Menuju konten utama

Riwayat Museum Taman Prasasti: Tengara Eksistensi Budaya Indis

Museum Taman Prasasti semula merupakan tanah pemakaman bagi orang-orang penting era Kompeni. Menyimpan tengara eksistensi budaya Indis.

Riwayat Museum Taman Prasasti: Tengara Eksistensi Budaya Indis
Header Museum Taman Prasasti. tirto.id/Tino

tirto.id - Anda ingin mengunjungi museum yang agak di luar kebiasaan? Cobalah datangi Museum Taman Prasasti di Tanah Abang.

Sesuai namanya, museum ini memanglah taman secara harfiah. Tak hanya itu, koleksi museum ini pun unik, yakni nisan-nisan kuno dari era kolonial. Lain itu, Museum Taman Prasasti juga memiliki ragam prasasti peringatan, miniatur makam khas dari 27 provinsi di Indonesia, dan koleksi kereta jenazah antik.

Tak sekadar memiliki koleksi yang berkaitan langsung dengan pemakaman kuno, museum ini di masa lalu memanglah sebuah pemakaman.

Museum ini dulunya dikenal dengan nama Kerkhoflaan, sebuah pemakaman umum di luar tembok Kota Batavia Lama. Kerkhoflaan dibangun pada 1795 untuk menggantikan pekuburan lawas yang ada di Nieuw Hollandsche Kerk.

Menurut Nirwono Joga dalam Museum Taman Prasasti: Metamorfosis Makam menjadi Museum (2005), Kerkhoflaan boleh jadi termasuk salah satu taman pemakaman tertua di dunia. Setidaknya, ia lebih tua ketimbang beberapa taman pemakaman besar, seperti Fort Canning Park (1926) di Singapura, Gore Hill Cemetery (1868) di Sydney, La Chaise Cemetery (1803) di Paris, Mount Auburn Cemetery (1831) di Cambridge, Massachusetts, dan Arlington National Cementery (1864) di Washington DC.

Pada sekitar abad ke-17 sampai akhir abad ke-18 di Indonesia, tampaknya gereja bukan saja menjadi tempat peribadatan, tapi juga lazim menjadi tempat pemakaman,” tutur arsiparis cum sejarawan Mona Lohanda dalam buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007).

Pekuburan Kristen pada abad ke-17 hingga ke-18 memang lazim berada di sekitar gereja. Di sekitar masa itu, mulanya ada dua gereja yang dijadikan tempat pemakaman. Pertama, Nieuw Hollandsche Kerk yang digunakan pada periode 1642-1808. Kini, geraja ini menjadi Museum Wayang.

Ada pula pemakaman di sekitar Gereja Portugis (Portugeesche Buitenkerk) yang terletak di luar tembok Kota Batavia. Ia digunakan sebagai pemakaman pada rentang 1655-1797. Sekarang, orang mengenal gereja itu dengan nama Gereja Sion.

Hingga kini, masih terdapat beberapa nisan tokoh penting VOC di kedua situs itu. Di Museum Wayang, kita bisa mendapati nisan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff (meninggal 1750). Sementara itu di sekitar Gereja Sion, kita bisa melihat makam Gubernur Jenderal Hendrick Zwaardecroon (meninggal 1728).

Pada akhir abad ke-18, penguasa Batavia merasa pemakaman di sekitar Nieuw Hollandsche Kerk telah penuh. Otoritas Batavia lantas memutuskan menutup pemakaman itu dan mencari lahan baru. Kemudian pada 1795, Pemerintah Batavia meresmikan pemakaman umum baru di selatan kota yang disebut Kerkhoflaan.

Seturut penelusuran Mona Lohanda, tanah Kerkhoflaan semula adalah milik Gubernur Jenderal VOC Jeremias van Riemsdijk (berkuasa 1775-1777). Keluarga van Riemsdijk lalu mendonasikan tanah seluas 5,5 hektar itu untuk dipakai sebagai taman pemakaman baru.

Jejak Budaya Indis

Setelah Indonesia merdeka, nama Kerkhoflaan berganti menjadi Kebun Jahe Kober. Ia tetap digunakan sebagai tempat pemakaman umum sampai 1975. Pada awal 1976, dimulailah pembongkaran makam.

Seluruh kerangka yang ada di Kebun Jahe Kober digali dan dimakamkan kembali oleh ahli waris. Bagi yang tidak punya ahli waris, Pemda DKI Jakarta melalui Dinas Pemakaman memakamkan kembali di TPU Tanah Kusir. Namun, nisan-nisan dan bangunan makam tidak ikut dipindahkan.

Lalu pada 1977, Kebun Jahe Kober diresmikan menjadi Museum Taman Prasasti seluas 1,2 hektar.

Museum Taman Prasasti

Pengunjung beraktivitas di Museum Taman Prasasti, Jakarta, Jumat (15/2/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/ama.

Nisan dan prasasti di Museum Taman Prasasti bernilai sebagai bukti eksistensi masyarakat dan budaya Indis di Zaman Kompeni. Menurut Djoko Soekiman dalam Kebudayaan Indis dari Zaman Kompeni sampai Revolusi (2011), budaya Indis muncul dari proses perbauran kelompok masyarakat Barat dan pribumi di Nusantara. Istilah “gaya Indis” lalu digunakan untuk menyebut gaya seni yang lahir, tumbuh, dan berkembang sekira abad ke-18.

Pada akhir abad ke-18 terdapat kesukaan memadu gaya seni hias dari Timur (Jawa), dan mengambil unsur-unsur gaya Eropa sehingga tercipta gaya sesuai dengan citra sendiri (gaya dan citra Indis),” tulis Djoko.

Tengara peleburan dua budaya itu dapat kita lihat hari ini melalui koleksi nisan di Museum Taman Prasasti. Batu nisan berukir indah, selain sebagai penghormatan untuk si mati, juga merupakan bentuk seni yang eksis di Batavia era VOC.

Di era itu, bahan-bahan nisan didatangkan dari Koromandel, India. Umumnya berupa batu keras dari jenis bluwe arduin (batu biru) atau bluwe kunststeen (batu pantai biru). Batu-batu itu lantas diukir dengan ragam hias sulur-sulur tumbuhan, pahatan bunga mawar, juga lambang keluarga.

Batu nisan dengan gaya ragam hias seperti itu adalah karya pengrajin tradisional Jawa, tetapi huruf-huruf yang dipahat adalah hasil buah tangan bangsa Eropa,” tulis Djoko lagi.

Infografik Museum Taman Prasasti

Infografik Museum Taman Prasasti. tirto.id/Tino

Tokoh Penting

Pada masanya, Kerkhoflaan bukan pekuburan biasa. Beberapa orang penting dimakamkan di situ. Salah satu yang terkenal adalah Jan Laurens Andries Brandes (1857-1905).

Brandes adalah filolog, sejarawan, arkeolog, dan pengkaji sejarah budaya Indonesia. Brandes meninggal pada 1905 saat menjabat sebagai Ketua Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera (Komisi Hindia-Belanda untuk penelitian Arkeologi di Jawa dan Madura).

J.L.A. Brandes

J.L.A. Brandes. FOTO/Wikipedia/tropenmuseum.nl/

Komisi ini merupakan cikal bakal Dinas Purbakala dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Selain itu, Brandes juga dikenal sebagai penyelamat manuskrip Kakawin Nagarakrtagama di Puri Cakranegara Lombok pada 1894 dan penerjemah cum pengulas serat Pararaton (1896).

Makam Brandes di Museum Taman Prasasti adalah salah satu contoh bentuk budaya Indis yang mencolok. Karena dia dikenal sangat mencintai kebudayaan Jawa dan candi, bentuk makamnya pun didesain menyerupai struktur lingga (representasi Dewa Siwa) yang lazim ada di candi-candi Jawa.

Strukturnya lingganya juga dipercantik dengan hiasan antefiks di setiap sisi mata angin. Bagian pangkal struktur lingganya terdapat pelipit yang menyatu dengan struktur makam di bawahnya.

Tokoh era kolonial lain yang juga dimakamkan di Kerkhoflaan adalah Olivia Mariamne Raffles, istri pertama Thomas Stamford Raffles. Koleksi lain yang juga menarik adalah replika tugu peringatan Pieter Erberveld yang dipindahkan ke museum ini pada 1985.

Baca juga artikel terkait VOC atau tulisan lainnya dari Ary Sulistyo

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ary Sulistyo
Penulis: Ary Sulistyo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi