tirto.id - Meski baru berdiri sebagai kota mandiri sekira 25 tahun lalu, Kota Depok sebenarnya mempunyai sejarah yang panjang dan unik. Jika di runut, cikal bakal komunitas Depok sudah berkembang sejak abad ke-18, di era Kompeni VOC. Perkembangannya pun terbilang unik lantaran tak terlepas dari peran seorang tuan tanah Eropa nan religius.
Cornelis Chastelein, demikian nama si tuan tanah itu. Mulanya, dia datang ke Jawa dan meniti karier sebagai pegawai VOC. Dari bawah, kariernya melesat hingga dipromosikan menjadi saudagar utama VOC.
Dengan gajinya yang besar, Chastelein secara bertahap membeli beberapa persil tanah yang potensial di selatan Batavia. Dimulai pada 1695, dia membeli persil tanah di daerah Seringsing yang kini lebih dikenal sebagai Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Di tahun berikutnya, dia mengakuisisi lagi beberapa persil tanah yang membentang di antara Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan.
Itulah luasan tanah yang kini sebagian besarnya bertranformasi menjadi Kota Depok. Pada masanya, tanah Chastelein terbagi dalam tiga daerah utama: Depok, Mampang, dan Karanganyar (kini Cinere).
Tri Wahyuning M. Irsyam dalam Sejarah Depok 1950-1990an (2017) menyebut bahwa Chastelein mulai mencurahkan perhatiannya mengembangkan perkebunan di Depok pada 1705. Dari Batavia, dia pindah ke sana dengan membawa 200-an orang budaknya. Merekalah yang kemudian membuka perkebunan dan menjadi cikal-bakal komunitas warga Depok yang pertama.
Di tanah itu pula, Chastelein mulai mewujudkan cita-citanya membangun suatu komunitas Kristen.
Apa yang dilakukan Chastelein itu bukan kelaziman pada zamannya. Menurut Yano Jonathans, salah satu keturunan budak Chastelein dan penulis buku Depok Tempo Doeloe (2011), kepribadian Chastelein memang berbeda dari orang-orang VOC sezamannya karena ketaatannya terhadap ajaran Protestan.
Langkah-langkah Chastelein banyak bertumpu pada prinsip cinta kasih sesama manusia. Dia sendiri punya semboyan “Er is geen leven zonder liefde” atau “tiada kehidupan tanpa kasih sayang”.
Beberapa bulan sebelum meninggal pada 28 Juni 1714, Chastelein menulis wasiat terakhir yang diperuntukkan bagi keluarga dan budak-budaknya. Tak sekadar bagi-bagi harta untuk keluarganya, Chastelein sekaligus memerdekakan seluruh budaknya.
Chastelein juga menghibahkan seluruh tanah miliknya kepada mereka. Dia lantas berpesan bahwa tanah komunal itu tak boleh dijual dan mereka mesti menghidupinya dengan prinsip-prinsip Kristen. Para budak inilah—terbagi dalam 12 marga utama—yang kemudian merawat warisan Chastelein dan mengembangkan komunitas Kristen Depok.
“Chastelein merupakan pionir, beliau membentuk sebuah komunitas Kristen pertama di Jawa, di luar komunitas perkotaan Belanda,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan (2000, hlm. 96).
Rumah Pastoran Depok
Hari ini, kita masih bisa menilik jejak komunitas Kristen Depok di sekitar Jalan Pemuda. Kawasan inilah yang jamak disebut publik sebagai Depok Lama. Beberapa situs penting dalam sejarah Kota Depok berlokasi di sana.
Salah satu tinggalan Depok Lama yang cukup ikonik adalah situs Rumah Pastoran. Seturut sejarahnya, Rumah Pastoran dibangun sekira 1817-1823. Di belakang situs ini, terdapat bangunan lain yang difungsikan sebagai SMP Kasih sejak 1960.
Rumah Pastoran ini pernah ditinggali seorang pendeta Protestan terkenal bernama Cornelis De Graaf dan istrinya Adriana J. de Graaf.
Menurut Jan-Karel Kwisthout dalam Jejak-Jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis Chastelein(1657-1714) Kepada Para Budaknya Yang Dibebaskan (2015), Pendeta De Graaf dan istrinya juga dikenal karena jiwa sosialnya yang tinggi. Merekalah yang menginisiasi dan mencari sponsor untuk pembangunan Koningin Emma Ziekenhuis yang kini berubah nama menjadi Rumah Sakit PGI Cikini.
Kondisi bangunan Rumah Pastoran itu masih terawat dengan baik di bawah pengelolaan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC). Kini, ia digunakan untuk kegiatan YLCC dan sekolah.
Bangunan Rumah Pastoran Depok berdenah persegi panjang berukuran 4700 meter persegi, membentang timur-barat dengan arah hadap utara. Ia memiliki atap limasan yang telah mengalami penggantian menggunakan genteng baru.
Bangunan berdiri di atas batur (undakan) setinggi 50 cm sehingga untuk naik ke bagian bangunan harus melewati anak tangga yang berada di bagian muka. Anak tangga membentang sepanjang sisi muka bangunan.
Berdasarkan informasi dari pihak YLCC, gedung ini mengalami restorasi pada 2012-2013. Restorasi dilakukan di bagian dalam gedung dengan tujuan mengembalikan beberapa fiturnya ke bentuk semula, terutama bagian jendela, pintu, serta pembagian ruangannya.
