tirto.id - Museum Benteng Vredeburg kembali berbenah. Setelah melalui proses pemugaran, bekas benteng Kompeni-Belanda itu bakal dibuka kembali untuk publik pada Juni ini. Dengan “wajah”, ia mencoba untuk terus relevan dengan perkembangan zaman.
Penanggung Jawab Museum Benteng Vredeburg, M. Rosyid Ridlo, menyebut bahwa revitalisasi kali ini diharapkan dapat menyedot animo lebih banyak pengunjung. Untuk itu, Benteng Vredeburg kini dipersiapkan agar bisa dibuka hingga malam hari.
“Yang kita tawarkan adalah konsep baru. Namanya konsep layanan wisata malam,” ujar Rosyid.
Berdiri kokoh di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Benteng Vredeburg menyimpan sejarah yang dapat dirunut hingga 268 tahun lalu. Di sepanjang usianya, ia menjadi saksi bisu berbagai peristiwa sejarah Kesultanan Yogyakarta dan kemudian Indonesia.
Bermula dari Giyanti
V. Agus Sulistya dalam Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta(2020, PDF) menyebut bahwa pembangunan Benteng Vredeburg tak bisa dilepaskan dari gejolak politik di Tanah Mataram. Pembangunannya beriringan dengan masa-masa awal eksistensi Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Setelah Perjanjian Giyanti disepakati pada 1755, perang saudara Mataram berakhir dan Kesultanan Yogyakarta resmi berdiri. Pangeran Mangkubumi lalu dinobatkan jadi penguasa pertama dengan gelar resmi Sultan Hamengkubuwono I.
Langkah-langkah pertama Sultan Hamengkubuwono I sebagai penguasa negeri baru adalah membentuk pusat pemerintahan alias keraton. Dalam kurun waktu satu tahun sejak Perjanjian Giyanti, keraton utama sekaligus kediaman Sultan Hamengkubuwono I berdiri.
Di saat bersamaan, VOC juga mulai membangun basisnya di Kesultanan Yogyakarta dengan landasan hukum Perjanjian Giyanti. Perwakilan VOC yang pertama di Yogyakarta adalah Residen Cornelis Donkel.
Residen Donkel-lah yang bergerak melobi Hamengkubuwono I agar VOC diberi tempat untuk pembangunan sebuah benteng. Untuk memperlancar negosiasi, Donkel beralasan bahwa benteng tersebut akan sekaligus jadi sarana strategis VOC untuk menjaga keselamatan Sultan dan istananya.
“Sesuai dengan kesepakatan Donkel dengan Sultan, maka Kesultanan Yogyakarta akan menyediakan kayu dan tenaga kerja. Sedangkan VOC akan memberikan ganti rugi atas kayu yang disetorkan dengan nilai yang ditetapkan sebelumnya,” tulis Agus Sulistya (2020).
Pembangunan benteng VOC tersebut lalu dimulai pada 1756. Namun, pembangunan benteng ini tidaklah dilakukan dalam sekali waktu, melainkan secara bertahap.
Empat tahun kemudian, pembangunan benteng tahap pertama selesai. Namun, itu bukan benteng yang wujudnya seperti yang kita lihat sekarang.
Seturut laporan Gubernur Pantai Timur Jawa, Nicolaas Hartingh, bertarikh 1761 yang dikutip Agus Sulistya, bangunan benteng VOC tersebut amatlah sederhana. Tembok benteng masihlah dinding tanah berpenyangga kayu kelapa dan aren, sementara bangunan-bangunan di dalamnya berbahan kayu dan bambu dengan atap ilalang.
Pada 1765, Willem Hendrik van Ossenberch, pengganti Hartingh, meminta izin Hamengkubuwono I untuk memugar benteng tersebut. Dengan skema pembangunan yang sama, benteng itu pun ditembok dengan batu bata dan selesai pada 1767.
Benteng VOC di Yogyakarta tersebut masih mengalami beberapa kali pembangunan lagi. Hal itu sebenarnya amat melenceng dari rencana awal VOC. Pasalnya, masih butuh waktu hampir dua dekade lagi hingga proyek benteng tersebut benar-benar rampung.
Pembangunan benteng VOC itu berjalan amat lambat lantaran Hamengkubuwono I di saat bersamaan juga tengah mengerjakan proyek keratonnya sendiri. Sebagai penguasa, Sultan tentu lebih memprioritaskan ketersediaan pekerja dan bahan bangunan untuk kepentingannya sendiri. Pada 1776, pihak VOC sampai perlu mendesak Sultan agar pengerjaan penyempurnaan benteng dipercepat.
Selain prioritas yang terbelah, Agus Sulistya menyebut bahwa lambatnya pembangunan tersebut memang siasat dari Sultan dan putra mahkotanya, R.M. Sundoro (nantinya bergelar Hamengkubuwono II), untuk membendung perluasan pengaruh politik VOC di wilayahnya.
Hamengkubuwono I yang sewaktu muda bergelar Pangeran Mangkubumi memang musuh lama VOC dalam perang suksesi Mataram. Maka wajar keluarga Kesultanan masih memendam ketidaksukaan, meski dalam masa damai.
Menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), R.M. Sundoro pun dikenal sangat antipati terhadap VOC. Ketika naik takhta, kebijakannya sering kali berseberangan dengan politik VOC hingga harus diasingkan beberapa kali.
Singkat cerita, pembangunan benteng baru dinyatakan rampung pada 1785, meski beberapa pengerjaan masih dilakukan setelah itu. Benteng itu lantas diberi nama Rustenburg dan menjadi markas dari garnisun VOC yang berkekuatan 100 serdadu.
Jadi Saksi Sejarah
Berusia lebih dari dua abad di jantung Kesultanan Yogyakarta, Benteng Vredeburg menjadi saksi bisu jatuh dan bangunnya kekuasaan politik di alam Kolonial.
Pascapembubaran VOC pada 31 Desember 1799, Pemerintah Kolonial Belanda mengambil alih penguasaan atas Benteng Rustenburg. Meski begitu, rezim yang baru ini tetap mempertahankan fungsinya sebagai markas militer.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811), Benteng Rustenburg diperkuat. Dinding kelilingnya dipertinggi dan dipertebal. Persenjataannya pun di-upgrade dengan meriam-meriam yang jangkauan tembaknya lebih jauh.
Daendels jugalah yang mengganti nama benteng ini menjadi Vredeburg seperti yang kita kenal sekarang.
Kepemilikan benteng sekali lagi beralih ketika Belanda kalah dari Inggris pada 1811. Di masa Pemerintahan Inggris atas Jawa, Benteng Vredeburg menjadi saksi bisu peristiwa Geger Sepehi.
Sejarawan Peter Carey dalam presentasinya untuk Seminar Kajian Pergeseran Fungsi Benteng Vredeburg dari Masa ke Masa (2021, PPT) menyebut bahwa Benteng Vredeburg jadi basis pasukan Letnan Gubernur Jenderal Thomas S. Raffles kala menyerbu Keraton Yogyakarta pada 1812.
Ketika Inggris berhasil melumpuhkan keraton, seluruh anggota keluarga inti Sultan Hamengkubuwono II digelandang ke benteng ini—termasuk di antaranya Pangeran Diponegoro muda dan ayahnya (kelak Hamengkubuwono III).
"Di sana, mereka bertemu dengan Raffles dan Residen John Crawfurd di Gedung Utama Vredeburg untuk mendengar keputusannya," tulis Carey.
Setelah kekuasaan Inggris atas Jawa berakhir, sekali lagi Belanda mengambil alih Benteng Vredeburg. Hingga, tentara Jepang mengusir Belanda dari Nusantara pada 1942. Jepang sebagai penguasa baru lantas menguasai benteng dan menjadikannya sebagai markas Kempetai alias Polisi Militer.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) mengambil alih penguasaan atas Benteng Vredeburg. Kala Belanda melancarkan Agresi Militer II, Benteng Vredeburg menjadi salah satu target serangan. Militer Belanda yang berhasil merebutnya lantas menjadikannya sebagai markas Informatie voor Geheimen(Dinas Rahasia Tentara Belanda).
Saksi Kekejaman Bangsa Sendiri
Sebagai sebuah bangunan bersejarah, Benteng Vredeburg tak hanya penting untuk menjelaskan pengaruh pemerintahan kolonial dan bagaimana Indonesia melepaskan diri darinya. Ia juga penting untuk menjelaskan bagaimana bangsa ini telah melalui satu periode kelam pada 1965-1966.
Ketika peristiwa G30S 1965 pecah, Benteng Vredeburg merupakan markas Batalyon Infanteri 403/BS Korem 072/Pamungkas.
Peristiwa kudeta gagal tersebut kemudian berujung pada perburuan anggota dan simpatisan PKI, partai yang dituduh menjadi dalang kudeta tersebut. Operasi untuk memburu anggota PKI terjadi di seluruh negeri dan Yogyakarta tak terkecuali.
Berdasarkan kesaksian korban penangkapan peristiwa 1965 yang dihimpun Baskara T. Wardaya dalam bukunya Suara di Balik Prahara: Berbagi Narasi tentang Tragedi '65(2011, PDF), Benteng Vredeburg turut menjadi lokasi penahanan dan interogasi bagi orang-orang yang diduga terlibat dengan PKI.
Salah satu korban penangkapan paksa 1965 tersebut adalah Al Capone (bukan nama sebenarnya). Dia juga menjadi salah satu tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru.
Al Capone memberikan kesaksian bahwa Benteng Vredeburg saat disebut sebagai Kamp Benteng. Ia dijadikan tempat untuk mengurung 41 peleton tahanan laki-laki korban Tragedi 1965.
"Kami diberi makan satu kali sehari. Itu pun hasil kiriman para penjaga penjara Wirogunan dan wujudnya grontol [rebusan jagung] dengan porsi amat minim," jelasnya.
Al Capone juga menuturkan penahanan mereka di Vredeburg hanya berlangsung singkat, tapi penyiksaan yang mereka alami sangat berat.
"Dalam waktu singkat selama di Benteng, berat badan kami para korban Tragedi '65 banyak yang merosot sekali. Bahkan banyak di antara kami yang terjangkit penyakit hongerodim," tutur Al Capone.
Hongerodim atau honger oedema merupakan penyakit yang disebabkan karena kekurangan protein kronis. Masyarakat awam mengenalnya dengan sebutan busung lapar.
Menurut Al Capone, pada Februari 1966, sebagian tahanan di Benteng Vredeburg dipanggil oleh aparat militer. Pemanggilan itu terkesan aneh bagi Al Capone karena dilakukan pada malam hari.
"Dan yang sangat mengejutkan bagi kami adalah mereka yang terpanggil diberi sebuah tanda semacam peneng [tanda pengenal] yang dikalungkan di leher. Firasat kami, mereka yang diberi tanda itu akan dibantai," tuturnya.
Peristiwa kelam yang menandai transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto tersebut juga turut dirasakan oleh pelukis terkenal asal Yogyakarta, Djoko Pekik.
Dalam unggahan Instagramnya pada 12 Agustus 2023, budayawan Butet Kertaradjasa menceritakan pengalaman sang Maestro kala harus tidur meringkuk ketika dipenjara di Benteng Vredeburg.
"Suatu siang lima tahun lalu, saya bersama Pak Djoko Pekik berada di Benteng Vredeburg. Juga beberapa seniman lain ada di situ. Kami meriung, ngobrol ngalor-ngidul sambil menikmati teh. Tiba-tiba Pak Pekik mengajak kami masuk sebuah ruang yang kini sudah dipugar, berlantai granit mengkilap," tulisnya.
Seturut cerita Butet, Djoko Pekik menjelaskan bahwa ruangan Benteng Vredeburg tersebut merupakan tempatnya dulu ditahan oleh militer.
"Dulu lantainya ndak seperti ini, dari pahatan batu candi. Kasar. Kami para tapol tidur di lantai kasar itu. Tanpa tikar. Tidurnya berhimpitan. Kayak sarden. Hanya bisa meringkuk," tulis Butet menirukan perkataan sang pelukis.
Memori Djoko Pekik tidur meringkuk tersebut kemudian dijadikan lukisan oleh pelukis Sigit Santosa.
Wajah Baru Vredeburg
Melewati masa yang panjang dan berbagai peristiwa bersejarah, Benteng Vredeburg kini beralih rupa menjadi museum. Secara tematik, ia dirancang untuk menampilkan sejarah terkait perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pemanfaatan Benteng Vredeburg sebagai museum sudah dilakukan sejak sejak 44 tahun yang lalu, tepatnya pada 1980. Berkembangnya Yogyakarta sebagai pusat wisata di Indonesia juga turut mendorong pengelola museum berbenah.
Sejak 2023 lalu, museum yang terletak di Jl. Margo Mulyo No. 6, Ngapusan, Gondomanan, tersebut direvitalisasi.
Rosyid Ridlo menyebut bahwa revitalisasi tersebut dilakukan dengan tiga kerangka tujuan.
“Yang pertama adalah penghijauan, menambah vegetasi [di area museum]. Kedua terkait dengan sejarah. Yang ketiga adalah community-hub. Itu tiga narasi besar yang kami kembangkan,” ujarnya kepada kontributor Tirto.
Rosyid menjelaskan bahwa revitalisasi kali ini tidak hanya mengubah tata ruang dan koleksi museum, tapi juga mengarusutamakan fungsi museum sebagai pembentuk ekosistem kemajuan kebudayaan.
Ketika kotributor Tirto berkesempatan berkeliling kawasan Museum Benteng Vredeburg yang baru pada 16 Mei 2024 lalu, Rosyid memperlihatkan sejumlah inovasi baru. Yang menarik di antaranya ruang khusus anak, kafe dengan orientasi langsung ke kawasan Titik Nol Yogyakarta, juga fitur video mapping di sepanjang tembok benteng yang menampilkancuplikan ragam peristiwa sejarah.
Pemugaran Museum Benteng Vredeburg diharapkan rampung pada Juni ini. Berbeda dengan awal mula berdirinya, kini Vredeburg tak lagi jadi saksi operasi militer. Meriam-meriam yang tersusun di tengah kawasan tersebut tak lagi difungsikan untuk mencelakai orang. Zaman telah berubah, begitu pula Vredeburg.
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Fadrik Aziz Firdausi