Menuju konten utama
Al-Ilmu Nuurun

Dakwah Persis ala A. Hassan: Sebarkan Islam lewat Debat & Publikasi

Ahmad Hassan adalah tokoh Persis yang paling menonjol di era pergerakan nasional. Ia pemikir Islam yang sangat menyukai debat dan rajin menulis buku.

Dakwah Persis ala A. Hassan: Sebarkan Islam lewat Debat & Publikasi
Ahmad Hassan. tirto.id/Sabit

tirto.id - Nama Ahmad Hassan tentu kalah populer ketimbang pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan atau Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy'ari.

Sosok yang akrab disapa A. Hassan atau Hassan Bandung atau Hassan Bangil ini begitu melekat di Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung pada 12 September 1923. Ada idiom bahwa A. Hassan dan Persis adalah dwitunggal—identik dan tak dapat dipisahkan.

Tetapi, berbeda dengan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy'ari yang berstatus pendiri, A. Hassan bukan pendiri Persis. Ia mulai bersentuhan dengan Persis saat organisasi itu sudah berumur satu setengah tahun.

Saat itu ia pergi ke Bandung untuk berniaga dan indekos di rumah K.H. M. Yunus, pendiri Persis. Pada 1925 A. Hassan hendak pulang ke Surabaya, namun kecerdasan dan kedalaman ilmu agamanya membuat tokoh-tokoh Persis memintanya untuk tinggal di Bandung. Sejak itulah kiprah besar A. Hassan dalam perkembangan Persis dimulai.

Lahir di Singapura pada 1887, A. Hassan berasal dari keluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya, Sinna Vappu Maricar, adalah seorang penulis, jurnalis, dan ulama terkenal di Singapura. Maricar pernah menjadi redaktur di majalah Nur Al Islam.

Teologi yang diajarkan Persis pada umumnya berasal dari ajaran A. Hassan. Profesor di Australian National University, M.B. Hooker, dalam Islam Mazhab Indonesia: Fatwa dan perubahan Sosial (2002)menyebut A. Hassan adalah seorang literalis murni. Dalam pandangan keyakinan dan perjuangan Persis, ajaran teologi islam tidak dapat ditegakkan tanpa membasmi syirik, sunah tidak mungkin dihidupkan tanpa memberantas bidah, dan ruhul intiqad tidak dapat dihidupkan tanpa memberantas taklid (hlm. 78).

Sifat puritan inilah yang membuat Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (1973) menarik kesimpulan bahwa dibanding organisasi Islam awal abad ke-20 lain yang lebih mengutamakan penyebaran pemikiran baru secara lunak dan tenang, Persis seakan-akan lebih gembira dengan polemik dan perdebatan.

Sementara itu Dadan Wildan dalam Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983 (1995) mengatakan gerakan pemurnian Islam memang awalnya perlu dilakukan dengan isu-isu kontroversial yang bersifat gebrakan (shock therapy), polemik, dan mengundang perdebatan.

Menurut sosok yang juga pengurus PP Persis ini, strategi Persis dan A. Hassan di masa lampau malah memunculkan kesan revolusioner. “Ini membuat kedudukan dan peran Persis terasa unik.”

Doktrin Debat Cara Persis

Kebiasaan berdebat yang dilakukan A. Hassan menjadi ciri utama Persis saat itu. Selain menjadi sarana dakwah, kegiatan tersebut juga digunakan A. Hassan sebagai daya tarik bagi para pelajar.

Deliar Noer menyebut Persis sering kali menantang orang-orang yang berseberangan untuk berdebat. Perdebatan yang ramai dibincangkan di antaranya debat dengan organisasi tradisional seperti Al Ittihadul Islamiya di Sukabumi, Majlis Ahli Sunnah di Bandung, dan Nahdlatul Ulama di Ciledug pada 1936. Saat bersua NU, A. Hassan bahkan beradu argumen langsung dengan ketua NU saat itu, K.H. Abdul Wahab Hasbullah.

Sering kali ia pun mengabulkan tawaran debat dari kelompok ateis, Ahmadiyah, atau Kristen. Perdebatan dengan kelompok ateis dinarasikan ulang oleh Buya Hamka dalam buku berjudul Teguran Suci dan Jujur Terhadap Mufti Johor (1958: 35).

Ada seorang pemuda mengaku murtad. Nama pemuda itu Suradal. Dia menantang ulama-ulama Islam bermuhabalah dan berdebat. Kata Hamka, tak satu pun ulama kaum tua mau melayani. Mereka hanya cukup meresponnya dengan perkataan “Suradal Kafir” dan memandangnya sebagai orang yang miring otaknya.

“Tapi Tuan Hassan Bandung menjawabnya dengan dengan forum debat terbuka di Jakarta, dihadiri oleh seribu orang lebih. Maka dengan gagah dan congkak pemuda itu mengeluarkan segala pokok dan taruhannya mula-mula seakan-akan dia yang benar, tetapi setelah segala tentangan itu ditangkis Almarhum Tuan Hassan dengan mantiq yang lebih tinggi, habislah pokok taruhan pemuda itu, tidak dapat berkutik lagi,” tulis Hamka.

Yang sangat mencolok dari A. Hassan adalah sikap kerasnya yang kukuh terhadap apa yang dia yakini. Sikap Persis dan A. Hassan di zaman itu begitu keras hingga membuat organisasi itu tak begitu disukai dan disamakan dengan Wahabi—kelompok puritan dari Arab Saudi yang digagas Muhammad bin Abdul Wahab.

Benih sifat kritis A. Hassan memang sudah muncul sejak ia belia. Saat berumur 23 dan jadi reporter muda di surat kabar Utusan Melayu ia sering membuat kolom yang kritis. Misalnya, tulisan yang mengkritik kadi (hakim) yang mengadili suatu perkara dengan mengumpulkan lawan jenis dalam satu ruangan. Kritik ini amat langka, karena tak pernah sebelumnya ada yang berani mengkritik kadi secara terang-terangan di media massa.

A. Hassan pun pernah mengkritik budaya taqbil—mencium tangan seseorang yang dianggap sayid (keturunan Nabi Muhammad). Kritik ini mendapat peringatan dari pemerintah Singapura dan A. Hassan sempat dipanggil jaksa karena dituding mencemarkan kaum sayid. Karena kelihaian berkelit, A. Hassan akhirnya dibebaskan.

Tak sekadar di dunia kalam, ketika naik podium agitasinya pun sering membuat kesal kaum tradisionalis. Karena itu, oleh pemerintah Singapura ia tak diperbolehkan lagi berpidato dan naik mimbar. Kondisi ini membuatnya pindah ke Surabaya pada 1921.

Menurut Tamir Djaja dalam Sejarah Hidup A. Hassan (1980: 15), oleh kawan dan lawannya A. Hassan dianggap garang seperti singa, namun dalam pergaulan ia dikenal ramah seperti domba. Apa yang terjadi di arena debat tak pernah dibawa ke luar arena.

Bagi A. Hassan, perbedaan pendapat adalah hal biasa. Friksi itu mesti dibarengi lapang dada. Tak perlu ada caci maki, tak perlu ada “teror” dari massa untuk mengusir kelompok yang tak sepakat dengannya. Lawan hujah dengan hujah, lawan dalil dengan dalil. Sikap lapang dada ini terlihat dari debat sengit antara A. Hassan dengan para kiai NU seperti ditulis majalah Al-Lisaan milik Persis:

“Masing-masing berpisah dengan tjara persaudaraan jang baik. Mudah-mudahan tjara jang begini didjadikan tjontoh buat lain kali di sini dan di tempat-tempat lain.”

Infografik Al Ilmu Nuurun Ahmad Hassan

Infografik Al-Ilmu Nuurun Ahmad Hassan

Produktif Menulis Buku

Sosok A. Hassan dikenal bukan hanya sebagai ahli debat, sebagai bekas jurnalis ia juga dikenal sebagai penulis produktif. Selama hidupnya, ada 81 judul buku yang ia tulis. Ini membuatnya jadi salah satu ulama Persis paling produktif menulis buku. Karya terbesarnya adalah tafsir Quran Al Furqan yang terbit pada 1928.

Pada saat sebagian besar ulama di masa itu hanya berbicara agama dengan terus mengacu kepada karya-karya keislaman klasik, A. Hassan justru berani membuat “pustaka acuan baru” bagi pemikiran Islam. Nilai lebihnya, tafsir ini ia tulis dalam bahasa Melayu. Poin inilah yang membedakan A. Hassan dengan ulama-ulama lain.

Doktrin A. Hassan ini memengaruhi metode dakwah Persis. Berbeda dengan Muhammadiyah yang menekankan kegiatan sosial atau al-Irsyad yang eksklusif, Persis punya kelebihan menonjol di bidang publikasi.

Di zaman pergerakan nasional A. Hassan, yang kebetulan berbisnis percetakan, menerbitkan banyak majalah sebagai sarana dakwah seperti Pembela Islam, Al-Lisan, At-Taqwa yang berbahasa Sunda, dan Al-Fatwa yang beraksara Jawi. Majalah-majalah ini diedarkan hingga Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Malaysia, dan Thailand.

Kecintaan A. Hassan pada dunia literasi ia teruskan hingga akhir hayat. Wartawan Kompas M. Subhan S.D. dalam buku Ulama-ulama Oposan (2000: 110) menulis kalimat penutup yang jitu:

"A. Hassan mewariskan berbagai pembaharuan islam yang tak tenilai, baik melalui perdebatan dan pandangan kritis melalui buku-buku yang bisa dibaca oleh generasi sesudahnya. Pada hari-hari terakhirnya, tumpukan buku masih terlihat di dekatnya. Cara pandang kritisnya terhadap berbagai persoalan ibadah dan muamalah, menyebabkan ia termasuk ulama yang langka."

A. Hassan, sosok yang enggan dipanggil kiai itu, meninggal pada 10 November 1958 di Bangil.

==========

Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Humaniora
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Ivan Aulia Ahsan