Menilik denah awalnya, Rumah Pastoran Depok masih menampakan keasliannya. Namun, tentu saja telah terjadi perubahan pada beberapa bagian bangunan seiring dengan perjalanan waktu. Yang tampak saat ini adalah bagian belakang bangunan yang ditambah dengan ruang baru.
Bagian lain yang telah berubah adalah fasad bangunan. Di masa lalu, rumah bersejarah ini memiliki serambi depan yang pada bagian kanan dan kirinya terdapat kamar. Di bagian dalam, terdapat koridor yang pada bagian kanan dan kirinya terdapat kamar. Koridor tersebut terhubung pula dengan serambi belakang.
Tengara Indische Woonhuis
Menurut Rian Timadar dalam penelitiannya “Persebaran Data Arkeologi di Permukiman di Depok Abad 17-19 M: Sebagai Kajian Awal Rekonstruksi Sejarah Pemukiman Depok” (2008, PDF), desain Rumah Pastoran Depok Lama adalah bentuk adaptasi terhadap iklim tropis Indonesia. Inilah yang membuatnya istimewa sebagai peninggalan sejarah.
“Adaptasi ini terlihat pada atap, pintu, jendela dengan desain ganda, dan pekarangan rumah yang luas. Atap berbentuk limas, dan menjorok keluar (overstek) cocok untuk daerah Indonesia yang selalu turun hujan,” tulis Timadar.
Para penekun sejarah dan arkeologi lazim menyebut langgam arsitektur yang diterapkan pada Rumah Pastoran Depok Lama itu dengan istilah indische woonhuis.
Langgam yang jamak pula disebut indische empire style ini mekar sekira awal abad ke-19. Ia diaplikasikan guna menghadapi iklim tropis di Hindia Belanda.
Langgam ini diperkirakan mulanya berkembang di pemukiman baru orang-orang Eropa di sekitar kawasan Gambir. Uniknya, rumah-rumah indische woonhuis menampakkan gaya yang lebih bercorak lokal daripada klasistis Eropa.
Pada umumnya, ia bertingkat satu, dilengkapi dengan taman, serta dengan denah dasar sederhana yang mencakup dua beranda di depan dan belakang rumah. Kedua beranda dan taman inilah yang membikin rumah lebih teduh karena terlindung dari terpaan langsung sinar matahari.
Kedua beranda itu terhubung melalui koridor tengah yang di sisi kanan-kirinya terdapat kamar-kamar. Material lokal untuk membangun rumah tipe ini di antaranya batu bata, plesteran putih, genteng kodok, dan batu alam marmer untuk lantai.
Fasad rumah indische woonhuis mungkin tampak lebih minimalis jika dibandingkan tipe klasik Eropa, tapi ia sangat cocok untuk iklim tropis yang panas dan lembab.
Situs Lain di Jalan Pemuda
Sepeninggal Chastelein, Depok berkembang menjadi pemukiman para mardijker (kaum yang dimerdekakan) yang membentang di antara Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan serta berada di tengah-tengah jalur Jakarta dan Bogor.
Seturut studi Rian, pemukiman kolonial di Depok terletak dekat dengan aliran Sungai Ciliwung. Ia terbagi dalam beberapa konsentrasi, yaitu pemukiman bantaran sungai, bantaran jalan kereta api, memanjang mengikuti Jalan Siliwangi dan Margonda, serta pemukiman yang berada di pedalaman.
Jalan Pemuda adalah lokasi paling terkenal dan mudah diakses jika kita ingin menelusuri jejak-jejak pemukiman kolonial di Depok. Rumah Pastoran Depok Lama yang kita bahas itu hanyalah satu dari beberapa bangunan bersejarah yang bertahan hingga kini.
Situs-situs bersejarah yang penting di sini antara lain GPIB Immanuel, Gedung Eben Haezer, bekas lokasi Tugu Chastelein, bekas Rumah Presiden Depok, dan tentu saja Rumah Pastoran.
GPIB Immanuel semula bernama Gereja Masehi dan didirikan oleh Chastelein sekira awal abad ke-18. Di masa itu, ia masihlah gereja sederhana yang dibangun dengan material kayu dan rumbia sebagai atapnya.
Pada 1792, barulah gereja ini dibangun lagi dengan material yang lebih permanen. Gereja Masehi sempat rusak akibat gempa yang terjadi pada 1833. Karenanya, jemaat Depok terpaksa beribadah di bangunan darurat hingga 1854.
“Baru pada 1854 dibangun kembali gereja permanen. Gereja ini tercatat baru bergabung dalam GPIB pada 31 Oktober 1948,” tulis laman Kompas.com seturut keterangan dari Koordinator Bidang Aset Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) Ferdy Jonathans.
Lalu, ada Gedung Eben Haezer yang terletak tepat di seberang GPIB Immanuel. Seturut penelusuran Rian, ia semula adalah gedung serba guna untuk pertemuan warga dan perayaan hari besar, seperti Natal dan Paskah.
==========
Artikel ini pertama kali terbit di program Mozaik pada 14 Januari 2023. Redaktur melakukan penyuntingan ulang dan penyesuaian untuk terbit kembali dalam program Mesin Waktu.
Penulis: Ary Sulistyo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi