, seorang kakek tua berkacamata tebal, menunggu pesanannya sambil mengisap rokok tingwe (nglinthing dhewe, melinting sendiri).

Saya menemui Suwartini, 71 tahun, di rumahnya yang kuno tapi masih terlihat kokoh. Di selatan bangunan utama tempat ia menggelar dagangan, kami berbincang seputar rumah Indis yang ia huni.

Kompleks rumah Indis di Sewugalur, Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo awalnya merupakan rumah dinas para administrator Pabrik Gula Sewugalur (Suikerfabriek Sewoegaloer) berkebangsaan Belanda.

Rumah-rumah itu dibangun pada 1918, 37 tahun setelah pabrik gula didirikan oleh E.J Hoen, O.A.O van der Berg, dan R.M.E. Raaff pada 1881.

Pada 1935, pabrik gula itu gulung tikar akibat Malaise atau Depresi Besar yang menerjang Hindia Belanda.

Dihuni Tiga Generasi

Suwartini menempati rumah tersebut sejak 1974, tak lama setelah berumah tangga. Saat remaja ia bolak-balik ke rumah itu dari rumah orang tuanya di Srandakan, sekitar delapan kilometer dari Sewugalur.

“Saya yang merawat Pak Tjokro dan Ibu,” terangnya.

Orang yang ia maksud adalah Mustafa Tjokrodirjo, pemilik asli rumah Indis yang kini ia tempati.

Tjokrodirjo adalah tuan tanah pada masanya. Ketika pemerintah desa melelang rumah-rumah dinas tinggalan Pabrik Gula Sewugalur pada 1949, sebagian ia beli.

Belakangan ia menambah propertinya dengan membeli satu lagi bekas rumah dinas di kawasan tersebut dari seorang Tionghoa.

Lahan kosong yang sebelumnya dimanfaatkan orang-orang Belanda sebagai lapangan tenis juga ia bayar, sebelum ia wakafkan untuk pembangunan masjid.

Di kemudian hari masjid itu diberi nama Al-Musthofa. Diambil dari nama depannya yang disematkan sepulang ibadah haji.

Suwartini menggeleng saat saya tanya bagaimana Tjokrodirjo bisa sekaya itu. Namun, saat saya berbincang dengan salah satu cucunya di selasar, ia menujukkan sebuah buku matematika berbahasa Belanda peninggalan sang tuan tanah.

Buku paket segenggaman tangan itu membahas trigonometri dan rumus-rumus pelik yang tidak saya mengerti.

Untuk ukuran pribumi yang paham bahasa Belanda dan trigonometri serta mampu naik haji dan memborong rumah gedongan sebanyak itu, Tjokrodirjo jelas bukan sembarang tuan tanah.

Suwartini

Suwartini di depan rumah Indis Sunartedjo. Foto/Firdaus Agung

Setelah Tjokrodirjo wafat, rumah itu diwarisi anak bungsunya, Sunartedjo. Karena tinggal di Semarang, Sunartedjo memercayakan rumahnya kepada Suwartini.

Nama Tjokrodirjo juga menjadi simpul penting saat saya berbincang dengan Suratidjo, 75 tahun. Ia merupakan penghuni rumah Indis di Sewugalur sejak 1975.

Rumahnya yang pernah disewa Bank Rakyat Indonesia (BRI) sekitar 15 tahun mula-mula juga dimiliki Tjokrodirjo, sebelum diwariskan kepada salah satu anaknya, Murtini--kakak kandung Sunartedjo.

Oleh Murtini rumah itu dijual kepada Umar Rosyidi. Nama terakhir inilah yang kemudian mewariskan bangunan ini kepada Suratidjo.

Berbeda dengan tempat tinggal Suwartini yang dulunya rumah dinas, tempat tinggal Suratidjo awalnya difungsikan sebagai tempat biliar.

Tuan dan nyonya Belanda di kompleks perumahan itu agaknya dimanjakan dengan berbagai fasilitas. Selain pantai yang jaraknya tidak sampai tiga kilometer, kawasan ini juga dilengkapi tempat biliar dan lapangan tenis.

Selain sarana hiburan dan olahraga, fasilitas lain di area Pabrik Gula Sewugalur antara lain pasar, rumah sakit, sekolah, dan stasiun. Setelah seratus tahun, tinggal pasar dan sebagian rumah dinas yang masih bisa dimanfaatkan.

Sebagian Tinggal Puing

Rumah Indis yang lain dihuni oleh Abdul Ghafur, 83 tahun. Saat pabrik gula masih berproduksi, ayahnya yang bernama Soemodihardjo adalah seorang laboran--orang yang bekerja di laboratorium.

Soemodihardjo yang berasal dari Magelang membeli rumah tersebut melalui lelang. Di rumah itulah Abdul Ghafur dan kakaknya, Abdul Muis, dilahirkan.

Setelah sang ayah wafat, rumah tersebut dibagi dua. Bagian utara milik Abdul Muis, bagian selatan berbatasan dengan sawah milik Abdul Ghafur.

Rumah warisan Sumodihardjo bukan bangunan cagar budaya. Meski jejak arsitektur kolonial sangat kentara pada atapnya yang tinggi, bagian fasad sudah mengalami banyak perubahan.

Bagaimanapun Abdul Ghafur beruntung rumahnya masih bisa ditempati. Bertolak belakang dengan nasib dua rumah Indis lain yang kini tinggal puing.

Gempa yang melanda Yogyakarta pada medio 2006 membuat sejumlah bangunan rusak. Rumah yang mengalami kerusakan ringan direnovasi, sedangkan yang rusak berat seperti dibiarkan terbengkalai.

Rumah-rumah yang mengalami kerusakan parah kini tersisa dinding-dinding tanpa atap. Selain berlumut, semak-semak dan ilalang juga tumbuh di sekitarnya.

Sebelum gempa, bentuk rumah Indis di Sewugalur tidak banyak berubah. Meski usianya hampir seabad, ciri khasnya berupa pintu dan jendela yang besar, dinding yang tebal, pilar-pilar yang kokoh, dan atap yang tinggi dipertahankan.

Dai dan Penyair

Selain dikenal dengan rumah-rumah Indis, Sewugalur tidak bisa dilepaskan dari institusi pendidikan Muhammadiyah.

Menjelang pabrik gula bangkrut, lembaga pendidikan yang bernama Madrasah Darul Ulum lahir. AR. Fachruddin, mantan Ketua Umum Muhammadiyah, punya hubungan emosional dengan madrasah ini.

Pak AR, sapaan akrab AR. Fachruddin, merupakan murid Madrasah Darul Ulum sejak lembaga ini dibuka. Ia masuk Darul Ulum pada usia 16 tahun.

Ulama yang dikenal dengan gaya berceramahnya yang sejuk dan santun itu memimpin Muhammadiyah dalam waktu yang lama, antara 1968 sampai 1990. Meski memegang pucuk pimpinan Muhammadiyah lebih dari dua dekade, gaya hidup Pak AR sangat sederhana.

Rumah Indis Soemodihardjo

Rumah Indis Soemodihardjo. Foto/Firdaus Agung

Sejumlah pihak pernah menawarinya mobil baru secara cuma-cuma, tapi ia tolak. Untuk memudahkan mobilitas, ia lebih senang mengendarai motor Yamaha butut keluaran 1970-an.

Pak AR juga enggan menerima honor setiap selesai berceramah. Untuk menambah pemasukan, di depan rumahnya yang merupakan pinjaman dari Muhammadiyah ia menjual bensin eceran.

Tokoh kedua adalah Mahatmanto, penyair angkatan 45. Mahatmanto adalah nama pena Raden Suradal Abdul Manan. Ia lahir di Adikarta (sekarang Kulonprogo) pada 13 Agustus 1924.

Puluhan cerpen dan puisi ia tulis sejak dekade 1940 hingga 1970-an. Sejumlah media massa yang pernah memuat karya-karyanya antara lain Madjalah Nasional, Mimbar Indonesia, Duta Suasana, Pandji Poestaka, dan Pantja Raja.

HB. Jassin dan Ajip Rosidi pernah berinteraksi dengan Mahatmanto. Ia pernah menjadi editor di Mimbar Indonesia saat dipimpin HB. Jassin dan Budaja Djaja saat dikelola Ajip Rosidi.

Ajip Rosidi mengenal Mahatmanto dengan penampilannya yang eksentrik. Ketika pertama bertemu Ajip, Mahatmanto memperkenalkan dirinya sebagai pelukis.

Selain cerpenis, penyair, dan pelukis, Mahatmanto juga penulis artikel. Dalam surat kabar Abadi ia pernah berdebat tentang masalah ketuhanan dengan tokoh penting Persatuan Islam (Persis), Ahmad Hassan.

Baca juga artikel terkait KABUPATEN KULONPROGO atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi